(فَصْلٌ): فِيْ بَيَانِ دَعَائِمِ الْإِسْلَامِ وَ أَسَاسِهَا وَ أَجْزَائِهَا
(FASAL)
Tentang penjelasan tiang-tiang penyangga agama Islam, asas-asasnya dan bagian-bagiannya.
RUKUN ISLAM YANG KETIGA (BAGIAN 3)
وَ السَّادِسُ: الْغَارِمُ وَ هُوَ ثَلَاثَةٌ
Dan yang keenam adalah orang yang berhutang, dan orang tersebut ada tiga macam.
مَنْ تَدَايَنَ لِنَفْسِهِ فِيْ أَمْرٍ مُبَاحٍ طَاعَةً كَانَ أَوْ لَا وَ إِنْ صَرَّفَ فِيْ مَعْصِيَةٍ
Orang yang berhutang untuk dirinya dalam urusan yagn diperbolehkan, baik berupa ketaatan ataupun bukan, meskipun ia membelanjakannya di dalam kemaksiatan.
أَوْ فِيْ غَيْرِ مُبَاحٍ كَخَمْرٍ وَ تَابَ وَ ظُنَّ صِدْقُهُ فِيْ تَوْبَتِهِ، أَوْ صَرَّفَهُ فِيْ مُبَاحٍ
atau [berhutang] untuk perkara yang tidak diperbolehkan, seperti [membeli] arak, namun ia telah tobat dan diyakini kebenarannya dalam taubatnya itu, atau ia membelanjakannya pada perkara yang diperbolehkan,
فَيُعْطَى مَعَ الْحَاجَةِ بِأَن يَحُلَّ الدِّيْنُ وَ لَا يَقْدِرُ عَلَى وَفَائِهِ
maka ia diberikan [zakat] menyertai kebutuhannya, dengan sekiranya tiba jatuh tempo [pembayaran] hutang, dan ia tidak mampu untuk membayarnya.
أَوْ تَدَايَنَ لِإِصْلَاحِ ذَاتِ الْحَالِ بَيْنَ الْقَوْمِ كَأَنْ خَافَ فِتْنَةً بَيْنَ قَبِيْلَتَيْنِ تَنَازَعَتَا بِسَبَبِ قَتِيْلٍ وَ لَوْ غَيْرَ آدَمِيٍّ بَلْ وَ لَوْ كَلْبًا
Atau orang yang berhutang untuk mendamaikan suatu kondisi di antara kaum, seperti dikhawatirkan terjadi gejolak di antara dua suku yang saling berseteru, dengan sebab sesuatu yang terbunuh, walaupun bukan manusia, bahkan walaupun berupa anjing,
فَتَحَمَّلَ دَيْنًا تَسْكِيْنًا لِلْفِتْنَةِ فَيُعْطَى وَ لَوْ غَنِيًّا،
lalu ia menanggung hutang, guna menenangkan terhadap gejolak itu, maka ia berhak diberikan zakat, walaupun ia orang yang kaya.
أَوْ تَدَايَنَ لِضَمَانٍ فَيُعْطَى إِنْ أَعْسَرَ مَعَ الْأَصِيْلِ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ مُتَبَرِّعًا بِالضَّمَانِ
Atau orang yang berhutang karena penjaminan, maka ia diberikan zakat, jika ia sengsara beserta orang tuanya, meskipun dirinya tidak sebagai penderma dengan penjaminan tadi,
أَوْ أَعْسَرَهُ وَحْدَهُ وَ كَانَ مُتَبَرِّعًا بِالضَّمَانِ
atau ia sengsara sendirian, dan keadaannya sebagai orang yang berderma dengan penjaminan itu.
بِخِلَافِ مَا إِذَا ضَمِنَ بِالْإِذْنِ.
Berbeda dengan perkara, apabila ia melakukan perjaminan dengan izin. (KS-371).
وَ السَّابِعُ: سَبِيْلُ اللهِ وَ هُمُ الْغُزَاةُ الْمُتَطَوِّعُوْنَ بِالْجِهَادِ
Dan yang ketujuh adalah sabīlillāh dan mereka adalah orang-orang yang berperang yang menjalankan ketaatan dengan ber-jihād [berjuang membela Islam],
أَيِ الَّذِيْنَ لَا رِزْقَ لَهُمْ فِي الْفَيْءِ فَيُعْطَوْنَ وَ لَوْ أَغْيِنَاءَ إِعَانَةً لَهُمْ عَلَى الْغَزْوِ.
yakni pelaku jihād yang tidak ada rezeki [tidak mendapat bagian] bagi mereka pada harta fai, maka mereka diberikan zakat, walaupun berupa orang-orang kaya, lantaran memberi bantuan bagi mereka untuk berperang. (KS-382).
وَ الثَّامِنُ: ابْنُ السَّبِيْلِ وَ هُوَ عَلَى قِسْمَيْنِ:
Dan yang kedelapan adalah Ibnu Sabīl, yaitu terdiri atas dua bagian. (KS-393).
مَجَازِيٍّ وَ هُوَ مُنْشِىْءُ سَفَرٍ مِنْ بَلَدِ مَالِ الزَّكَاةِ
(1). Majāzī yaitu seorang yang baru akan mengadakan perjalanan [berangkat] dari negeri [penyaluran] harta zakat.
وَ حَقِيْقِيٍّ وَ هُوَ مَارٌّ بِبَلَدِ الزَّكَاةِ فِيْ سَفَرِهِ
Dan (2). Ḥaqīqī (hakiki) yaitu orang yang lewat di negeri [penyaluran] zakat dalam perjalanannya.
وَ ذلِكَ إِنِ احْتَاجَ بِأَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ مَا يُوْصِلُهُ مَقْصَدَهُ أَوْ مَالَهُ
Dan hal [pemberian zakat] itu, jika ibnu sabīl itu membutuhkan, seumpama tidak terdapat bersamanya sesuatu [bekal] yang dapat mengantarkannya ke tempat tujuannya, atau [ke tempat] hartanya [benda].
فَيُعْطَى مَنْ لَا مَالَ لَهُ أَصْلًا،
Maka bagian zakat diberikan kepada orang yang tidak memiliki harta sama sekali.
وَ كَذَا مَنْ لَهُ مَالٌ فِيْ غَيْرِ الْبَلَدِ الْمُنْتَقَلِ إِلَيْهِ بِشَرْطِ أَنْ لَا يَكُوْنَ سَفَرُهُ مَعْصِيَةً،
Dan begitu pula [diberikan bagian zakat] kepada orang yang memiliki harta di selain negeri yang dipindahinya [ditinggalkannya itu], (ks-404) dengan syarat bahwa bepergiannya itu bukan suatu kemaksiatan.
قَالَ فِي الْمِصْبَاحِ: وَ قِيْلَ لِلْمُسَافِرِ ابْنُ السَّبِيْلِ لِتَلَبُّسِهِ بِهِ أَيْ بِالسَّبِيْلِ وَ الطَّرِيْقِ،
Telah berkata [Syaikh Aḥmad al-Muqrī] di dalam kitab al-Mishbāḥ: Dikatakan bagi musafir sebagai ibnu sabīl [anak jalan] karena terkait erat dirinya dengannya, yakni dengan jalan dan jalanan.
قَالُوْا: وَ الْمُرَادُ بِابْنِ السَّبِيْلِ فِي الْآيَةِ مَنِ انْقَطَعَ عَنْ مَالِهِ انْتَهَى.
Para ulama berkata: “Yang dimaksud dengan ibnu sabīl dalam ayat [al-Qur’ān] adalah orang yang terputus dari hartanya.” selesai al-Mishbāḥ.
[خَاِتَمةٌ] وَ شَرْطُ آخِذِ الزَّكَاةِ مِنْ هذِهِ الثَّمَانِيَةِ حُرِّيَّةٌ وَ إِسْلَامٌ وَ أَنْ لَا يَكُوْنَ هَاشِمِيًّا وَ لَا مُطَّلِبِيًّا
(PENUTUP) Dan syarat pengambil zakat dari 8 golongan ini, adalah harus merdeka dan beragama Islam, dan keadaan dirinya bukan keturunan Hāsyim dan Muththalib, (KS-415).
لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “إِنَّ هذِهِ الصَّدَقَةَ أَوْسَاخُ النَّاسِ وَ إِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَ لَا لِآلِ مُحَمَّدٍ”
Berdasarkan sabda Nabi s.a.w.: “Sesungguhnya shadaqah [zakat] ini adalah kotoran-kotoran manusia, dan sesungguhnya shadaqah [zakat] tidak halal bagi Muḥammad dan keluarga Muḥammad.” (KS-426).
وَ وَضَعَ الْحَسَنُ فِيْ فِيْهِ تَمْرَةً أَيْ مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَنَزَعَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِلُعَابِهِ وَ قَالَ: كِخْ كِخْ إِنَّا آلُ مُحَمَّدٍ لَا تَحِلُّ لَنَا الصَّدَقَاتُ.
Dan Sayyidinā Ḥasan pernah meletakkan sebutir korma di dalam mulutnya, yakni dari korma shadaqah, lalu Rasūlullāh s.a.w. menarik keluar korma itu berikut ludah Sayyidinā Ḥasan, dan beliau bersabda: “Kikh, kikh, sesungguhnya kita, keluarga Muḥammad, tidak halal bagi kita berbagai shadaqah [zakat] itu.” (KS-437).
وَ مَعْنَى أَوْسَاخُ النَّاسِ لِأَنَّ بَقَاءُهَا فِي الْأَمْوَالِ يُدْنِسُهَا كَمَا يُدْنِسُ الثَّوْبَ الْوَسَخُ.
Dan pengertian kotoran-kotoran manusia adalah karena masih tersisanya [sekedar harta yang wajib] zakat di dalam harta-harta itu dapat mengotori harta tersebut, sebagaimana dapat terkotori pakaian oleh kotoran.
وَ قَوْلُهُ: كِخْ كِخْ كَمَا قَالَ الصَّبَّانُ نَقْلًا عَنِ ابْنِ قَاسِمٍ هُوَ بِكَسْرِ الْكَافِ وَ تَشْدِيْدِ الْخَاءِ سَاكِنَةً وَ مَكْسُوْرَةً.
Dan sabda Nabi: “Kikh, kikh”, sebagaimana telah berkata Syaikh ash-Shabbān, dengan mengutip dari Syaikh Ibnu Qāsim: “Kalimat kikh dengan di-kasrah-kan huruf kāf-nya, dan ber-tasydīd huruf khā’-nya, dengan tidak ber-ḥarakat (sukūn), dan bisa pula dengan ber-ḥarakat kasrah.”
وَ عَنِ الْقَامُوْسِ جَوَازُ تَخْفِيْفِ الْخَاءِ وَ جَوَازُ تَنْوِيْنِهَا وَ جَوَازُ فَتْحِ الْكَافِ
Dan dari al-Qāmūs [disebutkan]: “Diperbolehkan meringankan [tidak di-tasydīd] huruf khā’-nya, dan diperbolehkan men-tanwīn-kannya, dan diperbolehkan mem-fatḥah-kan huruf kāf-nya.”
وَ هِيَ اسْمُ صَوْتٍ وُضِعَ لِزَجْرِ الطِّفْلِ عَنْ تَنَاوُلِ شَيْءٍ،
Dan kalimat kikh adalah isim shaut [sebutan untuk suara tertentu] yang difungsikan untuk melarang anak kecil dari meraih sesuatu.
وَ نُقِلَ عَنِ الْأُصْطُخْرِيِّ الْقَوْلُ بِجَوَازِ صَرْفِ الزَّكَاةِ إِلَى بَنِيْ هَاشِم ٍوَ بَنِي الْمُطَّلِبِ عِنْدَ مَنْعِهِمْ مِنْ خُمُسِ الْخُمُسِ.
Dan dikutip dari Syaikh al-Ushtukhrī sebuah pendapat mengenai dibolehkan menyalurkan zakat kepada Bani Hāsyim dan Bani Muththalib, ketika terhalangnya mereka dari mendapatkan khumus-ul-khumus [hak mereka 4% dari ghanimah dan 4% dari harta fai].
قَالَ الْبَيْجُوْرِيُّ: وَ لَا بَأْسَ بِتَقْلِيْدِ الْأُصْطُخْرِيِّ فِيْ قَوْلِهِ الْآنَ لِاحْتِيَاجِهِمْ،
Syaik al-Baijūrī berkata: “Tidaklah buruk dengan mengikuti Syaikh al-Ushthukhrī pada pendapatnya itu, sekarang ini, karena butuhnya mereka [Bani Hāsyim dan Bani Muththalib] tersebut.”
وَ كَانَ الشَّيْخُ مُحَمَّدٌ الْفَضَالِيُّ رَحِمَهُ اللهُ يُمِيْلُ إِلَى ذلِكَ مَحَبَّةً فِيْهِمْ نَفَعَنَا اللهُ بِهِمْ.
Dan adalah Syaikh Muḥammad al-Fadhālī raḥimahullāh berkecendrungan [mengikuti] kepada pendapat tersebut, karena cinta terhadap Bani Hāsyim dan Bani Muththalib, semoga Allah memberi manfaat kepada kita dengan sebab mereka.
Catatan: