001-4 Bersiwak (Menggosok Gigi) – Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’i

RINGKASAN FIQIH MAZHAB SYAFI‘I
(Penjelasan Kitab Matan Abu Syuja‘ dengan Dalil al-Qur’an dan Hadits)
Oleh: Musthafa Dib al-Bugha

Penerjemah: Toto Edidarmo
Penerbit: Noura Books (PT Mizan Publika)

Rangkaian Pos: Bab 1 Bersuci (Thahārah) - Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi'i

Bersiwak (Menggosok Gigi)

 

Bersiwak dianjurkan pada setiap keadaan (1), kecuali setelah matahari tergelincir (ke arah barat) bagi orang yang berpuasa (2).

(1). Diriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda:

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ.

Bersiwak itu membersihkan mulut dan disenangi oleh Allah s.w.t.” (an-Nasā’ī, ath-Thahārah, Bab “at-Targhību fis-Siwāk”, hadits no. 5; al-Bukhārī, ash-Shaum, Bab “as-Siwāk-ur-Rathbi wal-Yābisi lish-Shā’im”; Ibnu Mājah dari Abū Umāmah r.a. ath-Thahāratu was-Sunnatuhā, Bab “as-Siwāk”, hadits no. 289; Aḥmad dalam Musnad-nya, “Musnadu Abī Bakr”, juz 1, hal. 3)

Siwak merupakan alat yang digunakan untuk menggosok gigi dengan berbagai cara. Sunnah bersiwak akan diperoleh dengan menggunakan semua benda kasar yang dapat menghilangkan kotoran. Kayu arāk yang biasa dikenal sebagai siwak merupakan alat yang paling utama untuk bersiwak.

(2). Larangan bersiwak untuk orang yang berpuasa setelah matahari tergelincir bertujuan agar bau tidak sedap pada mulut orang yang berpuasa tidak hilang. Bau tersebut, seperti digambarkan oleh Nabi s.a.w., lebih harum di sisi Allah daripada wangi kesturi.

Dirawikan oleh Abū Hurairah r.a. Nabi s.a.w. bersabda:

لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ.

Sungguh, perubahan bau mulut orang yang berpuasa itu di sisi Allah lebih harum dari wangi kesturi.” (al-Bukhārī, as-Shaum, Bab “Fadhl-ush-Shaum”, hadits no. 1795; Muslim, ash-Shiyām, Bab “Ḥifzh-ul-Lisāni lish-Shā’im”, hadits no. 1151).

Perubahan bau mulut bagi orang yang berpuasa biasanya terjadi setelah matahari tergelincir (ke arah barat). Menggunakan siwak pada saat itu dapat menghilangkan bau mulut. Karena dapat menghilangkan keutamaan bau mulut di sisi Allah, maka bersiwak setelah matahari tergelincir hukumnya makruh.

 

Bersiwak sangat dianjurkan dalam tiga keadaan berikut ini:

1. Ketika bau mulut berubah tidak sedap karena terlalu lama diam atau karena yang lain. (1).

(1). Bau mulut bisa disebabkan oleh mulut yang terlalu lama diam atau karena tidak makan dan minum. Bisa juga karena mengonsumsi makanan yang memiliki bau tidak sedap.

 

2. Ketika bangun tidur. (1).

(1). Al-Bukhārī dan Muslim merawikan dari Ḥudzaifah r.a. yang mengatakan:

كَانَ النَّبِيُّ (ص) إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يَشُوْصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ.

Apabila Nabi s.a.w. bangun tidur, beliau terbiasa menggosok giginya dengan siwak.

Abū Dāūd juga merawikan dari ‘Ā’isyah yang berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ (ص) كَانَ لَا يَرْقُدُ مِنَ لَيْلٍ وَ لَا نَهَارٍ فَيَسْتَيْقِظُ إِلَّا تَسَوَّكَ قَبْلَ أَنْ يَتَوَضَّأَ.

Nabi s.a.w. tidak pernah tidur di malam atau siang hari, kecuali beliau selalu menggosok giginya setiap kali bangun sebelum berwudhu’.” (al-Bukhārī, al-Wudhū’, Bab “as-Siwāk”, hadits no. 242; Muslim, ath-Thahārah, Bab “as-Siwāk”, hadits no. 255; Abū Dāūd, ath-Thahārah, Bab “as-Siwāku li Man Qāma min-al-Lail,” hadits no. 57).

 

3. Ketika hendak melaksanakan shalat. (1).

(1). Bersiwak juga sangat dianjurkan ketika berwudhu’. Hal ini seperti dirawikan oleh al-Bukhārī dan Muslim dari Abū Hurairah r.a., dari Nabi s.a.w. yang bersabda:

لَوْ لَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدِ كُلِّ صَلَاةٍ.

Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak shalat.

Frasa “aku perintahkan” dalam hadits ini menunjukkan bahwa anjuran bersiwak ketika hendak shalat sangat ditekankan (mu’akkad). (al-Bukhārī, al-Jumu‘ah, Bab “as-Siwāku Yaum-al-Jumu‘ah”, hadits no. 847; Muslim, ath-Thahārah, Bab “as-Siwāk”, hadits no. 252); Shaḥīḥu Ibni Khuzaimah, al-Wudhū’, Bab “Dzikr-ud-Dalīli ‘alā ’ann-al-Amra bis-Siwāki Amr-ul-Fadhīlah”, hadits no. 140; an-Nasā’ī dalam as-Sunan-ul-Kubrā, ash-Shiyām, Bab “as-Siwāku lish-Shā’imi bil-Ghadāh,” hadits no. 3034).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *