001 Imam Al-Baqir – Kelahirannya – Imam Muhammad Al-Baqir Putra Imam Ali Zain ul-Abidin

Dari Kitab:

IMAM MUHAMMAD AL-BAQIR R.A.
PUTRA
IMAM ALI ZAIN UL-ABIDIN R.A.

Oleh: H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini

Penerbit: C.V. Toha Putera - Semarang

III

IMĀM MUḤAMMAD BIN ‘ALĪ AL-BĀQIR r.a.

 

Kelahirannya:

Imām Muḥammad al-Bāqir adalah putra Imām ‘Alī Zainul ‘Ābidīn r.a. Bundanya bernama Fāthimah binti al-Ḥasan bin ‘Alī bin Abī Thālib. Ia saudara Imām Zaid bin ‘Alī Zainul ‘Ābidīn dari lain ibu, sedangkan saudaranya yang seayah dan seibu ialah ‘Abdullāh bin ‘Alī Zainal ‘Ābidīn. Ia dilahirkan di Madīnah tiga tahun sebelum al-Ḥusain bin ‘Alī r.a. gugur di Karbala, tepatnya yaitu: Pada hari Jum‘at tanggal 2 bulan Shafar tahun 57 Hijrah. Baik ayahanda maupun bundanya, kedua-duanya adalah keturunan dari suami-istri Ahl-ul-Bait Rasul Allah s.a.w., yaitu Imām ‘Alī r.a. dan Siti Fāthimah az-Zahrā’ r.a. Ayahandanya, yakni Imām ‘Alī Zainal ‘Ābidīn r.a. adalah putra al-Ḥusain r.a., sedangkan bundanya, yakni Fāthimah, adalah putri al-Ḥasan r.a., dua-duanya cucu Rasul Allah s.a.w. dari putri bungsu beliau Siti Fāthimah az-Zahrā’ r.a.

Sama halnya dengan kelahiran Imām Zaid bin ‘Alī Zainul ‘Ābidīn r.a., kelahiran Imām Muḥammad al-Bāqir bin ‘Alī Zainul ‘Ābidīn, konon jauh sebelumnya telah dicanangkan oleh Rasul Allah s.a.w. Berdasarkan riwayat yang berasal dari Jabir bin ‘Abdullāh r.a. Imām al-Jalīl Ibnul Madainiy menceritakan, bahwa ia telah menyampaikan ucapan salam Rasul Allah s.a.w. kepada Imām Muḥammad al-Bāqir di kala masih kecil. Ketika itu Muḥammad al-Bāqir bertanya keheran-heranan: “Bagaimana mungkin terjadi?” Ia menerangkan riwayat yang diterimanya dari Jābir bin ‘Abdillāh mengatakan sebagai berikut: “Pada suatu hari aku datang ke tempat kediaman Rasul Allah s.a.w. Ketika itu beliau sedang bermain-main dengan cucunya, al-Ḥusain r.a., di dalam kamarnya. Sekonyong-konyong beliau berkata kepadaku (Jābir): “Hai Jābir, kelak akan lahir keturunan anak ini (al-Ḥusain r.a.) seorang anak lelaki bernama seperti namaku. Hai Jābir, jika engkau mengalami kelahirannya, sampaikanlah salamku kepadanya.” Karena Jābir bin ‘Abdillāh tidak mengalami kelahiran Muḥammad al-Bāqir maka Imām al-Jalīl Ibnul-Madainiy merasa berkewajiban menyampaikan amanat Rasul Allah s.a.w. yang dibebankan kepada Jābir.

Tidak berbeda dengan Imām Zaid bin ‘Alī Zainul ‘Ābidīn r.a., Imām Muḥammad al-Bāqir pun tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga suci keturunan Rasul Allah s.a.w. yang masih sangat dekat. Ia menerima asuhan dan pendidikan dari ayah-bundanya yang kedua-duanya merupakan orang-orang yang menerima ilmu pengetahuan agama Islam secara langsung dari para Ahlul-Bait Rasul Allah s.a.w. Oleh karenanya tidaklah mengherankan kalau pada usia dewasanya memperoleh nama julukan dari kaum Muslimin “al-Bāqir”, yang bermakna “orang yang sanggup memecahkan” berbagai macam kesukaran di bidang ilmu keagamaan. Selain nama julukan “al-Bāqir” ia juga mendapat nama-nama julukan lainnya dari kaum Muslimin, yaitu: “asy-Syākir Lillāh” (“Ahli Syukur kepada Allah”), “al-Hādiy” (“Pembimbing”), “al-Amīn” (“Orang Terpercaya”) dan “asy-Syabīh” (“Orang yang mirip”) karena kaum Muslimin menganggapnya mirip dengan Rasul Allah s.a.w. Akan tetapi di samping nama-nama julukan tersebut di atas, ia mempunyai satu nama panggilan yang paling dikenal umum, yaitu Abū Ja‘far (diambil dari nama putranya yang bernama Ja‘far).

Berbagai sumber riwayat melukiskan Imām Muḥammad al-Bāqir sebagai orang yang bertubuh sedang, berkulit sawomatang, dan berambut keriting. Pada sebelah pipinya terdapat tahi-lalat berwarna kehitam-hitaman, sedang pada bagian tubuhnya yang lain terdapat tahi-lalat berwarna kemerah-merahan. Airmukanya cerah, suaranya lembut dan selalu menundukkan kepala. Mengenai ilmu dan akhlaknya diriwayatkan bahwa Imām Muḥammad al-Bāqir menguasai semua ilmu keagamaan Islam, dan dalam hal ini ia merupakan tokoh puncak ulama pada zamannya. Kendatipun demikian ia tetap seorang yang rendah hati, berfikir jernih, hidup suci dan bersih, tinggi ketakwaannya kepada Allah dan patuh mengamalkan ajaran para sesepuhnya, terutama Rasul Allah s.a.w.

Sejak lahir hingga berusia tiga tahun ia tinggal bersama datuknya, al-Ḥusain r.a. Setelah datuknya gugur sebagai pahlawan syahid di Karbala, ia hidup di bawah naungan ayahandanya hingga berusia 38 tahun. Dalam kurun waktu yang sepanjang itulah ia menerima pendidikan dan pengajaran tentang pelbagai cabang ilmu agama Islam hingga benar-benar “matang”. Tak ada ajaran ayahnya yang tidak diindahkan dan tak ada teladan ayahnya yang tak dihiraukan. Semua bidang pendidikan dan pengajaran yang diterima dari ayahnya diperhatikan, dihayati dan diamalkan dengan sepenuh hati.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *