كِتَابُ الطَّهَارَةِ
[KITAB BERSUCI]
Lafazh “KITĀB” diambil dari mashdar KATBI, artinya mengumpulkan. Orang ‘Arab mengatakan: “takattaba banū fulānin” jika orang-orang Banu Fulan sedang berkumpul-kumpul. Sama dengan kata-kata katibat-ur-ramali, itu artinya kumpulan pasir atau tumpukan pasir.
Lafaz THAHĀRAH, arti menurut lughat yaitu bersih. Jika kamu mengatakan thahharat-uts-tsauba, itu artinya: Aku membersihkan pakaian. Adapun menurut syara‘. Thahārah ialah usaha menghilangkan hadats atau najis atau apa saja yang sama dengan hadats atau najis, atau suatu pekerjaan yang sama dengan usaha-usaha menghilangkan hadats dan najis, seperti basuhan-basuhan yang ketiga atau kedua, mandi-mandi yang disunnatkan, memperbarui wudhu’, tayammum dan lain sebagainya. Termasuk segala pekerjaan yang tidak boleh menghilangkan hadats atau najis, tetapi mempunyai arti yang sama dengan usaha menghilangkan hadats dan najis.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(الْمَاءُ الَّتِيْ يَجُوْزُ بِهَا التَّطْهِيْرُ سَبْعُ مِيَاهٍ: مَاءُ السَّمَاءِ، وَ مَاءُ الْبَحْرِ، وَ مَاءُ النَّهْرِ، وَ مَاءُ الْبِئْرِ، وَ مَاءُ الْعَيْنِ، وَ مَاءُ الثَّلْجِ، وَ مَاءُ الْبَرَدِ)
[Air yang boleh digunakan untuk bersuci ada tujuh macam: yaitu:
Dalil yang membolehkannya bersuci dengan menggunakan air hujan ialah firman Allah s.w.t.:
…وَ يُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ…..
“…..dan Allah telah menurunkan kepadamu air (hujan) dari langit untuk menyucikan dirimu (dengan air itu).” (al-Anfāl [8]: 11).
Dan di sana masih ada banyak lagi ayat-ayat yang lain.
Dalil yang membolehkannya bersuci dengan menggunakan air laut, yaitu sabda Nabi Muḥammad s.a.w. ketika beliau dimintai keterangan mengenai air laut. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
“Laut itu airnya mensucikan dan bangkainya halal dimakan.”
Hadits tersebut dianggap shaḥīḥ oleh Ibnu Ḥibbān, Ibn-us-Sakan, at-Tirmidzī dan Imām Bukhārī.
Dalil yang membolehkannya bersuci dengan menggunakan air sumur ialah Haditsnya Sahl r.a.:
قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ! إِنَّكَ تَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَ فِيْهَا مَا يُنْجِي النَّاسُ وَ الْحَائِضُ وَ الْجُنُبُ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): الْمَاءُ طَهُوْرٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ.
“Para Sahabat mengajukan pertanyaan kepada Rasūlullāh s.a.w. : Hai Rasūlullāh! Sungguh engkau telah berwudhu’ dengan air sumur Budhā‘ah, padahal di sumur itu airnya telah dipakai mencuci oleh orang banyak, ada perempuan-perempuan yang sedang haidh dan ada pula orang-orang yang junub? Rasūlullāh s.a.w. menjawab: Air itu suci dan mensucikan, tidak satu pun benda yang dapat menajiskan air itu.”
Hadits ini dianggap ḥasan oleh at-Tirmidzī dan dianggap shaḥīḥ oleh Imām Aḥmad dan lainnya.
Adapun air sungai dan air sumber, maka halnya sama dengan air sumur.
Dalil diperolehkannya bersuci menggunakan air es dan air barad ialah Haditsnya Abū Hurairah r.a. (nama aslinya ‘Abd-ur-Raḥmān bin Shahrin, menurut qaul yang ashaḥḥ). Abū Hurairah berkata: Adalah Rasūlullāh s.a.w. apabila telah bertakbir untuk shalatnya, sebelum membaca al-Fātiḥah beliau berhenti sejenak. Kemudian aku bertanya: Ya Rasūlullāh! Apa yang engkau baca? Rasūlullāh s.a.w. menjawab: Aku membaca:
اللهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَ بَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ. اللهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ. اللهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِمَاءِ الثَّلْجِ وَ الْبَرَدِ.
“Ya Allah! Jauhilah diriku dari kesalahan-kesalahan sebagaimana engkau telah menjauhkan barat dari timur. Ya Allah! Bersihkanlah diriku dari kesalahan-kesalahan seperti dibersihkannya pakaian dari kotoran. Ya Allah! Cucilah diriku dari semua kesalahan dengan es dan air barad.”
(Riwayat Bukhārī dan Muslim).
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(ثُمَّ الْمِيَاهُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقسَامٍ: طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ غَيْرُ مَكْرُوْهٍ وَ هُوَ الْمَاءُ الْمُطْلَقُ).
[Kemudian air itu ada empat macam:
1. AIR THĀHIR MUTHAHHIR GHAIRU MAKRŪH, yaitu air yang suci serta mensucikan kepada yang lain dan tidak makruh apabila digunakan, yaitu yang dinamakan air mutlak!].
Air yang boleh menghilangkan hadats dan menghilangkan najis yaitu air mutlak. Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan air mutlak. Ada yang mengatakan: Air Mutlak itu ialah air yang sepi dari qayd-qayd (ikatan-ikatan) dan sepi dari penambahan kata yang perlu (tidak pernah lepas).
Definisi ini adalah definisi yang shaḥīḥ, diterangkan di dalam kitab ar-Raudhah dan kitab al-Muḥarrar, dan telah dinash oleh Imām Syāfi‘ī. Katanya “sepi dari qayd-qayd”, mengecualikan hal yang serupa dengan yang tersebut di dalam firman Allah min mā’in dāfiq (air yang tersendat-sendat keluarnya), dan firman Allah min mā’in mahīn (air yang hina).
Kata pengarang “penambahan kata yang perlu” mengecualikan hal serupa dengan air mawar.
Kata pengarang “penambahan kata yang perlu” juga mengecualikan penambahan kata yang tidak perlu, kadang boleh lepas. Seperti perkataan “AIR SUNGAI” dan lain sebagainya. Penambahan SUNGAI ini tidak dapat melepaskan air sungai itu dari keberadaannya yang boleh menghilangkan hadats dan menghilangkan najis, karena ia masih disebut AIR MUTLAK.
Sebagian Ulama ada yang berkata: Yang disebut air mutlak ialah air yang tetap menurut semula asal kejadiannya. Ada lagi yang mengatakan: Air mutlak ialah apa saja yang boleh disebut air. Sebab dikatakannya air mutlak ialah karena setiap diucapkan, tentu menggunakan arti air yang telah disebutkan itu. Demikianlah apa yang telah diterangkan oleh Ibnu Shalāḥ dan diikuti oleh Imām Nawawī di dalam kitabnya Syaraḥ al-Muhadzdzab.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ مَكْرُوْهٌ: وَ هُوَ الْمَاءُ الْمُشَمَّسُ)
[2. Yaitu AIR THĀHIR MUTHAHHIR MAKRŪH. Maksudnya air suci yang boleh mensucikan terhadap lainnya dan makruh umpama digunakan. Yaitu air yang dijemur di tempat yang panas].
Apa yang dikatakan oleh pengarang ini adalah macam yang kedua dari bahagian air yang banyaknya ada empat macam. Yaitu air musyammas, artinya air yang dijemur di tempat yang panas. Air musyammas ini suci jika tidak bertemu dengan najis, dan boleh mensucikan, artinya boleh menghilangkan hadats dan menghilangkan najis, sebab masih tetap disebut air mutlak. Apakah makruh menggunakannya? Ada khilāf di antara para Ulama. Qaul yang ashaḥḥ (yang lebih diberatkan) bagi Imām Rāfi‘ī, hukumnya makrūh. Qaul inilah yang dipastikan oleh pengarang. Hukum makruh ini, yang dibuat ḥujjah (alasan) oleh Imām Rāfi‘ī ialah karena Rasūlullāh s.a.w. pernah melarang ‘Ā’isyah menggunakan air musyammas dan beliau bersabda: Air musyammas itu boleh mengakibatkan penyakit belang.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās r.a., bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:
مَنِ اغْتَسَلَ بِمَاءٍ مُشَمَّسٍ فَأَصَابَهُ وَضَحٌ فَلَا يُلُوْمَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ.
“Barang siapa mandi dengan air musyammas lalu terkena penyakit belang, janganlah menyalahkan kecuali kepada dirinya sendiri.”
Sahabat ‘Umar r.a. tidak suka menggunakan air musyammas dan berkata: Air musyammas itu menimbulkan penyakit belang.
Kemudian menurut qaul Imām Rāfi‘ī ini, kemakruhan menggunakan air musyammas tersebut mempunyai dua syarat:
Syarat yang pertama: Terjemurnya harus di dalam bejana yang tahan pukul, seperti wadah tembaga, besi dan timah. Sebab panas matahari jika sudah memancar pada wadah logam tersebut, boleh mengluarkan buih yang beserta karat-karat naik ke permukaan air. Dan dari buih yang beserta karat-karat itulah timbulnya penyakit belang. Peristiwa seperti itu tidak akan terjadi pada yang terbuat dari emas atau perak, karena (logam) kedua tersebut sangat bening (tidak menerima karat). Tetapi menggunakan yang terbuat dari emas dan perak hukumnya haram menurut apa yang akan diterangkan nanti.
Jadi, andaikata orang menuangkan air musyammas dari emas atau perak ke dalam wadah yang diperbolehkan memakainya, air itu tidak makruh, sebab tidak ada buih logam yang dikhawatirkan. Juga tidak makruh menggunakan air yang dijemur di dalam wadah tembikar (tanah) dan lain-lain, sebab tidak ada alasan kemakruhannya.
Syarat yang kedua: Menjemurnya harus di daerah yang sangat panas, tidak di daerah yang dingin atau daerah sederhana panasnya. Sebab pengaruh sinar matahari di daerah dingin dan sederhana ini adalah lemah. Tidak ada perbedaan antara disengajakan atau tidaknya jemurnya itu, sebab apa yang dikhawatirkan tetap wujud. Tidak makruh menggunakan air musyammas di dalam kolam kecil atau kolam besar, tanpa ada khilāf.
Apakah makruhnya bersifat syar‘ī (hukum agama) ataukah irsyādī (menunjukkan yang baik dan yang benar)? Ada dua wajah; dan wajah yang ashaḥḥ menurut Syaraḥ al-Muḥadzdzab, makruhnya makruh Syar‘ī. Jadi kalau menurut qaul yang ini, orang yang meninggalkan, akan mendapat pahala sebab meninggalkannya itu. Wajah yang kedua, makruhnya bersifat Irsyādī. Jadi, kalau menurut qaul yang kedua ini, orang yang meninggalkan tidak diberi pahala, sebab kemakruhannya ditinjau dari segi kesehatan.
Ada yang mengatakan bahwa air musyammas itu tidak makruh secara mutlak. Imām Rāfi‘ī memandang qaul ini sebagai qaul-nya imam-imam yang tiga, yaitu Abū Ḥanīfah, Mālik dan Imām Aḥmad bin Ḥanbal. Imām Nawawī berkata di dalam tambahannya pada kitab Ar-Raudhah, bahwa qaul ini adalah qaul yang rājiḥ dipandang dari segi dalil dan kebanyakan para Ulama bermazhab pada qaul ini. Hukum makruh tidak mempunyai dalil yang boleh dianggap benar. Dan kalau kita menghukumkan makruh, makruhnya adalah makruh tanzīh, tidak boleh menolak keabsahan bersuci dan penggunaannya khusus pada badan. Kemakruhan ini boleh hilang dengan jalan didinginkan, menurut qaul yang ashaḥ. Qaul yang ketiga, boleh dimintakan keterangan dokter. Wallāhu a‘lam.
Apa yang dianggap shaḥīḥ oleh Imām Nawawī, yaitu hilangnya kemakruhkan sebab didinginkan, justru di dalam Syaraḥ ash-Shaghīr, Imām Rāfi‘ī menganggap shaḥīḥ tetapnya hukum makruh. Dan di dalam Syaraḥ al-Muḥadzdzab, Imām Nawawī berkata: Yang betul tidak makruh. Haditsnya ‘Ā’isyah di atas adalah dha‘īf (lemah) dari kesepakatan para Ulama Ahli Hadits, malah sebagian Muḥadditsīn ada yang menganggap Hadits itu Maudhū‘ (palsu). Demikian juga Hadits yang diriwayatkan oleh Imām Syāfi‘ī dari ‘Umar bin al-Khaththāb bahwa air musyammas boleh menimbulkan penyakit belang, adalah dha‘īf juga. Karena kesepakatan ‘Ulamā’ Muḥadditsīn dalam men-dha‘īf-kan Ibrāhīm bin Muḥammad (salah seorang rawi). Dan Hadits-nya Ibnu ‘Abbās tidak terkenal. Wallāhu a‘lam.
Apa yang telah disebutkan oleh Imām Nawawī mengenai atsar-nya ‘Umar, tidak dapat diterima. Dakwaan Imām Nawawī bahwa ‘Ulamā’ Maḥadditsīn telah bersepakat men-dha‘īf-kan Ibrāhīm – salah seorang rawi dari atsar tersebut- juga tidak dapat dibenarkan, sebab Imām Syāfi‘ī menganggap Ibrāhīm dapat diandalkan dan dipercaya. Anggapan Syāfi‘ī yang demikian itu cukup untuk mengesahkan sesuatu Hadits. Dan lagi tidak hanya satu Ḥāfizh yang menganggap tsiqah (dipercayai) kepada Ibrāhīm. Atsar tersebut juga diriwayatkan oleh Imām ad-Dāraquthnī dengan isnād lain yang shaḥīḥ.
Imām Nawawī berkata di dalam tambahannya pada kitab ar-Raudhah: Makruh bersuci dengan air yang sangat panas dan air yang sangat dingin. Wallāhu a‘lam. Alasannya, karena air tersebut tidak dapat merata ke seluruh anggota badan. Imām Nawawī (sehubungan dengan sumurnya kaum Tsamūd) berkata: Sumur itu dilarang digunakan oleh Rasūlullāh s.a.w. Jadi paling ringan, makruh menggunakan air sumur tersebut.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ طَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ: وَ هُوَ الْمَاءُ الْمُسْتَعْمَلُ)
[3. Yaitu AIR THĀHIR GHAIRU MUTHAHHIR. Maksud-nya suci yang tidak boleh mensucikan kepada yang lain, yaitu air musta‘mal].
Ini adalah macam yang ketiga di antara bermacam-macamnya air. Yaitu air yang sudah digunakan untuk menghilankan hadats atau menghilangkan najis, kalau memang tidak berubah dan tidak bertambah timbangannya setelah digunakan. Jadi airnya suci, karena sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
خَلَقَ اللهُ الْمَاءَ طُهُوْرًا لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إِلَّا غَيَّرَ طَعْمَهُ أَوْ رِيْحَهُ.
“Allah menciptakan air itu suci mensucikan. Tidak ada satu perkara yang boleh mennajiskan air itu, kecuali perkara itu boleh merubah rasanya atau baunya.”
Di dalam riwayatnya Ibnu Mājah ada tambahan: atau warnanya. Hadits riwayat Ibnu Mājah ini dha‘īf. Yang pasti ialah rasa dan baunya saja.
Apakah air musta‘mal itu juga suci mensucikan dan boleh menghilangkan hadats atau menghilangkan najis? Ada khilāf. Madzhab yang kuat berpendapat tidak boleh mensucikan. Sebab para sahabat Nabi yang demikian perhatiannya terhadap agama (ibadah), tidak pernah menampung air untuk digunakan wudhu’ lagi. Andaikata menampung seperti itu boleh, tentu mereka akan melakukannya.
Para Ulama Syāfi‘ī saling berselisih pendapat mengenai ‘illat (alasan) tidak diperbolehkannya menggunakan untuk wudhu’ lagi. Qaul yang shaḥīḥ, alasannya air tersebut sudah digunakan untuk mengerjakan fardhu. Ada yang mengatakan: Alasannya air tersebut sudah digunakan untuk mengerjakan ibadah. Adanya khilāf ini akan terasa bedanya pada dua masalah:
Masalah yang pertama: Air yang digunakan untuk bersuci sunnat, seperti untuk memperbarui wudhu’, atau mandi sunnat, atau basuhan yang kedua atau yang ketiga kali. Kalau menurut qaul yang shaḥīḥ, air tersebut boleh mensucikan, artinya boleh digunakan untuk berwudhu’, sebab belum digunakan untuk yang fardhu. Kalau menurut qaul yang dha‘īf, tidak boleh mensucikan, sebab sudah digunakan untuk beribadah.
Tidak ada perselisihan mengenai soal basuhan yang keempat itu boleh mensucikan menurut kedua ‘illat. Sebab air dari basuhan yang keempat tidak digunakan untuk fardhu, tidak diperintahkan oleh agama. Air dari bekas basuhan yang pertama tidak boleh mensucikan lagi menurut kedua ‘illat tersebut. Sebab basuhan yang pertama adalah untuk mengerjakan fardhu dan juga ibadah.
Masalah yang kedua, air yang dipakai mandi haidh oleh perempuan Nashrani atau Yahudi supaya dirinya halal dijima‘ oleh suaminya yang muslim. Apakah boleh mensucikan ataukah tidak? Masalah ini kita jadikan cabangnya masalah: Seandainya perempuan Nashrani tersebut masuk Islam, apakah wajib mengulangi mandinya atau tidak? Dalam masalah ini ada khilāf. Kalau kita hukumkan tidak wajib mengulangi mandinya, maka air yang dipakai mandi tadi tidak boleh mensucikan. Kalau kita hukumkan wajib mengulangi mandi, yaitu menurut qaul yang shaḥīḥ, maka air yang digunakan sewaktu masih kafir, mempunyai wajah dua yang masing-masing didasarkan pada dua ‘illat di atas. Kalau kita menetapkan yang menjadi ‘illat karena sudah digunakan untuk mengerjakan fardhu, air yang dipakai mandi tadi tidak boleh mensucikan. Kalau kita menetapkan yang menjadi ‘illat itu karena sudah digunakan untuk mengerjakan ibadah, air tadi boleh mensucikan, sebab perempuan kafir bukan termasuk Ahli Ibadah.
Perlu diketahui, bahwa perempuan gila apabila haidh dan kemudian dimandikan oleh suaminya, hukumnya adalah sama dengan perempuan Nashrani dalam masalah-masalah yang sudah diterangkan di muka. Masalah ini masalah yang bagus, yang disebut-sebut oleh Imām Rāfi‘ī di dalam bab sifatnya “wudhu’”. Masalah ini tidak disebut oleh Imām Nawawī di dalam kitab ar-Raudhah.
Perlu diketahui, bahwa air yang dipakai wudhu’ oleh anak kecil tidak boleh mensucikan. Demikian juga air yang dipakai wudhu’ oleh orang yang mengerjakan shalat sunnat, dan air yang digunakan oleh orang yang tidak meng-i‘tiqād-kan akan wajib-nya niat, menurut qaul yang shaḥīḥ dalam masalah-masalah ini.
Kemudian, selagi air masih mengalir meratai pada seluruh agggota badan, hukum musta‘mal tidak berlaku. Seandainya air itu mengalir dari anggota orang yang berwudhu’ kepada anggota orang lain, air tersebut menjadi musta‘mal, meskipun kalau air itu berpindah dari tangan yang satu ke tangan yang lain, boleh menjadi musta‘mal.
Seandainya air yang mengalir itu dari satu anggota ke bagian lain dari anggota itu, misalnya air yang mengalir dari tapak tangan menuju ke lengan tangan, atau sebaliknya, yaitu dari lengan tangan ke tapak tangan, beralihnya seperti itu tidak mengapa, walaupun dibantu oleh angin. Masalah ini masalah yang bagus yang disebut-sebut oleh Imām Rāfi‘ī di akhir bab yang kedua dari Bab Tayammum dan masalah ini oleh Imām Nawawī ditinggalkan. Hanya saja di dalam tambahannya pada kitab ar-Raudhah bab Air, Imām Nawawī menerangkan bahwa seandainya air itu lepas (jatuh menitis) dari anggota orang yang junub lalu menimpa pada sebagian anggotanya yang lain, dalam masalah ini terdapat dua wajah. Qaul yang ashaḥḥ menurut al-Mawardī dan ar-Ruyānī, tidak mengapa dan tidak menjadi musta‘mal. Qaul yang rājiḥ menurut Ulama Khurasan, menjadi musta‘mal.
Imām Ḥarāmain berkata: Apabila beralihnya itu disengaja, airnya menjadi musta‘mal. Kalau tidak disengaja, tidak menjadi musta‘mal. Di dalam kitab at-Taḥqīq, Imām Nawawī menganggap shaḥīḥ adanya air itu musta‘mal. Ibnu Rif‘ah menganggap shaḥīḥ, air itu tidak musta‘mal.
Seandainya orang yang junub memasukkan tubuhnya ke dalam air yang sedikit – kurang dari dua qullah – tetapi air tersebut dapat meratai seluruh anggota badannya, kemudian ia berniat, janabahnya jadi terangkat tanpa ada khilāf. Dan airnya menjadi musta‘mal untuk orang selain di dan untuk dia sendiri tidak musta‘mal. Demikian itu diterangkan oleh al-Khawārizmī, sampai beliau berkata: Sekiranya orang tersebut hadats lagi ketika masih di dalam air, hadats yang kedua itu terangkat lagi selama dia masih berada di dalam air itu.
Sekiranya belum sampai sempurna ia membenamkan (menyelamkan) diri ke dalam air, ia sudah berniat, maka janābah-nya yang terangkat ialah dari sebagian anggotanya yang terkena air itu, tanpa ada khilāf, dan airnya tidak menjadi musta‘mal. Bahkan orang itu boleh menyempurnakan benamannya (selamannya) dan janābah-nya baru terangkat dari sisa anggotanya, menurut qaul shaḥīḥ yang sudah dinashkan. Wallāhu a‘lam.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ الْمُتَغَيِّرُ بِمَا خَالَطَهُ مِنَ الطَّاهِرَاتِ)
[Demikian juga air yang berubah sebab adanya sesuatu yang mencampuri berupa benda yang suci].
Kalimat ini adalah termasuk pelengkap macam air yang ketiga. Jadi kalimat tersebut mengandung arti begini: Air yang berubah oleh sesuatu yang mencampuri berupa benda yang suci, itu juga dihukumkan suci yang tidak mensucikan, sama dengan air musta‘mal. Ketentuan mengenai air yang berubah ini ialah setiap perubahan yang menghilangkan nama air mutlak itu boleh menghilangkan sifat suci mensucikan. Jika tidak menghilangkan nama air mutlak, maka tidak hilanglah sifat suci mensucikan itu.
Apabila berubahnya air tersebut hanya sedikit, menurut qaul ashaḥḥ, tetap suci mensucikan, sebab nama air mutlak masih tetap.
Kata pengarang “sebab adanya sesuatu yang mencampur”, itu mengecualikan perubahan air yang disebabkan oleh sesuatu yang mendampingi (sekira-kira sesuatu itu dapat dipisahkan), walaupun berubahnya banyak. Karena air yang berubah oleh sesuatu yang mendampingi itu tetap mensucikan. Misalnya air yang berubah sebab minyak atau sebab lilin. Hukum ini adalah hukum yang shaḥīḥ. Sebab nama air mutlak masih tetap.
Untuk tetapnya nama air thāhir ghairu muthahhir, disyaratkan adanya sesuatu yang masuk ke dalam air harus berupa benda yang mudah untuk dapat dipisahkannya. Misalnya kunyit, kapur dan lain-lain. Kalau berubahnya disebabkan oleh sesuatu yang tidak mudah untuk dipisahkannya, seperti tanah liat, kiambang, tanad kapur, atar dan lain-lain, yang ada di kolam yang ditempati air atau di tempat-tempat yang dilalui oleh air, dan juga air yang berubah karena lama tergenang, maka air yang demikian itu suci dan mensucikan, karena sulit untuk dipisahkan, dan lagi pula namanya masih tetap dipanggil air.
Dalam masalah berubahnya air itu cukup dengan salah satu dari tiga sifat ini, yaitu rasa, warna dan bau. Demikian menurut qaul yang shaḥīḥ. Di dalam sebuah Hadits yang dha‘īf, disyaratkan ketiga-tiganya harus berubah.
Tidak ada perbedaan antara berubah yang dapat dilihat dan berubah yang tidak dapat dilihat. Misalnya ketika air bercampur dengan benda yang sama sifat-sifatnya dengan air itu, seperti air mawar yang sudah hilang baunya, air yang keluar dari tumbuh-tumbuhan dan air musta‘mal. Apabila hal ini terjadi, maka kita kira-kirakan andaikan benda yang masuk ke dalam air tersebut boleh merubah airnya, sekira-kira perubahannya dapat dilihat dengan mata atau dirasakan oleh indra perasa dan kita perkirakan boleh menghilangkan sifat mensucikannya, maka kita menghukumkan hilangnya sifat mensucikan dari air yang kemasukan benda yang sama sifat-sifatnya dengan air tersebut. Jika umpama kita kira-kirakan seperti itu tidak boleh menghilangkan sifat mensucikannya, kita pun tidak menghukumkan hilangnya sifat mensucikan.
Andaikan air tersebut berubah sebab tanah yang dimasukkan ke dalamnya dengan sengaja, maka air tersebut tetap suci mensucikan menurut qaul yang shaḥīḥ. Air yang berubah sebab garam, mempunyai banyak wajah. Wajah yang ashaḥḥ, garam boleh menghilangkan sifat mensucikan, jika garamnya garam gunung. Jika garam air, tidak.
Andaikata air itu berubah sebab daun-daun yang rontok dengan sendirinya, maka kalau daun tersebut belum hancur di dalamnya, airnya tetap suci mensucikan menurut qaul yang azhhar. Kalau daun tersebut sudah hancur dan bercampur dengan air, mempunyai beberapa wajah. Wajah yang ashaḥḥ, tetap suci mensucikan, karena sulitnya menjaga air dari kerontokan daun-daun itu. Kalau daun-daun tersebut dengan sengaja dimasukkan ke dalam air dan airnya berubah sebab daun-daun itu, menurut mazhab yang kuat, airnya tidak boleh mensucikan, baik waktu dimasukkan daunnya dalam keadaan utuh atau sudah ditumbuk. Wallāhu a‘lam.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ مَاءٌ نَجِسٌ، وَ هُوَ الَّذِيْ حَلَّتْ فِيْهِ نَجَاسَةٌ، وَ هُوَ دُوْنَ الْقُلَّتَيْنِ، أَوْ كَانَ قُلَّتَيْنِ فَتَغَيَّرَ).
[4. AIR NAJIS. Yaitu air yang kemasukan benda najis dan air itu kurang dari dua qullah, atau ada qullah tetapi berubah].
Apa yang diterangkan oleh pengarang ini adalah macam air yang keempat. Sebagaimana pula pengarang menerangkan bahwa air juga dibagi menjadi dua. Air yang sedikit dan air yang banyak.
Adapun air yang sedikit, boleh menjadi najis apabila bertemu dengan najis yang dapat memberikan bekas. Baik berubah maupun tidak, seperti apa yang telah dimutlakkan oleh pengarang. Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ خَبَثًا.
“Apabila air sudah mencapai dua qullah, maka ia tidak mengandung kekotoran.”
Sebagian riwayat mengatakan: “tidak mengandung najis”.
Hadits ini beserta mafhumnya menunjukkan bahwa apabila air kurang dari dua qullah, ia menerima bekas dari adanya najis.
Kata-kata “najis yang dapat memberikan bekas”, itu mengecualikan najis yang tidak dapat memberikan bekas. Imām Nawawī di dalam kitab ar-Raudhah berkata: Misalnya bangkai yang tidak mempunyai darah yang mengalir (seperti lalat, lipas dan lain-lain). Misalnya lagi, najis yang tidak dapat dilihat oleh mata karena kejadiannya sudah umum dan merata. Dan seperti, ketika lalat hinggap di atas benda najis lalu jatuh ke dalam air. Demikian juga percikan air kencing yang tidak terlihat oleh mata. Jadi semua najis ini ma‘fuw (dimaafkan). Demikian juga ketika mulutnya kucing terkena najis (umpama karena makan tikus), lalu menghilang, dan diperkirakan mulutnya menjadi suci karena minum air lain, lalu datang lagi dan menjilat air yang sedikit, air yang sedikit dalam masalah-masalah ini tidak najis.
Dan dikecualikan lagi, rambut najis yang sedikit. Jadi air sedikit tidak boleh menjadi najis sebab kemasukan rambut najis yang hanya sedikit ini. Demikian ini telah diterangkan oleh Imām Nawawī dengan sejelas-jelasnya di dalam Awānī (bab yang menerangkan wadah) sebagai tambahan, dan beliau menukil masalah-masalah ini dari para Ulama Syāfi‘ī.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ لَا يَخْتَصُّ بِشَعَرِ الْآدَمِيِّ فِي الْأَصَحِّ).
[Rambut ini, tidak khusus rambutnya anak Ādam (manusia), menurut qaul yang ashaḥḥ].
Keterangan ini dicabangkan pada masalah najisnya rambut manusia. Lalu Syaikh Abū Syuja‘ berkata lagi:
(وَ يُعْرَفُ الْيَسِيْرُ بِالْعُرْفِ).
Imām Ḥarāmain berkata: Mungkin saja yang dimaksud di sini, yaitu rambut yang gugur (rontok).Tetapi Imām Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muḥadzdzab berkata: Dimaafkan rambut sehelai, dua atau tiga.
Juga dikecualikan lagi, binatang yang pada duburnya ada najis lalu mencebur ke dalam air, maka yang demikian ini tidak boleh menajiskan air itu menurut qaul yang ashaḥḥ, sebab sulit untuk dielakkan. Masalah ini diterangkan oleh Imām Rāfi‘ī di dalam syarat-syaratnya shalat. Lain dengan masalah orang yang cebok dengan menggunakan batu, lalu mencebur ke dalam air yang sedikit. Orang ini boleh menajiskan air tanpa ada khilāf. Demikian itu dikatakan oleh Imām Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muḥadzdzab, sebab, orang yang cebok dengan menggunakan batu atau semisalnya itu mudah untuk mengelakkannya.
Dan juga dikecualikan lagi, bila anak kecil yang makan sesuatu yang najis, lalu menghilang dan dimungkinkan mulutnya sudah menjadi suci, seperti umpama kucing yang telah lalu contohnya, maka mulutnya tersebut juga tidak boleh menajiskan air yang sedikit. Demikian itu diterangkan oleh Ibn-ush-Shalāḥ. Masalah-masalah ini adalah masalah-masalah yang bagus.
Imām Mālik raḥimahullāh ta‘ālā berkata: Air yang sedikit, adalah tidak menjadi najis jika tidak berubah, sama dengan air yang banyak. Kata Imām Mālik ini termasuk juga satu wajah di dalam madzhab kita, dan dipilih oleh ar-Ruyānī. Di dalam qaul qadīm ada keterangan bahwa air yang mengalir tidak menjadi najis tidak berubah. Qaul ini telah dipilih oleh sekelompok Ulama, seperti Imām Ghazalī dan al-Baidhawī di dalam kitabnya yang bernama Ghāyat-ul-Quswā. Kata Imām Mālik ini kuat jika dilihat dari segi dalil. Sebab dalilnya terkandung di dalam sabda Nabi:
خَلَقَ اللهُ الْمَاءَ طَهُوْرًا.
“Allah menjadikan air itu suci mensucikan.”
Ini adalah dalīl nuthqī (dalil yang diucapkan), sedangkan dalīl nuthqī itu adalah lebih kuat daripada dalīl mafhūm (dalil yang difahami) yang terdapat dalam sabda Nabi s.a.w. yang bermaksud: “Apabila air itu menjadi dua qullah….. hingga akhir Hadits.
Adapun air yang banyak ialah air yang mencapai dua qullah ke atas, ia tidak najis jika tidak berubah dengan sebab adanya najis. Karena sabda Nabi Muḥammad s.a.w. di atas: “Allah menjadikan air itu suci dan mensucikan” sebab ijma‘-nya para Ulama sudah menetapkan najisnya air sebab berubah.
Kemudian, tidak ada perbedaan antara berubah yang sedikit dengan berubah yang banyak. Baik yang berubah rasanya, atau warnanya atau baunya. Hukum seperti ini tidak ada khilāf di dalam bab ini. Lain dengan apa yang sudah diterangkan di muka, yaitu masalah berubahnya air sebab sesuatu yang mencampurinya, yang berupa benda suci. Dan sama saja antara najis yang bertemu dengan air itu bercampur dengan airnya atau hanya mendampingi. Di dalam sebuah wajah yang syadz (yang tidak boleh dipegang) bahwa najis yang mendampingi air tidak menajiskan air itu.
Kata pengarang “yang kemasukan najis di dalamnya,” yang mengecualikan andaikata air tersebut hanya tertulari bau busuk dari najis yang dibuang di pinggirnya. Air yang demikian itu tidak najis, sebab tidak bertemu langsung dengan najisnya.
Kata pengaran “lalu berubah”, mengecualikan andaikata air yang banyak tersebut tidak berubah dengan adanya najis, dan kadang-kadang najisnya hanya sedikit lagi hancur di dalam air, air yang demikian ini tidak najis. Dan seluruh air boleh digunakan menurut madzhab yang shaḥīḥ. Di dalam satu wajah ditetapkan ukuran najisnya.
Andaikata ada najis terjatuh ke dalam air, dan najis itu sama sifat-sifatnya dengan air, seperti air kencing yang sudah hilang baunya, maka kita harus mengira-ngirakan seperti apa yang sudah diterangkan di dalam masalah benda-benda yang suci.
Andaikata ada najis yang berupa benda keras terjatuh ke dalam air yang banyak, maka terdapat dua qaul dan qaul yang azhhār, boleh dia mengambil air tersebut dari sisi mana saja yang dikehendaki dan tidak harus menjauhi dari benda najisnya. Karena pada dasarnya air tersebut semuanya suci. Qaul lain, wajib menjauhi dari benda najisnya sekira-kira jauhnya sudah ada dua qullah.
Andaikata sebagian dari air yang banyak tersebut sudah berubah sebab najis, menurut qaul yang ashaḥḥ bagi Imām Rāfi‘ī di dalam Syaraḥ al-Kabīr, semua air banyak tersebut najis. Di dalam tambahan pada kitab ar-Raudhah, yang ashaḥḥ begini: Apabila air yang masih tersisa (yang tidak berubah) itu kurang dari dua qullah, maka airnya najis semua. Dan apabila ada dua qullah, airnya suci semua. Yang demikian ini dianggap rājiḥ oleh Imām Rāfi‘ī di dalam Syaraḥ ash-Shaghīr. Wallāhu a‘lam.
Cabang Permasalahan.
Di dalam tambahan pada kitab ar-Raudhah, Imām Nawawī menyebut keterangannya begini: Apabila ada najis terjatuh ke dalam air, lalu orang ragu, apakah air itu ada dua qullah atau tidak? Menurut al-Mawardī dan lain-lain, air itu najis, sebab di dalamnya ternyata ada najisnya. Menurut Imām Ḥarāmain, ada beberapa kemungkinan. Yang dipilih, dan bahkan yang benar, air itu suci, sebab asalnya air itu suci. Adanya najis belum tentu boleh menajiskan air. Wallāhu a‘lam.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ الْقُلَّتَانِ خَمْسُمِائَةِ رَطْلٍ بِالْعِرَاقِيِّ تَقْرِيْبًا فِي الْأَصَحِّ).
[Air dua qullah beratnya sama dengan lima ratus paun Baghdād, menurut qaul yang ashaḥḥ].
Ketentuan ini berdasarkan sebuah Hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Umar r.a., beliau berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ بِقِلَالِ هَجَرَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ.
“Air apabila sudah mencapai dua qullah, dengan ukuran qullahnya desa Hajar, tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu apa pun.”
Imām Syāfi‘ī berkata: Guruku, Ibnu Juraij berkata: Aku mengerti ukuran qullah Ḥajar. Satu qullah Ḥajar itu boleh memuat dua qirbah (11) air, atau dua qirbah air lebih sedikit. Dari keterangan Ibnu Juraij ini, Imām Syāfi‘ī berhati-hati dan menetapkan arti kata-kata lebih sedikit dalam kalimat di atas adalah setengah qirbah air. Satu qirbah biasanya tidak lebih dari seratus paun. Jadi kalau begitu, jumlah seluruhnya dua qullah sama dengan lima qirbah. Lima qirbah sama dengan lima ratus paun ‘Irāq.
Apakah ukuran lima ratus paun tersebut hanya dalam kiraan kurang lebih ataukah kepastian? Menurut qaul yang ashaḥḥ, hanya dalam kiraan kurang lebih. Jadi menurut qaul ini, tidak mengapa andaikata kurang sedikit sekira-kira tidak kentara terpautnya andaikata air tersebut berubah sebab adanya sesuatu yang dapat merubahkan.
Contohnya begini: Andaikata kita masukkan suatu benda yang dapat merubahkan sebanyak kira-kira sepaun ke dalam air yang banyaknya lima ratus paun, maka benda tersebut tidak dapat memberikan bekas apa-apa. Andaikata air yang sebanyak lima ratus paun itu kita kurangi dua atau tiga paun, lalu kita masukkan suatu benda yang dapat merubahkan kira-kira sebanyak satu paun dan ternyata tidak membawa pengaruh apa-apa. Andaikata kita kurangi lima paun dari air yang sebanyak lima ratus paun itu dan ternyata setelah kita masuki benda yang dapat merubahkan ada reaksinya, bolehlah kita menetapkan bahwa pengurangan lima paun itu boleh membawa pengaruh atau memberi bekas.
Menurut qaul yang mengatakan harus genap lima ratus paun secara pasti, jadi jika kurang sedikit saja, boleh membahayakan. Sama dengan masalah nisabnya zakat. Sebagian Ulama ada yang mengatakan: Boleh dimaafkan andaikata kurang dari dua paun. Ada lagi yang mengatakan: Tidak mengapa kurang tiga paun atau yang semisalnya.
Air dua qullah itu, kalau mengikut ukuran bejana bujur sangkar yaitu panjang, lebar dan tingginya sama dengan satu seperempat dzira‘ (hasta). Tetapi ukurannya jika menggunakan paun Damaskus kira-kira ada seratus delapan paun dan lebih dua pertiga paun, menurut qaul-nya Imām Rāfi‘ī; jika menggunakan paun Baghdād, ada seratus tiga puluh dirham. Wallāhu a‘lam.
Catatan: