002-2 Raja-raja di Hirah – Ar-Rahiq-ul-Makhtum – al-Mubarakfuri

Rangkaian Pos: Kekuasaan & Emirat Di Kalangan Bangsa Arab | Ar-Rahiq-ul-Makhtum - al-Mubarakfuri

KEKUASAAN DAN EMIRAT DI KALANGAN BANGSA ‘ARAB

 

Raja-raja Hirah

Bangsa Persia bisa menguasai ‘Irāq dan wilayah-wilayah di sekitarnya setelah Cyrus Yang Agung (557-529 SM) dapat mempersatukan bangsanya. Tidak ada seorang pun yang berani menyerangnya hingga muncul Alexander dari Makedonia pada tahun 326 SM. Ia mampu mengalahkan Darius I, raja mereka, dan menghancurkan persatuan mereka. Akibatnya, negeri mereka terpecah-pecah dan dipimpin oleh raja-raja yang dikenal dengan raja-raja Thawā’if. Mereka berkuasa di wilayah masing-masing secara terpisah hingga tahun 230 SM. Pada era kekuasaan raja-raja Thawā’if ini, orang-orang Qaḥthān berpindah dan menguasai daerah subur di ‘Irāq. Mereka selanjutnya bergabung dengan keturunan ‘Adnān yang juga berhijrah dan bersama-sama menguasai sebagian dari wilayah Eufrat.

Kekuatan bangsa Persia kembali bangkit pada era Ardasyir, pendiri pemerintahan Ssaniyah sejak tahun 226 M. Dia berhasil mempersatukan bangsa Persia dan menguasai orang-orang ‘Arab yang menetap di daerah-daerah pinggiran kekuasaannya. Hal ini mendorong orang-orang Qudhā‘ah untuk berpindah ke Syam. Sementara itu, penduduk Hirah dan Anbar tunduk kepada Ardasyir.

Pada masa Ardasyir tersebut, Judzaimah al-Wadhdhah menguasai Hirah, sebagian penduduk ‘Irāq, dan daerah kekuasaan Rabī‘ah dan Mudhar. Ardasyir merasa mustahil dapat menguasai bangsa ‘Arab secara langsung dan mencegah mereka untuk tidak menyerang kekuasaannya kecuali dengan cara menjadikan salah seorang dari mereka (bangsa ‘Arab) yang memiliki kefanatikan dan loyalitas terhadapnya dalam membelanya sebagai kaki tangannya. Di samping itu, dia juga sewaktu-waktu bisa meminta bantuan mereka untuk mengalahkan raja-raja Romawi yang amat dia takuti. Dengan demikian dia dapat menandingi tentara bentukan yang terdiri dari bangsa ‘Arab juga, seperti apa yang dibentuk oleh raja- raja Romawi, sehingga berbenturanlah antara bangsa ‘Arab Syam dan ‘Irāq. Dia juga masih mempersiapkan satu batalion dari pasukan Persia untuk disuplai dalam menghadapi para penguasa ‘Arab pedalaman yang membangkang terhadap kekuasaannya. Judzaimah meninggal dunia pada tahun 268 M.

Setelah kematian Judzaimah, Hirah dikuasai oleh ‘Amru bin ‘Adī bin Nashr al-Lakhmī. Ia merupakan raja pertama dari Dinasti Lakhmi sekaligus raja pertama yang mengambil Hirah sebagai tempat tinggalnya. Peristiwa ini terjadi pada masa Kisra Sabur bin Ardasyir. Sepeninggal ‘Amru bin ‘Adī, beberapa raja dari kalangan Lakhmi tetap berkuasa setelah di Hirah hingga Persia dikuasai oleh Qubadz bin Fairuz. Pada masa kekuasaannya muncullah seorang tokoh bernama Mazdak. Ia mengampanyekan gaya hidup permisivisme. Banyak rakyatnya yang meniru gaya hidup ini, begitu pula Qubadz dari Persi. Qubadz mengirim utusan kepada raja Hirah, yaitu al-Mundzir bin Mā’-us-Samā’, mengajaknya untuk memilih jalan hidup ini dan menjadikannya sebagai agama. Namun, al-Mundzir menolak ajakan itu mentah-mentah dan arogan. Karena itu, ia pun dicopot dari jabatannya. Sebagai pengganti al-Mundzir, dia mengangkat al-Harits bin ‘Amru bin Hijr al-Kindi, setelah al-Harits memenuhi ajakan Qubadz untuk menerapkan gaya hidup Mazdakisme.

Pengganti Qubadz adalah Kisra Anū Syirwān, yang sangat benci gaya hidup ini. Dia membunuh Mazdak dan entah berapa banyak para pengikutnya. Dia mengangkat kembali al-Mundzir sebagai penguasa di Hirah. Sebenarnya, al-Ḥārits bin ‘Amru memintanya, tetapi dia justru dibuang ke Dāru Kalb dan tetap di sana hingga meninggal.

Kekuasaan Anū Syirwān terus berlanjut sepeninggal al-Mundzir bin Mā’-us-Samā’, hingga naiknya an-Nu‘mān bin al-Mundzir. Dialah orang yang memancing kemarahan Kisra, yang bermula dari adanya suatu fitnah hasil rekayasa Zaid bin ‘Adī al-‘Ibādī. Kisra akhirnya mengirim utusan kepada an-Nu‘mān untuk memburunya, maka secara sembunyi-sembunyi, an-Nu‘mān menemui Hāni’ bin Mas‘ūd, pemimpin suku ‘Alī Syaibān dan menitipkan keluarga dan harta bendanya.

Setelah itu, dia menghadap Kisra yang langsung menjebloskannya ke dalam penjara hingga meninggal dunia. Sebagai penggantinya, Kisra mengangkat Iyās bin Qabīshah ath-Thā’ī dan memerintahkannya untuk mengirimkan utusan kepada Hāni’ bin Mas‘ūd agar dia memintanya untuk menyerahkan titipan yang ada padanya. Namun, Hāni’ menolaknya dengan penuh keberanian bahkan dia memaklumatkan perang melawan raja.

Tak berapa lama tibalah para komandan batalion berikut prajuritnya yang diutus oleh Kisra dalam rombongan yang membawa Iyas tersebut, sehinnga kemudian terjadilah antara kedua pasukan itu, suatu pertempuran yang amat dahsyat di dekat tempat yang bernama Dzū Qar dan pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan oleh Bani Syaibān, yang masih satu suku dengan Hāni’. Hal ini bagi Persia merupakan kekalahan yang sangat memalukan. Kemenangan ini merupakan yang pertama kalinya bagi bangsa ‘Arab terhadap kekuatan asing. (31) Ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi tak berapa lama menjelang kelahiran Nabi s.a.w. sebab beliau lahir delapan bulan setelah bertahtanya Iyās bin Qabīshah atas Hirah.

Sepeninggal Iyās, Kisra mengangkat seorang penguasa di Hirah dari bangsa Persia yang bernama Azazbah yang memerintah selama 17 tahun (614-631 M). Pada tahun 632 M, tampuk kekuasaan di sana kembali dipegang oleh keluarga Lakhm. Di antaranya adalah al-Mundzir bin an-Nu‘mān yang dijuluki dengan “al-Ma‘rūr”. Umur kekuasaannya tidak lebih dari 8 bulan, sebab kemudian berhasil dikuasai oleh pasukan Muslimin di bawah komando Khālid bin al-Walīd. (42).

Catatan:


  1. 3). Kejadian ini diriwayatkan secara marfu‘ di dalam Musnad Khalīfah bin Khayyāth, hal. 24, dan Ibnu Sa‘ad, VII/77. 
  2. 4). Muḥādharāti Tārīkh-il-Umam-il-Islāmiyyah, al-Khudharī, I/29-32. Penjelasan lebih rinci ada pada kitab-kitab karya ath-Thabarī, al-Mas‘ūdī, Ibnu Qutaibah, Ibnu Khaldun al-Balazrī, Ibnu Atsīr, dan lainnya. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *