001-5 Rukun Islam Yang Keempat – Kasyifat-us-Saja’

كاشفة السجا في شرح سفينة النجا
Kāsyifat-us-Sajā fī Syarḥi Safīnat-un-Najā
(Tirai penutup yang tersingkap dalam mensyarahi kitab Safīnat-un-Najā [Perahu Keselamatan])
لمحمد نووي بن عمر الجاوي
Oleh: Muḥammad Nawawī bin ‘Umar al-Jāwī

Alih Bahasa: Zainal ‘Arifin Yahya
Penerbit: Pustaka Mampir

Rangkaian Pos: Kashifat-us-Saja’ - Tentang Tiang-tiang Agama Islam | Syekh Nawawi al-Bantani

(فَصْلٌ): فِيْ بَيَانِ دَعَائِمِ الْإِسْلَامِ وَ أَسَاسِهَا وَ أَجْزَائِهَا

(FASAL)

Tentang penjelasan tiang-tiang penyangga agama Islam, asas-asasnya dan bagian-bagiannya.

 

RUKUN ISLAM YANG KEEMPAT

 

(وَ) رَابِعُهَا (صَوْمُ رَمَضَانَ)

(Dan) rukun Islam yang keempat adalah (berpuasa di bulan Ramadhān).

 

وَ فُرِضَ فِيْ شَعْبَانَ مِنَ السُّنَّةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الْهِجَرَةِ فَصَامَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ تِسْعَ رَمَضَانَاتٍ وَاحِدًا كَامِلًا وَ ثَمَانِيَةً نَوَاقِصَ.

Dan puasa Ramadhān diwajibkan pada bulan Sya‘bān di tahun kedua dari hijrah [2 H.] (KS-441). Maka Nabi s.a.w. berpuasa sebanyak 9 kali Ramadhān, satu kali Ramadhān secara sempurna [genap 30 hari] dan delapan kali Ramadhān secara kurang [hanya 29 hari].

[تَنْبِيْهٌ] اِعْلَمْ أَنَّ رَمَضَانَ غَيْرُ مُنْصَرِفٍ لِلْعَلَمِيَّةِ إِلَّا إِنْ كَانَ الْمُرَادُ بِهِ كُلَّ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ تَعْيِيْنٍ وَ إِذَا أُرِيْدَ بِهِ ذلِكَ صُرِفَ لِأَنَّهُ نَكِرَةٌ، وَ بَقَاءُ الْأَلِفِ وَ النُّوْنِ الزَّائِدَتَيْنِ لَا يَقْتَضِيْ مَنْعَهُ مِنَ الصَّرْفِ كَمَا قَالَ الشَّرْقَاوِيُّ،

(Peringatan) Ketahuilah bahwa lafazh Ramadhān adalah isim ghairu munsharif [tidak bertawin] karena sebagai isim ‘alam, kecuali jika yang memaksudkan dengan lafazh Ramadhān kepada seluruh Ramadhān, dengan tanpa menentukan. Dan apabila yang dimaksud dengannya adalah demikian, maka lafazh Ramadhān menjadi munsharif (bertawin), karena sesungguhnya lafazh tersebut adalah isim nakirah. Dan masih tetapnya huruf alif dan nūn, yang keduanya sebagai tambahan tidak dapat menyebabkan terhalangnya lafazh tersebut dari menerima tanwin, sebagaimana Syaikh asy-Syarqāwī berpendapat.

وَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الْحَرِيْرِيُّ فِيْ كِتَابِهِ بِنْتُ اللَّيْلَةِ مِنْ بَحْرِ الرَّجَزِ:

Telah berkata Syaikh Abul-Qāsim al-Ḥarīrī di dalam kitab beliau, Bint-ul-Lailah, berupa Baḥr-ur-Rajaz:

وَ مِنْهُ مَا جَاءَ عَلَى فَعْلَانَا عَلَى اخْتِلَافِ فَائِهِ أَحْيَانَا

تَقُوْلُ مَرْوَانُ أَتَى كِرْمَانَا وَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَى عُثْمَانَا

فَهذِهِ إِنْ عُرِّفَتْ لَمْ تَنْصَرِفْ وَ مَا أَتَى مُنَكَّرًا مِنْهَا صُرِفْ

Dan termasuk isim ghairu munsharif adalah lafazh yang datang mengikuti wazan fa‘lāna,

Dengan berbeda-beda harokat pada fā’-nya sewaktu-waktu.

Engkau berkata: “Marwānu atā kirmāna [Marwan mendatangi si Kirmana],

Wa raḥmatullāhi ‘alā ‘utsmāna [Dan rahmat Allah semoga tercurah atas ‘Utsman].”

Maka kalimat isim yang mengikuti wazan fa‘lāna ini jika dibuat isim ma‘rifat, tidak boleh di-tawīn-kan,

Dan kalimat yang datang dengan bentuk isim nakirah dari kalimat-kalimat tersebut boleh di-tanwīn-kan.

قَالَ عَبْدُ اللهِ الْفَاكِهِيُّ: أَيْ وَ مِنْ غَيْرِ الْمُنْصَرِفِ الْعَلَمُ الْمَزِيْدُ فِيْ آخِرِهِ أَلِفٌ وَ نُوْنٌ الْجَائِيْ عَلَى وَزْنِ فَعْلَانَ مُثَلَّثَ الْفَاءِ كَمَرْوَانَ وَ كِرْمَانَ وَ عُثْمَانَ

Syaikh ‘Abdullah al-Fakihi berkata: “Maksudnya adalah, di antara isim ghairu munsharif adalah isim ‘alam yang ditambahkan huruf alif dan nūn di akhir kalimatnya, yang datang mengikuti wazan fa‘lāna dengan diharakati tiga macam huruf fā’-nya [fatḥah, dhammah dan kasrah] seperti lafazh marwāna, kirmāna, ‘utsmāna.

فَهذِهِ إِنْ قُصِدَ بِهَا التَّعْرِيْفُ بِالْعَلَمِيَّةِ لَمْ تَنْصَرِفْ لِوُجُوْدِ الْعِلَّتَيْنِ كَمَرَرْتُ بِمَرْوَانَ،

Maka kalimat-kalimat ini jika dimaksud dengannya membuat isim ma‘rifat dengan sebab ‘alamiyah [nama bagi seseorang tertentu], maka kalimat tersebut tidak boleh di-tanwin-kan, karena adanya dua ‘illat [alasan], seperti kalimat: “Marartu bi Marwāna [Aku melewati Marwān].”

وَ إِنْ قُصِدَ بِهَا التَّنْكِيْرُ صُرِفَتْ لِزَوَالِ الْعَلَمِيَّةِ تَقُوْلُ: رُبَّ مَرْوَانٍ لَقَيْتُهُ بِالْجَرِّ وَ التَّنْوِيْنِ،

Dan jika dimaksudkan dengannya membuat isim nakirah [umum], maka kalimat tersebut di-tawīn-kan karena hilangnya alasan sebagai isim ‘alam. Engkau dapat berkata: “Rubba marwānin laqaituhu [Seringkali Marwān, aku berjumpa dengannya]”, [kalimat marwānin] dengan dibaca jarr dan ber-tanwīn.”

قَالَ عُثْمَانُ فِيْ تُحْفَةُ الْحَبِيْبِ: وَ إِنَّمَا سُمِّيَ هذَا الشَّهْرُ بِهذَا الْاِسْمِ لِأَنَّهُ مَأْخُوْذٌ مِنَ الرَّمَضِ وَ هُوَ الْإِحْرَاقُ لِرَمْضِ الذُّنُوْبِ فِيْهِ أَيْ إِحْرَاقِهَا.

Telah berkata Syaikh ‘Utsmān di dalam kitab Tuḥfat-ul-Ḥabīb: “Sesungguhnya bulan ini dinamai dengan nama Ramadhān, karena sesungguhnya nama tersebut diambil dari kata ar-Ramadh [penghangusan], yaitu pembakaran, karena ditangugkannya dosa-dosa di bulan itu”, yakni dibakarnya dosa-dosa.

قَالَ أَحْمَدُ الْمُقْرِيِ فِي الْمِصْبَاحِ: وَ رَمَضَانُ اسْمُ الشَّهْرِ قِيْلَ سُمِّيَ بِذلِكَ لِأَنَّ وَضْعَهُ وَافِقٌ الرَّمْضَ وَ هُوَ شِدَّةُ الْحَرِّ وَ جَمْعُهُ رَمَضَانَاتٌ وَ أَرْمِضَاءُ.

Telah berkata Syaikh Aḥmad al-Muqrī di dalam kitab Al-Mishbāḥ: “Ramadhān adalah nama bulan, dikatakan [oleh satu pendapat]: “Dinamakan bulan Ramadhān dengan nama tersebut, karena sesungguhnya terletak bulan tersebut bertepatan dengan keadaan terik panas, yaitu sangat panas”. Dan kalimat jama‘ ramadhān adalah ramadhānāt dan armidhā’u.”

(تَبْصِرَةٌ) قَالَ أَحْمَدُ الْفَشَنِيُّ: وَ قَدْ قِيْلَ الصَّوْمُ عُمُوْمٌ وَ خُصُوْصٌ وَ خُصُوْصُ الْخُصُوْصِ؛

(Renungan). Telah berkata Syaikh Aḥmad al-Fasyanī: “Dan sungguh telah dikatakan puasa itu ada puasa orang umum, puasa orang khusus dan puasa orang teramat khusus.

فَالْعُمُوْمُ كَفُّ الْبَطْنِ وَ الْفَرْجِ عَنْ قَضَاءِ الشَّهْوَةِ

Adapun puasa orang umum adalah mengekang perut dan kelamin dari [penunaian] kehendak nafsu syahwat.

وَ الْخُصُوْصُ هُوَ كَفُّ السَّمْعِ وَ الْبَصَرِ وَ اللِّسَانِ وَ الْيَدِ وَ الرِّجْلِ وَ سَائِرِ الْجَوَارِحِ عَنِ الْآثَامِ

Dan puasa orang khusus adalah mengekang pendengaran, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan seluruh anggota dari berbagai perbuatan berdosa.

وَ خُصُوْصُ الْخُصُوْصِ صَرْفُ الْقَلْبِ عَنِ الْهِمَمِ الدِّنِيَّةِ وَ كَفُّهُ عَمَّا سِوَى اللهِ بِالْكُلِّيَّةِ.

Dan puasa orang teramat khusus adalah memalingkan hati dari berbagai keinginan yang rendah dan menjauhkan hati dari segala sesuatu selain Allah, secara total.” (KS-452).

Catatan:


  1. KS-44: Mawāhib-ush-Shamad, Kitab ash-Shiyām, halaman 71, baris ke 12-11 [dari bawah]. Fatḥ-ul-Mu‘īn, Bab ash-Shaum, halaman 54, baris ke 6 [dari bawah]. 
  2. KS-45: Terdapat di Iḥyā’u ‘Ulūmiddīn, Juz I, halaman 235, bari ke 2-5. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *