001 Tauhid-ul-Af’aal – Permata Yang Indah (Bagian 2)

الدر النفيس
للشيخ محمد نفيس ابن إدريس البنجاري

PERMATA YANG INDAH
TITIAN SUFI MENUJU TAUḤĪDULLĀH
Oleh: Syekh Muhammad Nafīs Ibnu Idrīs Al-Banjārī

Rangkaian Pos: Permata Yang Indah - 001 Tauhid-ul-Af’aal | Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari

هو

PASAL SATU

TAUḤĪD AL-AF‘ĀL

 

Di antara orang-orang yang mengenal Allah (‘ārifīn bi Allāh/gnostikus), ketika mengelaborasi masalah ini, mengilustrasikan hubungan antara hamba sebagai makhlūq dengan Allah sebagai Khāliq melalui perumpamaan wayang dan dalang. Hamba diumpamakan sebagai wayang sedangkan Allah diumpamakan sebagai dalangnya. Wayang akan bergerak kesana-kemari sesuai dengan gerakan yang dimainkan oleh sang dalang. Demikian juga makhlūq, perbuatannya akan selalu ‘dimainkan’ dan diatur oleh Sang Khāliq.

Perumpamaan wayang dan dalang yang digagas oleh sebagian kalangan gnostik tersebut, kendati di satu sisi dimaksudkan sebagai upaya pemahaman sehingga tidak harus dimaknai secara ḥaqīqī, pada sisi lain, memberikan pelajaran yang berarti kepada kita. Signifikansinya adalah agar kita tidak melanggar syarī‘ah Muhammadiyyah. Jika wayang tersebut disetel untuk memerankan peran yang telah dirancang sang dalang, maka manusia juga seyogianya memerankan lakon yang sudah diskenariokan di dalam syarī‘ah. Dalam kondisi apa pun, wājib bagi kita untuk mengerjakan perintah-perintah Allah dan Rasūl-Nya serta menjauhi larangan-laranganNya dan Rasūl-Nya.

Jadi, bagi anda yang sudah mencapai maqām-maqām tertentu dalam penempuhan laku spiritual, seberapa pun tinggi maqām yang telah anda capai, hal itu tidak menjadi alasan untuk kemudian menggugurkan taklīf syara‘. Jangan mentang-mentang sudah mencapai maqām Tauīd-ul-‘Af‘āl ini, misalnya, lalu secara serta merta syarī‘ah Muhammadiyyah diabaikan. Hal ini tidaklah benar! Sebab, jika anda melakukan hal tersebut, maka anda sebenarnya telah menjadi seorang Kāfir Zindīk. Na‘ūdzu bi Allāhi min dzālik (Kita berlindung kepada Allah dari hal demikian). Oleh karena itu, di samping anda meneguhkan diri dalam posisi Tauīd-ul-‘Af‘āl ini, anda juga harus senantiasa berpegang kepada syarī‘ah Muhammadiyyah.

Dalam maqām Tauīd-ul-Af‘āl, anda harus – melalui mata hati anda – menyaksikan bahwa segala macam perbuatan, baik dan jahat, semata-mata berasal dari Allah s.w.t. Sehingga, penyaksian semacam ini dapat melepaskan diri anda dari bahaya syirk khafī (syirik yang tersembunyi) dan bahaya-bahaya lain yang dapat menghalangi anda untuk sampai kepada Allah s.w.t. Sebab, jika anda masih mempunyai anggapan bahwa perbuatan yang anda lakukan adalah perbuatan anda sendiri, maka anda sama sekali belum terbebas, atau tidak suci, dari syirk khafī, sekalipun mungkin anda terlepas dari syirk jalī (syirik yang terang-terangan mempersekutukan Allah). Baik syirk khafī maupun syirk jalī, keduanya sama-sama merupakan perbuatan syirk yang amat dimurkai oleh Allah s.w.t. Dia berfirman:

وَ مَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ إِلَّا وَ هُمْ مُشْرِكُوْنَ

Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).”

Ayat ini memberikan interpretasi bahwa kebanyakan dari manusia bukannya beriman kepada Allah tetapi malah menyekutukan-Nya dengan sebab memandang wujūd-Nya serta dengan sebab menyamakan Perbuatan Allah dengan perbuatan-perbuatan selain-Nya. Sadar dengan apa yang ditegaskan oleh ayat tersebut, Sayyid ‘Umar Ibn-ul-Farīd r.a. (semoga Allah meridhainya – selanjutnya disebut r.a.) menyatakan:

وَ لَوْ خَطَرَتْ لِيْ فِيْ سِوَاكَ إِرَادَةٌ

عَلى خَاطِرِيّ سَهْوًا قُضِيْتُ بِرِدَّتِيْ

Andaikata terlintas di dalam hatiku suatu kehendak akan yang lain selainmu karena jiwaku melupakannya, maka hukumkan diriku sebagai Murtad.”

Jadi, dengan nada yang begitu keras, Sayyid ‘Umar berani divonis sebagai Murtad hanya karena gara-gara ia lupa sejenak kepada Allah dan terlintas sesaat di dalam jiwanya akan pikiran-pikiran lain selain-Nya. Anda pun kalau misalnya melakukan hal yang sama, pasti akan divonis juga dengan vonis yang sama sehingga anda tidak digolongkan lagi sebagai seorang Mu’min sejati. Maka, demi menghindari vonis seperti itu, anda harus memandang bahwa tidak ada satu pun yang berbuat, tidak ada satu pun yang hidup, dan tidak ada satu pun yang maujūd di ‘ālam ini, kecuali semata-mata hanya Allah s.w.t. Dengan pandangan seperti ini, maka anda pasti menjadi Mu’min sejati, Mu’min yang sebenarnya, sehingga anda terlepas dari syirk khafī. Anda pun akan terlepas dari apa yang disebut di dalam Al-Qur’ān sebagai ‘Musyrik’. Anda bahkan akan menjadi seorang ahl-ut-tauīd (seorang yang benar-benar mengesakan Allah) yang sesungguhnya, yang di dalam Al-Qur’ān digambarkan sebagai ‘memiliki Syurga,’ dan ingin cepat-cepat untuk meninggalkan dunia ini. Balasan Syurga menjadi pantas dilimpahkan kepada anda, sebab sebagai seorang Muslim sejati, anda telah memiliki sifat-sifat kemuliaan. Seorang Mu’min sejati akan memperoleh dua keni‘matan Syurga. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah s.w.t.:

وَ لِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ

Dan bagi orang yang takut akan sā‘at menghadap Tuhannya memperoleh dua Syurga.”

Syurga yang pertama adalah Syurga ma‘rifah akan Allah di dunia ini. Syurga ini dapat digambarkan dengan kesenangan seorang hamba yang benar-benar telah mengenal Tuhannya. Syurga yang kedua adalah Syurga Ākhirat, Syurga yang umūmnya telah dipahami, sebagai Syurga yang pelbagai macam kesenangannya digambarkan banyak di dalam Al-Qur’ān. Syaikhunā Al-‘Ālim Al-‘Allāmah Al-Baḥr-ul-‘Arīq Maulānā Asy-Syaikh ‘Abd Allāh Ibn Ḥijāzī Asy-Syarqawī Al-Mishrī r.a. mengatakan:

“Barang siapa yang masuk ke dalam Syurga Ma‘rifat di dunia ini, niscaya ia tidak akan merindukan Syurga Ākhirat yang dinisbatkan padanya bidadari-bidadari molek dan semua keni‘matan yang terkandung di dalamnya. Kerinduannya terhadap Syurga Ākhirat ini tidak lain hanyalah supaya ia dapat berjumpa dengan Allah.”

Orang ‘ārif (gnostikus/orang yang mengenal Allah) sebagai pelaku dalam Syurga ma‘rifat ini sangat berbeda dengan orang biasa yang hanya mendambakan keni‘matan sensual Syurga Ākhirat. Skala kebahagiaan atau keni‘matan yang diberikan Allah kepada kalangan awam ini barulah separuh dari skala kebahagiaan yang dilimpahkan kepada kalangan ‘ārif. Sebab, kalangan ‘ārif ini lebih menjunjung nilai-nilai kemuliaan Ilāhi ketika di dunia ini dibandingkan dengan kalangan biasa.

Karena itu, wahai sekalian saudaraku! Hendaklah anda takut untuk lupa mengingat akan Wadat-ul-Af‘āl (Keesaan dalam Perbuatan) Allah tersebut, karena ingatan itulah yang akan mengantarkan anda menuju ke sebuah ‘Panorama’ yang sangat indah, ya‘nī Wājib-ul-Wujūd (Allah s.w.t.). Anda juga hendaklah senantiasa merasa takut untuk menisbatkan suatu perbuatan atas anda sendiri.

Berikut ini, ada sebuah penjelasan (tanbīh) yang akan membantu saudara-saudara dalam menghindari segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi, manakala kita coba memosisikan diri dengan perbuatan yang kita lakukan. Di dalam kitāb al-Jawāhiru wad-Duraru, Syekh ‘Abd-ul-Wahhāb asy-Sya‘rānī, qaddasa Allāhu sirrahu (semoga Allah menyucikan jiwanya–selanjutnya disebut q.s.), disebutkan bahwa Syekh Muḥy-id-Dīn ibn ‘Arabī berpendapat bahwa:

“Semua akwān (keadaan-keadaan di alam ini) pada dasarnya menjadi dinding penghalang untuk memandang al-aqq (Allah s.w.t.), sekalipun penutup akwān itu sendiri dibuat oleh-Nya. Tetapi, akwān ini juga bisa tidak merupakan dinding, yang diumpamakan dengan bayang-bayang kayu di dalam air yang secara tiba-tiba menghalangi jalannya perahu. Kita menyangka bahwa bayang-bayang kayu itu benar-benar menghalangi atau mendindingi perahu, padahal sebenarnya tidak, ia hanya bayang-bayang fatamorgana.”

Karenanya, jika seseorang telah mampu membuka hijāb atau penghalang semacam ini dalam upayanya untuk sampai kepada Allah, niscaya ia akan melihat bahwa yang menjadi pelaku perbuatan itu pada dasarnya hanya Allah semata. Sebaliknya, jika seseorang tidak mampu membuka hijāb ini, tentu ia terdindingi atau terhalangi dalam upayanya untuk memandang pelaku perbuatan yang sesungguhnya, Allah s.w.t.

Dalam upaya mengaitkan perbuatan dengan hamba, terdapat empat mazhab yang berkembang di masyarakat:

 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *