001-5 Berwudhu’ – Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’i

RINGKASAN FIQIH MAZHAB SYAFI‘I
(Penjelasan Kitab Matan Abu Syuja‘ dengan Dalil al-Qur’an dan Hadits)
Oleh: Musthafa Dib al-Bugha

Penerjemah: Toto Edidarmo
Penerbit: Noura Books (PT Mizan Publika)

Rangkaian Pos: Bab 1 Bersuci (Thahārah) - Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi'i

Berwudhu’

Fardhu (kewajiban) wudhu’ ada enam, yaitu:

1. Niat ketika membasuh wajah.

2. Membasuh wajah.

3. Membasuh kedua tangan sampai siku.

4. Mengusap sebagian kepala.

5. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki.

6. Tertib sesuai urutan fardhu wudhu’ yang telah disebutkan. (1).

(1). Dalil yang menjadi syarat wudhu’ dan penjelasan fardhunya adalah firman Allah s.w.t.:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَ امْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ…..

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki…..”(al-Mā’idah [5]: 6).

Dua partikel “ilā” (sampai ke) yang terdapat pada ayat tersebut berarti (ma‘a) (bersama) sehingga siku dan mata kaki termasuk dalam bagian yang wajib dibasuh.

Dalil yang menegaskan tentang siku dan mata kaki sebagai bagian yang wajib dibasuh adalah hadits yang dirawikan oleh Muslim sebagai berikut:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) أَنَّهُ تَوَضَّأُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ فَأَسْبَغَ الْوُضُوْءَ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي الْعَضُدِ ثُمَّ يَدَهُ الْيُسْرَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي الْعَضُدِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي السَّاقِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي السَّاقِ. ثُمَّ قَالَ: هكَذَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ (ص) يَتَوَضَّأُ.

“Dari Abū Hurairah r.a., bahwasanya dia berwudhu’ dengan cara membasuh wajahnya secara sempurna, lalu membasuh tangan kanan hingga mencapai sikunya, kemudian membasuh tangan kiri sampai sikunya. Setelah itu, dia mengusap kepala, lalu membasuh kaki kanan hingga betis, lalu kaki kiri hingga betis. Dia kemudian berkata: “Beginilah aku melihat Rasūlullāh s.a.w. berwudhu’.” (Muslim, ath-Thahārah, Bab “Istiḥbābu Ithālat-al-Ghurrati wat-Tahjīli fil-Wudhū’,” hadits no. 246).

Makna (أَشْرَعَ فِي الْعَضُدِ وَ أَشْرَعَ فِي السَّاقِ ): memasukkan siku dalam basuhan tangan dan memasukkan betis dalam basuhan kaki. Sedangkan, makna (بِرُؤُوْسِكُمْ) pada ayat Surah al-Mā’idah adalah bagian dari kepala. Hal ini ditegaskan pula oleh hadits yang dirawikan oleh Muslim dan perawi lainnya: Dari al-Mughīrah r.a. yang berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ (ص) تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَ عَلَى الْعِمَامَةِ.

Bahwasanya Nabi s.a.w. berwudhu’ lalu mengusap ubun-ubun dan bagian atas serban.” (Muslim, ath-Thahārah, Bab “al-Masḥu ‘alan-Nāshiyati wal-‘Imāmah”, hadtis no. 274). [Serban: kain ikat kepala yang lebar, bukan syal yang dikalungkan pada leher atau pundak hingga ke dada – peny.].

Ubun-ubun adalah bagian depan kepala, dan ia termasuk bagian kepala. Tindakan Nabi s.a.w. mengusap ubun-ubun dan bagian atas serban menunjukkan bahwa yang diwajibkan dalam mengusap kepala adalah sebagian kepala pada bagian mana pun.

Selanjutnya, dalil yang menunjukkan kewajiban niat di awal wudhu’ dan juga di awal semua perbuatan yang menuntut adanya niat adalah hadits yang dirawikan oleh al-Bukhārī dan Muslim dari ‘Umar bin al-Khaththāb yang berkata:

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ (ص) يَقُوْلُ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرئٍ مَا نَوَى.

“Aku mendengar Rasālullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya semua perbuatan itu bergantung pada niatnya; dan setiap orang benar-benar akan memperoleh pahala yang diniatkannya.

Maksudnya, semua amal perbuatan itu dianggap sah dan memiliki efek legitimasi (syariat) jika disertai dengan niat. Seseorang tidak melakukan amal (ibadah) kecuali ia meniatkan (menyengaja) amal ibadah tersebut. Ia tidak akan memperoleh pahala kecuali setelah bersikap tulus dalam niat tersebut. (al-Bukhārī, Bad’-ul-Waḥy, Bab “Kaifa Kāna Bad’-ul-Waḥyi ilā Rasūlillāh s.a.w.”, hadits no. 1; Muslim, Kitāb-ul-Imārah, Bab “Qauluhu s.a.w.: Innam-al-A‘mālu bin-Niyyah”, hadits no. 1907).

Adapun dalil tentang kewajiban tertib (urutan pelaksanaan fardhu wudhu’) adalah penyebutan anggota tubuh secara berurutan dalam ayat tentang wudhu’ (al-Mā’idah [5]: 6), meskipun ḥarf ‘athaf (partikel sambung) yang digunakan adalah wāwu (artinya: “dan”) yang tidak menuntut adanya “keberurutan”. Makna “keberurutan” ini dikuatkan lagi oleh redaksi “mengusap kepala” yang disebutkan di antara “membasuh tangan” dan “membasuh kaki”. Sebab, di antara kelaziman gaya tutur bahasa ‘Arab adalah menyambungkan dua kata yang sejenis dengan harf “wāwu”. Apabila dua kata itu tidak sejenis (setingkat), seperti “mengusap” dan “membasuh”, maka penyambungannya dengan “wāwu” menunjukkan arti khusus, yaitu berurutan. Hal ini seperti ungkapan:

جَاءَ زَيْدٌ وَ فَاطِمَةُ وَ عَمْرٌو.

Artinya: Zaid, Fāthimah, dan ‘Amr telah datang (secara berurutan). Makna “secara berurutan” ditunjukkan oleh penyambungan kata “Fāthimah” dengan “Zaid” yang tidak sejenis, lalu disambung lagi dengan “ ‘Amr” yang juga tidak sejenis dengan kata sebelumnya, “Fāthimah”. Apabila informasi tentang kedatangan mereka tidak berurutan, cukup dinyatakan:

جَاءَ زَيْدٌ وَ عَمْرٌو وَ فَاطِمَةُ.

Artinya: Zaid, ‘Amr, dan Fāthimah telah datang (secara tidak berurutan).

Dengan demikian, pernyataan “membasuh tangan”, “mengusap kepala”, dan “membasuh kaki” pada al-Mā’idah [5]: 6 tidak memiliki tujuan lain kecuali menjelaskan pelaksanaannya secara berurutan atau tertib. Hal ini diperkuat lagi oleh praktik wudhu’ Rasūlullāh s.a.w. yang senantiasa berurutan, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadits shaḥīḥ, antara lain hadits riwayat Abū Hurairah r.a. di atas.

Hadits lain yang menjelaskan urutan fardhu wudhu’ adalah hadits yang menceritakan bagaimana Rasūlullāh s.a.w. mengajarkan shalat kepada seorang ‘Arab Badui yang buruk shalatnya. Hadits ini di kalangan ulama dikenal dengan hadits “al-musī’u shalātuhu” (orang yang shalatnya buruk). Pada riwayat at-Tirmidzī, hadits ini dimuat dalam Abwāb-ush-Shalāh, Bab “Mā Jā’a fī Washf-ish-Shalāh,” hadits no. 302. Dalam hadits tersebut dikatakan:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَتَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللهُ.

Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, wudhu’lah seperti perintah Allah kepadamu.” Maksud “seperti perintah Allah” adalah sesuai dengan urutan pelaksanaan wudhu’ yang diperintahkan oleh Allah s.w.t. dalam al-Mā’idah [5] ayat 6. Begitu juga dengan hadits-hadits yang berbicara tentang urutan pelaksanaan wudhu’ tersebut.

Imam an-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmū‘: “Para sahabat berhujjah dengan hadits-hadits shaḥīḥ yang sangat berlimpah di kalangan mereka, lalu menetapkan tata cara wudhu’ Nabi s.a.w. Mereka semua menyatakan bahwa cara wudhu’ Nabi adalah dengan berurutan (tertib). Sahabat yang merawikan hadits wudhu’ banyak sekali dan tersebar di berbagai wilayah. Perbedaan yang terjadi di antara mereka biasanya pada jumlah basuhan, ada yang sekali, dua kali, atau tiga kali. Namun, mereka tidak berbeda dalam menyebutkan urutan fardhu wudhu’. Praktik wudhu’ Nabi s.a.w. merupakan penjelasan tentang sesuatu yang diperintahkan agama. Oleh karena itu, sekiranya boleh melanggar urutan pelaksanaan wudhu’, niscaya beliau akan melanggarnya dalam beberapa kesempatan untuk menjelaskan kebolehan tersebut, sebagaimana beliau kadang tidak membasuh anggota fardhu wudhu’ sebanyak tiga kali.” (al-Majmū‘, ath-Thahārah, Bab “al-Wudhū’u [Far‘un fī Madzāhib-il-ulamā’i fī Tartīb-il-Wudhū’]”, juz 1, hal. 484).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *