هو
PASAL SATU
TAUḤĪD AL-AF‘ĀL
Yang dimaksud dengan Tauḥīd al-Af‘āl adalah pengesaan terhadap Allah s.w.t. dari segala macam perbuatan. Ketahuilah wahai sālik! Bahwa, tidak ada sesuatu pun yang mampu membuat anda terhindar dari sikap-sikap berbahaya, sebagaimana sikap-sikap yang telah diterangkan di atas, melainkan dengan i‘tiqād (keyakinan) dan syuhūd (penyaksian) yang harus anda pegang secara kuat bahwa segala macam perbuatan yang terselenggara di ‘ālam ini berasal dari Allah s.w.t. Perbuatan dimaksud tidak saja terbatas pada perbuatan-perbuatan baik, tetapi lebih luas juga pada perbuatan-perbuatan jahat. Jika kita mengakui bahwa perbuatan baik mempunyai ḥaqīqat baik, maka adakalanya juga perbuatan yang kelihatan tidak baik (jahat) – layaknya perbuatan kufur dan maksiat – mempunyai ḥaqīqat yang baik. Dapatnya perbuatan-perbuatan kufur dan maksiat ini memiliki ḥaqīqat yang baik karena perbuatan-perbuatan itu pada dasarnya berasal dari Yang Baik, yaitu Allah s.w.t. Setiap perbuatan yang bersumber dari Allah pastilah baik. Namun setelah Syara‘ datang, perbuatan-perbuatan yang kelihatannya tidak baik (jahat) tersebut, kemudian dianggap sebagai perbuatan-perbuatan tercela, dalam artian dilarang oleh syarī‘ah.
Cara memandang bahwa perbuatan-perbuatan itu berasal dari Allah adalah melalui pandangan dan syuhūd (penyaksian). Pandangan ini bisa dilakukan dengan mata kepala, sementara syuhūd bisa dilakukan dengan mata hati. Dari pandangan dan syuhūd ini, meniscayakan terciptanya suatu keyakinan bahwa segala perbuatan itu berasal dan muncul dari Allah s.w.t. Andaikata kita ingin menyamakan suatu perbuatan makhlūq dengan perbuatan Khāliq, maka penyamaan itu haruslah bersifat kiasan/metaforis (majāzī). Penyamaan itu bukan dalam pengertian yang sesungguhnya (ḥaqīqī), sebab segala perbuatan yang dilakukan oleh makhlūq pada dasarnya bersumber dari Allah, baik perbuatan itu bersifat langsung (mubāsyarah) maupun tidak langsung (tawalludiyyah). Yang dimaksud dengan perbuatan bersifat langsung adalah perbuatan yang dilakukan dengan kekuasaan yang ada pada makhlūq, semisal gerakan sebuah tangan seseorang yang menulis. Sedangkan perbuatan yang bersifat tidak langsung atau bersifat turunan adalah perbuatan yang tercipta akibat perbuatan yang dilakukan secara langsung, semisal jatuhnya sebuah batu dari tangan seseorang yang melemparkannya. Kedua macam perbuatan ini bersumber dari Allah s.w.t. Dia berfirman di dalam Al-Qur’ān:
وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَ مَا تَفْعَلُوْنَ
“Dan Allah-lah Yang Menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.” (Ash-Shaffāt 37:96)
Menurut Syaikh Muḥammad Ibn Sulaimān al-Jazūlī, raḥimah Allāh (semoga Allah merahmatinya – selanjutnya disebut r.h.) di dalam Syarḥu Dalā’il-il-Khairāt:
“Baik perkataan maupun perbuatan, termasuk gerakan dan diamnya, yang muncul dari makhlūq di ‘ālam ini pada dasarnya sudah berada dalam ‘ilm (pengetahuan), qadhā’ (keputusan), dan qadar (takdīr) Allah s.w.t. Dengan demikian, tidak ada satu pun perbuatan atau karya yang dilakukan oleh makhlūq, melainkan sudah diketahui, diputuskan, dan ditakdirkan terlebih dahulu oleh Allah s.w.t.”
Dalam satu kasus, Dia berfirman:
وَ مَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَ لكِنَّ اللهَ رَمى
“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (Al-Anfāl 8:17)
Dalam kasus ini, bukanlah Muḥammad yang melakukan perbuatan melempar tatkala ia melempar, akan tetapi perbuatan itu dilakukan oleh Allah s.w.t. Itulah sebabnya, menyadari bahwa perbuatannya bukanlah dilakukan atas kehendaknya sendiri, Nabi s.a.w. kemudian bersabda:
لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
“Tiada daya dan upaya melainkan karena Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung.”
Hadīts ini menegaskan sebuah pemahaman bahwa manusia sebenarnya tidak mempunyai daya untuk menghindari upaya untuk melakukan ketaatan, Kekuatan dan upaya ini hanya dimiliki Allah Yang Mahatinggi lagi Maha besar. Sabda Nabi s.a.w.:
لَا تُحَرَّكُ ذَرَّةٌ إِلَّا بِإِذْنِ اللهِ
“Tidak ada satu pun atom yang bergerak kecuali karena izin Allah.”
Jadi, Hadīts ini menunjukkan bahwa melalui izin (idzn) dan kehendak (irādah) Allah-lah partikel atom (dzarrah) dapat bergerak dan berfungsi di ‘ālam ini. Nabi Muḥammad s.a.w. tidak mendoakan ‘adzāb dan kemalangan terhadap orang-orang Kāfir Quraisy yang sepanjang hidupnya mengganggu dan menyakitinya karena ia menyadari bahwa perbuatan orang-orang Kāfir tersebut dikaitkan langsung dengan kehendak Allah s.w.t. Allah-lah yang mendasari setiap poros perbuatan yang tercipta di ‘ālam ini. Jika anda memiliki kesadaran yang sama dalam hal ini, maka kesadaran tersebut hendaklah anda pelihara dan anda junjung tinggi. Sebab, dengan memberikan pembenaran (taḥqīq) atas masalah ini, anda akan terlepas dari aneka ragam bahaya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Dengan kesadaran seperti itu pula, anda harus meyakini bahwa segala macam wujūd metaforis (majāzī) yang dapat disaksikan oleh mata kepala dan mata hati pada gilirannya akan pudar dan terhapus di bawah Cahaya Nūr Wujūd Allah, yang merupakan Wujūd yang sebenarnya.
Jika pandangan dan syuhūd anda senantiasa memelihara konsepsi (pemahaman) bahwa segala macam perbuatan bersumber semata-mata dari Allah s.w.t., sekalipun pemahaman itu tumbuh secara bertahap (sedikit demi sedikit), sampai anda benar-benar merasa yaqīn, maka pada akhirnya anda akan mengalami apa yang disebut dengan “musyāhadah” (penyaksian terhadap Dzāt Allah s.w.t.). Musyāhadah berarti penyaksian (berpandangan). Penyaksian di sini mengandaikan seseorang untuk “melihat” secara jelas perbedaan antara yang lahir dan batin; di mana keduanya tidaklah dicampur-aduk.
Apabila anda telah mengalami musyāhadah ini, maka proses itulah sebenarnya yang menghantarkan anda pada maqām (station) Waḥdat-ul-‘af‘āl. Waḥdat-ul-‘af‘āl adalah Keesaan Allah dalam segala perbuatan. Maqām ini meniscayakan terjadinya fanā’ (peniadaan) pada perbuatan makhlūq. Baik perbuatannya sendiri, perbuatan orang-orang lain, maupun perbuatan yang dilakukan oleh semua makhlūq di ‘ālam ini, semuanya akan fanā’ (hilang/lenyap) di bawah Perbuatan Allah s.w.t. Dengan kata lain, manakala perbuatan makhlūq dihadapkan kepada Perbuatan Allah, niscaya perbuatan makhlūq menjadi lenyap tidak kelihatan. Perbuatan-perbuatan yang terselenggara di ‘ālam semesta, apakah perbuatan itu baik ataukah tidak baik, semuanya dilihat sebagai Perbuatan Allah s.w.t. Jika perbuatan baik dapat dengan mudah dinisbatkan kepada Allah, sehingga setiap orang menerimanya secara aksiomatik, maka mungkin tidak demikian halnya dengan perbuatan tidak baik (tercela). Sebagian orang mungkin tidak menerima jika dikatakan bahwa Allah s.w.t. menjadi nisbat bagi perbuatan-perbuatan tidak baik. Adapun yang menjadi dalīl untuk mengatakan bahwa perbuatan tidak baik tersebut juga bersumber dari Allah s.w.t. adalah sebagaimana yang termaktūb dalam Ḥadīts, yang berisikan do‘ā Nabi s.a.w.:
اللهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ
“Ya Tuhanku! Sesungguhnya aku berpaling kepadaMu dari Engkau.”
Do‘ā Nabi dari Ḥadīts ini menunjukkan bahwa Nabi berlindung kepada Allah dari kejahatan yang berasal dari-Nya. Seandainya kejahatan itu bukan dari Allah, tentu saja Nabi kita tidak akan berdo‘ā dengan do‘ā seperti itu. Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa segenap perbuatan, baik dan tidak baik, pada dasarnya berasal dari Allah s.w.t. Di dalam Al-Qur’ān, Allah s.w.t. menegaskan:
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللهِ
“Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah.” (An-Nisā’ 4:78)
Ayat ini kalau coba saya tafsīrkan, maka kira-kira adalah: “Katakanlah olehmu Ya Muḥammad! Bahwa, semua kebajikan dan kejahatan bersumber dari Allah s.w.t.