(فَصْلٌ): فِيْ بَيَانِ دَعَائِمِ الْإِسْلَامِ وَ أَسَاسِهَا وَ أَجْزَائِهَا
(FASAL)
Tentang penjelasan tiang-tiang penyangga agama Islam, asas-asasnya dan bagian-bagiannya.
RUKUN ISLAM YANG PERTAMA DAN KEDUA
(أَرْكَانُ الْإِسْلَامِ خَمْسَةٌ) فَلَا يَنْبَغِيْ بِغَيْرِهَا فَإِضَافَةُ الْأَرْكَانِ مِنْ إِضَافَةِ الْأَجْزَاءِ إِلَى الْكُلِّ
(Rukun-rukun Islam itu ada lima), maka Islam tidak dapat terbangun dengan selainnya. Adapun idhāfah lafazh al-Arkān tergolong idhāfah al-Ajzāi ilal-Kulli [penyandaran bagian-bagian dari sesuatu kepada keseluruhannya].
أَيِ الدَّعَائِمُ وَ الْأَسَاسُ وَ الْأَجْزَاءُ الَّتِيْ يُتَرَكَّبُ الْإِسْلَامُ مِنْهَا خَمْسَةٌ فَلَا يَكُوْنَ مِنْ غَيْرِهَا،
Maksudnya adalah tiang-tiang penyangga, asas-asas dan bagian-bagian yang agama Islam disusun darinya itu ada lima, maka tidak ada dari selainnya.
قَالَ الْبَاجُوْرِيْ: الْإِسْلَامُ لُغَةً مُطْلَقُ الْاِنْقِيَادِ أَيْ سَوَاءٌ كَانَ لِلْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ أَوْ لِغَيْرِهَا، وَ شَرْعًا: الْاِنْقِيَادُ لِلْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ،
Telah berkata Syaikh al-Bājūrī: “Islam menurut bahasa adalah kepatuhan secara mutlak, yakni sama saja kepatuhan itu kepada hukum-hukum syarī‘at atau kepada selainnya. Dan menurut syarī‘at adalah kepatuhan kepada hukum-hukum syarī‘at.
وَ قِيْلَ الْإِسْلَامُ هُوَ الْعَمَلُ. اِنْتَهَى.
Dan dikatakan [oleh satu pendapat]: “Islam adalah amal [beribadah].” Selesai al-Bājūrī.
أَوَّلُهَا (شَهَادَةُ) أَيْ تَيَقُّنُ (أَنْ لَا إِلهَ) أَيْ لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ مَوْجُوْدٌ (إِلَّا اللهُ)
Rukun yang pertama adalah (bersaksi) yakni meyakini (bahwa tidak ada tuhan) yakni tidaklah zat yang disembah dengan haq itu wujud (kecuali Allah).
وَ هُوَ مُتَّصِفٌ بِكُلِّ كَمَالٍ لَا نِهَايَةَ لَهُ وَ لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا هُوَ
Dan Allah adalah Zat yang bersifatkan dengan segala kesempurnaan yang tidak ada batas akhir bagi-Nya, dan tidak ada yang mengetahui hal itu, kecuali hanya Dia.
وَ مُنَزَّهٌ عَنْ كُلِّ نَقْصٍ وَ مُنْفَرِدٌ بِالْمِلْكِ وَ التَّدْبِيْرِ، وَاحِدٌ فِيْ ذَاتِهِ وَ صِفَاتِهِ وَ أَفْعَالِهِ.
Dan Zat yang tersucikan dari segala kekurangan, dan Zat yang bersendirian dalam penguasaan dan pengetahuan. Zat Yang Maha Esa dalam Zat-Nya, sifat-sifatNya dan berbagai perbuatan-Nya.
(وَ أَنَّ مُحَمَّدًا)بْنَ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ بْنِ هَاشِمٍ بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ (رَسُوْلُ اللهِ)
(Dan bahwa Nabi Muḥammad) bin ‘Abdillāh bin ‘Abd-il-Muththalib bin Hāsyim bin ‘Abdi Manāf (adalah utusan Allah).
وَ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِيْ بَعْثَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ،
Kalangan ulama berbeda pendapat mengenai pengutusan Nabi s.a.w. kepada para malaikat, atas dua pendapat,
وَ جَزَمَ الْحَلِيْمِيُّ وَ الْبَيْهَقِيُّ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مَبْعُوْثًا إِلَيْهِمْ،
1). Imām al-Ḥalīmī dan Imām al-Baihaqī mengukuhkan pendapat bahwasanya Nabi s.a.w. tidak diutus kepada para malaikat.
وَ رَجَّحَ السُّيُوْطِيُّ وَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّيْنِ السُّبْكِيُّ أَنَّهُ كَانَ مَبْعُوْثًا إِلَيْهِمْ،
2). Dan Imām as-Suyūthī dan Syaikh Taqiyyuddīn as-Subkī memastikan unggul pendapat bahwasanya Nabi s.a.w. diutus kepada para malaikat.
وَ زَادَ السُّبْكِيُّ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مُرْسِلٌ إِلَى جَمِيْعِ الْأَنْبِيَاءِ وَ الْأُمَمِ السَّابِقَةِ
Dan Syaikh as-Subkī menambahkan: “Sesungguhnya Nabi Muḥammad s.a.w. diutus kepada seluruh para nabi dan umat-umat terdahulu.”
وَ أَنَّ قَوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: بُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً شَامِلٌ لَهُمْ مِنْ لَدُنْ آدَمَ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ
Dan sesungguhnya sabda Nabi s.a.w. (KS-221): “Aku diutus kepada manusia seluruhnya”, hal itu mencakup kepada para manusia, mulai dari Nabi Ᾱdam sampai direalisasikan hari kiamat.
وَ رَجَّحَهُ الْبَارِزِيُّ وَ زَادَ أَنَّهُ مُرْسَلٌ إِلَى جَمِيْعِ الْحَيَوَانَاتِ وَ الْجَمَادَاتِ مِنْ رَمَلٍ وَ حَجَرٍ وَ مَدَرٍ،
Dan Syaikh al-Bārizī memastikan unggul pendapat itu, dan beliau menambahkan: “Sesungguhnya Nabi s.a.w. diutus kepada seluruh hewan-hewan dan benda-benda mati, yaitu kerikil, bebatuan dan lumpur.”
وَ زِيْدَ عَلَى ذلِكَ أَنَّهُ مُرْسَلٌ إِلَى نَفْسِهِ، ذَكَرَ ذلِكَ فِيْ تَزْيِيْنِ الْأَرَائِكِ،
Dan ditambahkan atas pendapat itu, bahwasanya Nabi s.a.w. diutus kepada diri beliau sendiri. Dituturkan hal itu di dalam kitab Tazyīn-ul-Arā’ik.
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: وَ أُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً.
Nabi s.a.w. bersabda (KS-232): “Dan aku diutus kepada makhluk seluruhnya.”
[فَائِدَةٌ] قَالَ الْبَاجُوْرِيُّ: وَ قَدْ ذَكَرَ بَعْضُهُمْ أَنَّ مِنْ تَمَامِ الْإِيْمَانِ أَنْ يَعْتَقِدَ الْإِنْسَانُ أَنَّهُ لَمْ يَجْتَمِعْ فِيْ أَحَدٍ مِنَ الْمَحَاسِنِ الظَّاهِرَةِ وَ الْبَاطِنَةِ مِثْلُ مَا اجْتَمَعَ فِيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ.
(FAIDAH). Berkata Syaikh al-Bājūrī: “Dan sungguh sebagian ulama telah menuturkan bahwa termasuk kesempurnaan iman adalah seorang manusia harus meyakini bahwasanya tidaklah akan terhimpun di diri seorang pun, dari berbagai kebagusan-kebagusan lahiriyah dan bathiniyah sesuatu yang menyamai dengan apa yang terhimpun di diri Nabi s.a.w.”
(وَ) ثَانِيْهَا (إِقَامُ الصَّلَاةِ)
(Dan) rukun yang kedua adalah (mendirikan shalat).
وَ هِيَ أَفْضَلُ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ الظَّاهِرَةِ وَ بَعْدَهَا الصَّوْمُ ثُمَّ الْحَجُّ ثُمَّ الزَّكَاةُ
Dan shalat adalah seutama-utamanya ibadah-ibadah fisik lahiriyah, dan setelah shalat adalah puasa, kemudian haji, kemudian zakat.
فَفَرْضُهَا أَفْضَلُ الْفَرَائِضِ وَ نَفْلُهَا أَفْضَلُ النَّوَافِلِ
Maka shalat fardhu adalah seutama-utamanya ibadah-ibadah fardhu, dan shalat sunnah adalah seutama-utamanya ibadah-ibadah sunnah.
وَ لَا يُعَذَّرُ أَحَدٌ فِيْ تَرْكِهَا مَا دَامَ عَاقِلًا.
Dan tidak diberikan dispensasi seorang pun dalam hal meninggalkan shalat, selama ia masih berfungsi akalnya.
وَ أَمَّا الْعِبَادَاتُ الْبَدَنِيَّةُ الْقَلْبِيَّةُ كَالْإِيْمَانِ وَ الْمَعْرِفَةِ وَ التَّفَكُّرِ وَ التَّوَكُّلِ وَ الصَّبْرُ وَ الرَّجَاءُ وَ الرِّضَا بِالْقَضَاءِ وَ الْقَدَرِ وَ مَحَبَّةِ اللهِ تَعَالَى وَ التَّوْبَةِ وَ التَّطَهُّرِ مِنَ الرَّذَائِلِ كَالطَّمْعِ وَ نَحْوِهِ
Adapun ibadah-ibadah fisik bathiniyah, seperti beriman, mengenal Allah, berfikir, tawakkal, sabar, ridha dengan qadha’ dan qadar, mencintai Allah ta‘ālā, taubat, mensucikan diri dari berbagai sifat hina, seperti sifat thama‘ dan semacamnya.
فَهِيَ أَفْضَلُ مِنَ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ الظَّاهِرَةِ حَتَّى مِنَ الصَّلَاةِ
maka semua hal itu merupakan ibadah paling utama dibandingkan berbagai ibadah fisik lahiriyah, sekalipun dibandingkan dengan shalat.
فَقَدْ وَرَدَ: تَفَكُّرُ سَاعَةٍ أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةِ سِتِّيْنَ سَنَةً
Karena sungguh telah datang [hadits] (KS-243): “Berfikir sesaat itu lebih utama dibandingkan ibadah selama 60 tahun.”
وَ أَفْضَلُ الْجَمِيْعِ الْإِيْمَانُ
Namun yang paling utama dari keseluruhan itu adalah berkeimanan.
[فَائِدَةٌ] قَالَ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ: إِنَّ التَّفَكُّرَ عَلَى خَمْسَةِ أَوْجَهٍ: إِمَّا فِيْ آيَاتِ اللهِ وَ يَلْزَمُهُ التَّوَجُّهُ إِلَيْهِ وَ الْيَقِيْنُ بِهِ،
(FAIDAH). Mayoritas ulama berkata: “Sesungguhnya berfikir terdiri atas 5 bentuk. Adakalanya [berfikir] mengenai tanda-tanda [keagungan] Allah, dan hal itu meniscayakan terhadap memusatkan hati hanya kepada Allah dan meyakini kepada kuasa-Nya, dan yakin dengan-Nya.
أَوْ فِيْ نِعْمَةِ اللهِ وَ يَتَوَلَّدُ عَنْهُ الْمَحَبَّةُ،
Atau [berfikir] mengenai nikmat Allah, dan akan lahir darinya, rasa cinta [kepada Allah].
أَوْ فِيْ وَعْدِ اللهِ وَ يَتَوَلَّدُ عَنْهُ الرَّغْبَةُ،
Atau [berfikir] mengenai janji Allah, dan akan lahir darinya, rasa suka [ber-ibadah kepada-Nya].
أَوْ فِيْ وَعِيْدِ اللهِ وَ يَتَوَلَّدُ عَنْهُ الرَّهْبَةُ،
Atau [berfikir] mengenai ancaman Allah, dan akan lahir darinya, rasa gentar [terhadap ancaman Allah].
أَوْ فِيْ تَقْصِيْرِ النَّفْسِ عَنِ الطَّاعَةِ وَ يَتَوَلَّدُ عَنْهُ الْحَيَاءُ بِالْفَتْحِ وَ الْمَدِّ وَ هُوَ الْاِنْقِبَاضُ وَ الْاِنْزِوَاءُ.
Atau [berfikir] tentang kecerobohan diri sendiri [jauh] dari ketaatan, dan akan lahir darinya, rasa malu. Kalimat al-Ḥayā’u dengan dibaca fatḥah huruf yā’-nya dan dibaca panjang, al-Ḥayā adalah rasa tertekan dan rasa terpojokkan”
قَالَ أَحْمَدُ بْنُ عَطَاءِ اللهِ: مِنْ عَلَامَاتِ مَوْتِ الْقَلْبِ عَدَمُ الْحُزْنِ عَلَى مَا فَاتَكَ مِنَ الطَّاعَاتِ وَ تَرْكِ النَّدَمِ عَلَى مَا فَعَلْتَهُ مِنْ وُجُوْدِ الزَّلَّاتِ.
Syaikh Aḥmad bin ‘Athā’illāh berkata: “Di antara tanda-tanda matinya hati adalah tidak merasa sedih atas perkara yang terluput darimu, yaitu berbagai ketaatan, dan meninggalkan penyesalan atas perkara yang telah engkau kerjakan, yaitu terwujudkan berbagai kesalahan. (KS-254).”
وَ قَالَ أَيْضًا: الْحُزْنُ عَلَى فُقْدَانِ الطَّاعَاتِ فِي الْحَالِ مَعَ عَدَمِ النُّهُوْضِ أَيِ الْاِرْتِفَاعِ إِلَيْهَا فِي الْمُسْتَقْبَلِ مِنْ عَلَامَاتِ الْاِغْتِرَارِ.
Dan beliau pun berkata: “Bersedih atas ketiadaan berbagai ketaatan di saat itu juga, disertai dengan ketiadaan membangkitkan diri, yakni bersemangat tinngi, untuk [melakukan] berbagai ketaatan itu, di masa yang akan datang, adalah termasuk di antara tanda-tanda terperdaya [oleh syetan].” (KS-265).
[فَائِدَةٌ] قَالَ بَعْضُهُمْ: مَحَبَّةُ اللهِ عَلَى عَشَرَةِ مَعَانٍ مِنْ جِهَةِ الْعَبْدِ.
(FAIDAH) Sebagian ulama berkata: “Mencintai Allah terdiri atas 10 makna, dari sisi [pribadi] seorang hamba.
أَحَدُهَا: أَنْ يَعْتَقِدَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى مَحْمُوْدٌ مِنْ كُلِّ وَجْهٍ وَ بِكُلِّ صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ.
Makna yang pertama adalah seorang hamba harus meyakini bahwa Allah ta‘ālā adalah Dzat terpuji dari setiap sisi [bentuk keterpujian], dan di setiap sifat dari berbagai sifat-Nya.
ثَانِيْهَا: أَنْ يَعْتَقِدَ أَنَّهُ مُحْسِنٌ إِلَى عِبَادِهِ مُنْعِمٌ مُتَفَضِّلٌ عَلَيْهِمْ.
Makna yang kedua adalah seorang hamba terus meyakini bahwa Allah adalah Dzat pemberi kebaikan kepada para hamba-Nya, pemberi karunia, lagi pemberi keutamaan kepada mereka.
ثَالِثُهَا: أَنْ يَعْتَقِدَ أَنَّ الْإِحْسَانَ مِنْهُ إِلَى الْعَبْدِ أَكْبَرُ وَ أَجَلُّ مِنْ أَنْ يُقَابَلَ بِقَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ مِنْهُ وَ إِنْ حَسُنَ وَ كَثُرَ.
Makna yang ketiga adalah seorang hamba harus meyakini bahwa kebaikan dari Allah kepada seorang hamba itu lebih besar dan lebih agung, daripada balasan sepadan si hamba, dengan ucapan atau perbuatan dari dirinya, meskipun bagus dan banyak.
رَابِعُهَا: أَنْ يَعْتَقِدَ قِلَّةَ قَضَايَاهُ عَلَيْهِ وَ قِلَّةَ تَكَالِيْفِهِ.
Makna yang keempat adalah seorang hamba harus meyakini perihal sedikitnya berbagai ketentuan hukum Allah atas dirinya dan sedikitnya pembebanan kewajiban dari-Nya.
خَامِسُهَا: أَنْ يَكُوْنَ فِيْ عَامَّةِ أَوْقَاتِهِ خَائِفًا وَجَلًا مِنْ إِعْرَاضِهِ تَعَالَى عَنْهُ وَ سَلَبَ مَا أَكْرَمَهُ بِهِ مِنْ مَعْرِفَةِ وَ تَوْحِيْدِ وَ غَيْرِهِمَا.
Makna yang kelima adalah seorang hamba ada disepenuh waktu-waktunya dalam khawatir dan takut, dari berpalingnya Allah ta‘ālā dari dirinya, dan tercabut sesuatu yang telah Allah memuliakan dirinya dengan sesuatu itu, berupa ma‘rifat, dan tauhid, dan selainnya.
سَادِسُهَا: أَنْ يَرَى أَنَّهُ فِيْ جَمِيْعِ أَحْوَالِهِ وَ آمَالِهِ مُفْتَقِرًا إِلَيْهِ لَا غِنَى لَهُ عَنْهُ.
Makna yang keenam adalah seorang hamba melihat bahwasanya dirinya di semua keadaan dirinya dan harapan-harapannya adalah butuh kepada Allah, tidak merasa kaya [tidak butuh] baginya terhadap Allah.
سَابِعُهَا: أَنْ يُدِيْمَ ذِكْرَهُ بِأَحْسَنِ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ مِنْهُ.
Makna yang ketujuh adalah seorang hamba harus berkesenantiasaan untuk mengingat Allah dengan sesuatu yang terbaik yang Allah sudah menakdirkan kepadanya akan hal itu.
ثَامِنُهَا: أَنْ يَحْرِصَ عَلَى إِقَامَةِ فَرَائِضِهِ وَ أَنْ يَتَقَرَّبَ إِلَيْهِ بِنَوَافِلِهِ بِقَدْرِ طَاقَتِهِ.
Makna yang kedelapan adalah seorang hamba harus berambisi untuk melaksanakan berbagai kefardhuan Allah, dan ia melakukan pendekatan diri kepada Allah dengan berbagai ibadah sunnah, sesuai kadar kemampuannya.
تَاسِعُهَا: أَنْ يَسُرَّ أَيْ يَفْرَحَ بِمَا سَمِعَ مِنْ غَيْرِهِ مِنْ ثَنَاءٍ عَلَيْهِ أَوْ تَقَرُّبٍ إِلَيْهِ وَ جِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهِ سِرًّا وَ عَلَانِيَّةً نَفْسًا وَ مَالًا وَ وَلَدًا.
Makna yang kesembilan adalah ia merasa senang, yakni ia merasa gembira dengan sesuatu yang ia dengar mengenai apa yang terjadi pada orang lain, berupa pujian kepada Allah, atau berupa pendekatan diri kepada Allah, dan berjihad di jalan Allah, secara diam-diam dan terang-terangan, dengan jiwa, harta dan anaknya.
عَاشِرُهَا: إِنْ سَمِعَ مِنْ أَحَدٍ ذِكْرَ اللهِ أَعَانَهُ.
Makna yang kesepuluh adalah jika ia mendengar dari seseorang perihal upaya dzikir kepada Allah, maka ia akan membantu orang itu.”
[تَنْبِيْهٌ] الصَّلَاةُ وَ الزَّكَاةُ وَ الْحَيَاةُ إِذَا لَمْ تُضَفْ تُكْتَبُ بِالْوَاوِ عَلَى الْأَشْهَرِ اتِّبَاعًا لِلْمَدُصْحَفِ
(PERINGATAN) Lafazh ash-Shalātu, az-Zakātu, dan al-Ḥayātu apabila tidak di-idhāfah-kan, maka ditulis dengan huruf wāwu, menurut pendapat yang paling masyhur, karena mengikuti terhadap mushḥaf [al-Qur’ān].
وَ مِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ يَكْتُبُهَا بِالْأَلِفِ،
Namun di antara para ulama ada seorang ulama yang menuliskannya dengan huruf alif [bukan wāwu].
أَمَّا إِذَا أُضِيْفَتْ فَلَا يَجُوْزُ كِتَابَتُهَا إِلَّا بِالْأَلِفِ سَوَاءٌ أُضِيْفَتْ إِلَى ظَاهِرٍ أَوْ مُضْمَرٍ كَمَا قَالَهُ ابْنُ الْمَلْقَنِ.
Adapun apabila di-idhāfah-kan, maka tidak diperbolehkan menuliskannya kecuali dengan huruf alif.
Sama saja di-idhāfah-kan kepada isim zhāhir atau isim dhamīr, sebagaimana Syaikh Ibn-ul-Malqan mengatakannya.
Catatan: