001 Dzat – Insan Kamil – Syaikh Abd. Karim al-Jaili

INSAN KAMIL
Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman

Karya: Syaikh Abd. Karim Ibnu Ibrahim al-Jaili

Penerjemah: Misbah El Majid. Lc.
Diterbitkan oleh: Pustaka Hikmah Perdana.

Bab 1

DZĀT

 

Ketahuilah, bahwasanya dzāt muthlaq itu sejatinya adalah sesuatu yang disandarkan kepadanya nama-nama dan sifat-sifat yang berdasarkan inti (dzāt)nya, bukan berdasarkan wujudnya. Masing-masing isim (nama) atau sifat yang disandarkan kepada sesuatu, maka sesuatu tersebut sejatinya adalah inti (dzāt)nya, baik sesuatu yang Maujūd (ada) maupun sesuatu yang tidak ada wujudnya semisal burung Garuda Emas. Ada (maujūd) itu sendiri terbagi atas dua bagian:

  1. Maujūd Murni, yaitu dzāt Allah jalla jalāluh.
  2. Maujūd Suplementasi dari ‘Adam (ketiadaan), yaitu dzāt segenap makhluk.

Ketahuilah, bahwasanya dzāt Allah jalla jalāluh ‘ibārat Diri-Nya, yang Dia bersama dzāt tersebut Maujūd (ada) karena Dia berdiri sendiri. Dia adalah dzāt yang berhak atas nama-nama dan sifat-sifat serta Hawiyah (ke-Dia-an), yang dengan itu Dia mencitrakan Diri-Nya dalam segala citra pada setiap wujud. Dia bersifat dengan segala sifat sejalan dengan kebutuhan sesuatu yang menghajatkan pensifatan. Wujūd-Nya berhak atas segala Isim (nama) yang menunjukkan kepada pemahaman (pengertian) al-Kamāl (kesempurnaan) eksistensi-Nya. Hakekat kesempurnaan-Nya adalah tidak berakhiran dan tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata (Yudrāk). Maka hukum bahwa hakekat kesempurnaan-Nya tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala sesuatu adalah berdasarkan hukum kemustahilan bahwa Dia memiliki sifat al-Jahl (bodoh). Perhatikan dengan penuh seksama masalah ini!

Ketahuilah bahwasanya Dzātullāh (dzāt al-Ḥaqq) adalah Ghaib-ul-Aḥadiyah (ghaib dalam ke-Esa-an), setiap ‘ibārat yang dipresentasikan kepada-Nya tidak akan mencakup (menyentuh) pemaknaan yang utuh karena wajah-wajah ‘ibārat memiliki multi persepsi. Maka hakekat kesempurnaan-Nya dan kesejatian Diri-Nya yang tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata adalah berlanskapkan pemahaman ‘Ibārat, adapun dalam lanskap pemahaman Isyārat, pada realitasnya tidaklah demikian, sebab sesuatu hanya bisa dipahami sejalan dengan akurasi, kelaziman, kepatuhan, kesesuaian atau dengan sesuatu yang berlawanan dengannya. Inti (dzāt)-Nya sama sekali tidak ada kesamaan, keserupaan atau berlawanan dengan segala wujud ciptaan-Nya. Dia tidak terkait dengan istilah-istilah (idiom-idiom) yang sering dipakai manusia. Dia tidak ada satupun daripada makhluk-Nya yang bisa mencapai-Nya dengan penglihatan mata. Al-Mutakallim (insan yang berbicara) tentang inti (dzāt) al-Ḥaqq akan diam, insan yang bergerak akan berhenti, insan yang melihat akan terpejam. Dia bisa dipersepsi dengan akal dan pemahaman namun daya persepsi (al-Idrāk) yang lahir dari akal dan pemahaman sangat terbatas jangkauannya, persepsi logika tidak akan pernah menyentuh kesejatian Diri-Nya. Dia tidak terkait dengan pelik pengetahuan yang berdimensi Ḥudūts (baru, adanya karena diadakan), serta dimensi Qadīm (adanya tidak didahului oleh sesuatu), Dia tidak dikumpulkan oleh kelembutan yang terbatas dan keagungan terbatas.

Ahli ke-Qudus-an terbang ke cakrawala ketinggian, ia melantunkan sanjung puji universal, ia ghaib dari alam realitas, ia sirna bersama nama-nama dan sifat-sifatNya dalam buaian hakekat. Kemudian terbang melintasi awan al-‘Adam (ketiadaan), setelah menempuh batas al-Ḥudūts dan al-Qadīm ia dapati dzāt Wājib-ul-Wujūd (Wujūd yang mesti ada dengan sendiri-Nya), yang tidak tampak wujūd-Nya dan tidak ghaib dalam ketidaktampakkan-Nya. Ketika ahli ke-Qudus-an itu meminta kembali ke alam penciptaan ia meminta raihan tanda-tanda, maka dituliskan tanda-tanda itu pada sayap Merpati: Amma Ba’d (adapun selanjutnya) sesungguhnya engkau wahai tulisan-tulisan azimat tidak memiliki dzāt, tidak berbadan, tidak berbentuk, tidak ada naungan, tidak ber-ruh, tidak berbadan, tidak bersifat dan tidak disifati, tidak bertanda. Bagimu wujūd dan ‘adam (ketiadaan), baginya Ḥudūts dan Qadīm. Ditiadakan inti (dzāt)mu, diadakan nafs (jiwa) mu, diketahui nikmatmu, dihilangkan dengan jenismu, engkau sepertinya tidak dicipta melainkan untuk dijadikan tolok ukur, keberadaanmu tidak dimaksudkan, melainkan untuk al-Akhbār (warta berita). Kehadiranmu tidak ditujukan, melainkan untuk bukti otentik akan inti (dzāt)-mu, dengan ujaran bahasamu yang jelas dan terang. Dan kami dapati dirimu, Ḥayyan (Yang hidup), ‘Āliman (Yang berpenggetahuan), Qādiran (Yang berkuasa), Murīdan (Yang berkemauan), Samī’an (Yang mendengar) Bashīran (Yang melihat), Mutakalliman (Yang berbicara), dirimu bersemaikan al-Jamāl (keindahan) dan al-Jalāl (keperkasaan), dirimu berselimutkan al-Kamāl (kesempurnaan), adapun penciptaan segala wujud dengan dirimu, maka hal itu tidak akan pernah terjadi, sedang kebaikanmu yang melegenda benar-benar telah sempurna. Sejatinya al-Mukhāthib (mitra bicara) dalam audensi ini bukanlah tulisan-tulisan azimat, akan tetapi anda dan saya. Sungguh sangat disayangkan orang yang tidak mencermati (menelisik) arah pembicaraan ini!

Kemudian dituliskan pada sayap burung hijau dengan pena bertinta merah. Amma Ba’d (adapun selanjutnya) sesungguhnya kebesaran adalah api dan ilmu adalah air, kekuatan adalah udara dan hikmah adalah debu, semuanya merupakan unsur-unsur untuk menggapai Jauhar (entitas) kami yang tunggal. Jauhar itu sendiri memiliki dua ‘Aradh (aksiden), pertama azali, kedua abadi, ia memiliki dua pensifatan, pertama al-Ḥaqq, kedua makhluk. Ia memiliki na’at (sifat), pertama Qidam, kedua Ḥudūts. Ia memiliki dua isim (nama), pertama Rabb (Tuhan), kedua ‘Abd (hamba). Ia memiliki dua wajah, lahir yang sejatinya adalah dunia dan bāthin sejatinya adalah akhirat. Ia memiliki dua hukum, pertama wajib, kedua mungkin. Ia memiliki dua I’tibār, Pertama dirinya ghaib (tak tampak), jikalau yang lain maujūd (ada). Kedua, jika yang lain tidak ada, dirinya maujūd (ada) Ia memiliki dua makrifat: Pertama Ijabi (positif) awal, kedua salābi (negasi) akhir, kedua, Salāb (negasi) awal dan Ījāb (positif) akhir. Ia memiliki nuqthah (titik) untuk kesepahaman (sesuatu) yang terdapat al-Ghalthah (kesalahan), dan ‘ibārat-‘ibārat yang berkaitan dengan makna-maknanya yang tereduksi, isyārat-isyārat yang makna-maknanya diputarbalikkan. Maka sungguh berhati-hatilah wahai insan yang terbang (ahli kequdusan) untuk menjaga kitab ini, yang tidak banyak dibaca orang. Dan ahli kequdusan itu senantiasa eksis terbang di cakrawala ini dan ia tetap hidup meski kematian telah menjemputnya, ia tetap kekal meski kehancuran menerpa alam semesta sampai sayap-sayapnya dikumpulkan. Penglihatannya mampu bermukāsyafah, ia dapat memakrifahi dirinya, ia akan bersanding dengan insan-insan yang telah menggapai maqam sepertinya, ia tenggelam ke dasar samudra makrifat, dahaganya tidak pernah terpuaskan dengan regukan-regukan kesejatian makrifah. Ia menemukan kesempurnaan mutlak yang terlanskap dalam diri dan inti (dzāt)-Nya, ia lebur sifat dirinya, ia hiasi dirinya dengan nama-nama inti (dzāt) dan sifat-sifat hakiki. Ia tidak memiliki hasrat beredar dalam hukum keseleraan dan perbedaan, ia tetap teguh mengeksiskan diri dengan sifat-sifat hakiki. Ia tidak memiliki kesempurnaan permanen, rotasi kesempurnaannya terus beredar di tempat dan alamnya.

Ia berotasi pada kedudukan dan pengetahuannya, ia temukan purnama kesempurnaan pada dirinya, ia tidak mampu mencegah gerhana mataharinya, ia bergeming atas segala sesuatu namun sejatinya ia memakrifahi sesuatu tersebut. Ia hengkang dari suatu tempat namun sejatinya ia tetap eksis ditempat tersebut, ia menebar perkataan tanpa menggerakkan lisan untuk bicara, ia berdiri tegak tanpa membuat yang lain kaget. Ia taburkan pengetahuan tanpa mempresentasikan keterangan-keterangan, ia mendekatkan sesuatu yang paling jauh menjadi yang paling dekat. Huruf-hurufnya tidak terbaca, makna-maknanya tidak terfahami dan terketahui, di atas huruf-huruf itu ada nuqthah (titik) estimasi yang beredar mengitarinya, ia memiliki gugusan yang berbentuk bulat bundar di atasnya terdapat nuqthah (titik) gugusan tersebut, titik itu bagian daripada gugusan-gugusan huruf juga. Masing-masing huruf tersusun dengan struktur masing-masing, berdiri dengan eksistensi inti (dzāt) nya, kejelasan huruf-huruf itu ‘ibārat cahaya, gelap ‘ibārat ketiadaan huruf-huruf tersebut. Ma’qūlah (rasionalitas wujud) ini tidak akan menyentuh hakekat inti (dzāt) ketinggian, masing-masing huruf bisa diucapkan melalui lisan, durasi waktunya bisa dipersempit, ucapan-ucapannya bisa disimak tanpa huruf. Maha Suci al-Ḥaqq, Tuhan Yang Maha Agung segala urusan-Nya, Maha Tinggi kekuasaan-Nya, Maha Mulia keberadaan-Nya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *