001-2 Bersuci – Air – Batasan Air Banyak dan Pemeriksaan Dua Qullah | Terjemah Ibanat-ul-Ahkam

TERJEMAH IBANAT-UL-AHKAM
(Judul Asli: Ibānat-ul-Aḥkāmi Syarḥu Bulūgh-il-Marām: Qism-ul-‘Ibādah)
Oleh: Hasan Sulaiman an-Nuri dan Alwi Abbas al-Maliki

Penerjemah: Mahrus Ali
Penerbit: Mutiara Ilmu.

Rangkaian Pos: Terjemah Ibanat-ul-Ahkam - Bersuci - Air | Hasan Sulaiman an-Nuri dan Alwi Abbas al-Maliki

BAHAGIAN PERTAMA

BERSUCI

 

BAB I

AIR – BAGIAN 2

 

Batasan Air Banyak dan Pemeriksaan Dua Qullah

4. وَ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ (ر) قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): (إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ) وَ فِيْ لَفْظٍ: (لَمْ يَنْجُسْ) أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَ صَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَ الْحَاكِمُ وَ ابْنُ حِبَّانَ.

‘Abdullāh bin ‘Umar r.a. berkata bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Bila air telah mencapai dua qullah, maka tidak mengandung najis.” Menurut sebagian riwayat dengan kalimat: “Tidak najis.

(HR. Empat Imām Ahli Hadits dan Ibnu Khuzaimah, al-Ḥākim, dan Ibnu Ḥibbān men-shaḥīḥ-kannya).

 

Pengertian Hadits Secara Global

Seringkali Rasūlullāh s.a.w. menjawab pertanyaan orang yang bertanya kepadanya dengan jawaban yang tepat, agar menjadi pelita petunjuk untuk waktu yang lama. Hal itu termasuk kalimat-kalimat beliau yang senantiasa padat, sedikit kata tapi banyak arti yang dikandung dan sebagai tanda kenabiannya. Beliau pernah ditanya tentang air di kolam, di tanah lapang, dan lembah-lembah. Biasanya tempat seperti ini tidak dijumpai air di kendi satu atau dua. Lantas beliau memberitahu bahwa air bila mencapai dua qullah, tidak mengandung najis atau tidak najis bila ada sesuatu yang jatuh kepadanya. Tapi air itu bisa mempertahankan kesuciannya.

 

Uraian Lafazh Hadits

(قُلَّتَيْنِ) : Kalimat qullatain adalah bentuk tatsniah dari kalimat (قُلَّةٌ). Yaitu guci besar penduduk Ḥajar. Isinya kira-kira lima ratus kati ‘Irāq = empat ratus empat puluh enam kati Mesir ditambah tiga pertujuh kati = 93 gantang ditambah tiga mud = lima bejana Ḥijāz atau boleh dikata ukuran air enam puluh senti meter persegi.

(لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ) : Tidak mengandung najis.

(لَمْ يَنْجُسْ) : Tidak najis.

 

Kesimpulan Hadits

  1. Air yang telah diminum oleh binatang buas dan binatang melata biasanya tidak terlepas dari najis. Sebab, kebiasaan binatang buas itu bila menemukan air, mereka lalu masuk lalu kencing. Terkadang anggota tubuhnya tidak bebas dari kotoran dan air kencing atau tahinya.
  1. Asy-Syāfi‘ī dan Imām Aḥmad berpedoman pada hadits di atas. Mereka menyatakan bahwa air banyak adalah yang telah mencapai dua qullah. Ia tidak dinajiskan oleh suatu najis yang jatuh kepadanya selama warna, bau dan rasanya tidak berubah.

 

Perawi Hadits

‘Abdullāh bin ‘Umar al-Adawī bernama Abū ‘Abd-ir-Raḥmān al-Makkī. Beliau masuk Islam sejak kecil di Makkah, lalu berhijrah ke Madinah bersama ayahnya. Beliau ikut perang Khandaq dan Bai‘at-ur-Ridhwān. Meriwayatkan 1630 Hadits. Anak-anak beliau yang bernama Sālim, Ḥamzah dan ‘Ubaidullāh meriwayatkan hadits darinya. Bersikap zuhud, berhati-hati terhadap barang syubhat atau haram, wara‘, banyak ilmu dan banyak pengikutnya. Wafat pada tahun 94 H. di Makkah kemudian dimakamkan di sana.

 

Pentakhrij Hadits

Al-Ḥākim adalah tokoh ulama ahli taḥqīq bernama Abū ‘Abdillāh Muḥammad bin ‘Abdullāh an-Naisābūrī terkenal dengan Ibn-ul-Bai‘. Lahir pada tahun 321 H. Beliau berusia dua puluh tahun pergi ke ‘Irāq, lalu menunaikan ibadah haji, lantas mondar-mandir di kota Khurāsān dan daerah di belakang sungai di sana.

Beliau mendengar hadits dari dua ribu guru. Imām Dāruquthnī dan al-Baihaqī dan beberapa orang lain berguru kepadanya. Beliau mempunyai karangan amat banyak, bertakwa dan tangguh dalam memegang agama. Di antara karangannya adalah kitab al-Mustadrak dan sejarah kota Naisābūr. Wafat pada tahun 405 H.

Ibnu Ḥibbān yaitu al-Ḥāfizh al-‘Allāmah Abū Ḥātim Muḥammad bin Ḥibbān bin Aḥmad al-Bustī termasuk ahli fiqih dan senantiasa menghafal hadits. Beliau termasuk ulama terkemuka di kota Samarkand.

Al-Ḥākim berguru kepadanya, lalu berkata bahwa Ibnu Ḥibbān termasuk ulama ahli fiqih, nasihat dan bahasa. Beliau tokoh yang berakal jenius. Wafat pada tahun 354 H. Usianya delapan puluh tahun.

 

5. وَ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ (ص) قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهُ (ص): (لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَ هُوَ جُنُبٌ) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَ لِلْبُخَارِيْ: (لَا يَبُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِيْ لَا يَجْرِيْ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيْهِ) وَ لِمُسْلِمٍ: (مِنْهُ)، وَ لِأَبِيْ دَاوُدَ: (وَ لَا يَغْتَسِلْ فِيْهِ مِنَ الْجَنَايَةِ).

Abū Hurairah r.a. berkata bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Seseorang di antaramu yang sedang junub, janganlah mandi di air yang tenang.

(HR. Muslim).

 

Menurut riwayat Bukhārī sebagai berikut: “Seseorang di antaramu, janganlah sekali-kali kencing di air yang tidak mengalir, kemudian mandi di dalamnya,” dan menurut riwayat Muslim: “darinya”.

Menurut riwayat Abū Dāūd: “Dan jangan mandi besar di dalamnya.

 

Pengertian Hadits Secara Global

Hadits itu merupakan dasar kebersihan yang dianjurkan oleh Rasūlullāh sebagai pengajar syariat yang amat bijaksana. Beliau melarang orang junub mandi di air tenang yang tidak mengalir. Sebab, air tersebut dikhawatirkan akan berubah.

Maksud larangan tersebut adalah membersihkan diri. Jangan bertaqarrub kepada Allah Yang Maha Tinggi dengan sesuatu yang kotor. Hadits di atas bisa diambil kesimpulan larangan kencing dan mandi di dalamnya secara bersamaan. Adapun larangan kencing dapat diambil pengertian dari riwayat Muslim bahwa Rasulullah s.a.w. melarang kencing di air yang tenang, lalu beliau melarang pula mandi besar dalam air yang tidak mengalir.

Larangan itu hanya makruh bila airnya banyak. Bila airnya sedikit haram.

 

Uraian Lafazh Hadits

(الْمَاءُ الدَّائِمُ) : Air yang tenang.

(الْجُنُبُ) : Seorang yang junub. Lafal junub (الْجُنُبُ) bisa digunakan untuk mufrad atau jama‘.

(ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيْهِ) : Lafal (ثُمَّ) dibaca rafa‘, menjadi khabar mubtada’ yang dibuang. Takdīr-nya (ثُمَّ هُوَ يَغْتَسِلُ). Jumlah kalimat tersebut menjadi ‘illat larangan.

Maksudnya: Seseorang di antaramu jangan kencing di air yang tenang. Larangan tersebut dikarenakan di mandi atau berwudhu’ di situ.

Lafal (ثُمَّ) mempunyai arti menyayangkan. Seolah Rasūl bersabda: “Bagaimana dia mandi di air tersebut, padahal dia membutuhkannya untuk mandi atau lainnya. Jadi maksudnya kamu jangan mandi setelah kencing di situ.

(وَ لِمُسْلِمٍ مِنْهُ) : Seseorang di antaramu jangan kencing di air yang tidak mengalir, kemudian mengambil air untuk mandi, lantas mandi di atasnya.

(وَ لَا يَغْتَسِلْ) : Kalimat (يَغْتَسِلُ) dibaca rafa‘. Ia adalah nafi tapi punya arti nahi. Kalimat tersebut lebih tepat. Maksudnya bila air tersebut mengalir, maka tidak dilarang kencing di situ, sekalipun yang lebih utama tidak usah mengerjakannya.

 

Kesimpulan Hadits

  1. Seorang junub tidak diperkenankan mandi di air yang tenang.
  1. Air tidak najis karena dimasuki orang junub yang mandi besar di dalamnya, tapi hukum mensucikannya telah dicabut. Jadi, dapat dipakai selain menghilangkan hadats atau najis.
  1. Larangan kencing di air yang tenang karena bisa merusak air.
  1. Ketetapan hukum bahwa air kencing adalah najis.

 

6. وَ عَنْ رَجُلٍ صَحِبَ النَّبِيَّ (ص) قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ (ص): (أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ أَوِ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ، وَ لْيَغْتَرِفَا جَمِيْعًا). أَخْرَجُهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَ النَّسَائِيُّ وَ إِسْنَادُهُ صَحِيْحٌ.

Dari seorang lelaki yang bersahabat dengan Nabi s.a.w. berkata: “Rasūlullāh s.a.w. melarang seorang perempuan mandi besar dengan air sisa mandi lelaki. Atau sebaliknya seorang lelaki mandi besar dengan sisa air mandi perempuan. Dan hendaklah mereka berdua mencibuk bersamaan.

(HR. Abū Dāūd dan Nasā’ī dengan sanad yang shaḥīḥ).

 

Pengertian Hadits Secara Global

Hadits tersebut menunjukkan larangan bagi lelaki atau perempuan bersuci dengan sisa air bersuci yang lain. Mereka berdua boleh bersuci bersamaan dengan satu bejana.

 

Uraian Lafal Hadits

(رَجُلٌ صَحِبَ النَّبِيَّ) : Tidak dikenal siapa nama lelaki tersebut. Jadi, kesamaran nama sahabat tidak berbahaya. Sebab, seluruh sahabat Rasūl adalah adil.

(بِفَضْلِ الرَّجُلِ) : Dengan air sisa mandi besar lelaki.

(بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ) : Dengan sisa air mandi besar perempuan.

(وَ لْيَغْتَرِفَا) : Hendaklah mereka berdua menyauk. Yakni mengambil air dengan tangan. Jadi huruf wāw untuk ‘athaf pada lafal nahā (نَهَى). Ma‘thūf dibuang. Taqdīr-nya Rasūl bersabda: “Hendaklah mereka berdua menyauk bersamaan.” Lām di situ untuk amar (perintah).

 

Kesimpulan Hadits

  1. Larangan bagi wanita mandi dengan air sisa mandi jinabat lelaki.
  1. Lelaki dilarang mandi dengan air sisa mandi jinabat perempuan.
  1. Seorang lelaki dan perempuan boleh mandi dalam satu bejana air dengan menyauknya.
  1. Larangan itu hanya untuk kebersihan.

 

7. وَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (ر): (أَنَّ النَّبِيَّ (ص) كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُوْنَةَ) أَخْرَجَهُ مُسْلِمُ، وَ لِأَصْحَابِ السُّنَنِ: (اِغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ (ص) فِيْ جَفْنَةٍ فَجَاءَ لِيَغْتَسِلَ مِنْهَا، فَقَالَتْ: إِنِّيْ كُنْتُ جُنُبًا. فَقَالَ: إِنَّ الْمَاءَ لَا يَجْنُبُ). وَ صَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَ ابْنُ خُزَيْمَةَ.

Dari Ibnu ‘Abbās r.a. bahwa Nabi s.a.w. mandi dengan air sisa mandi (besar) Maimūnah.

(HR. Muslim).

Menurut riwayat penyusun kitab Sunan.

Sebagian istri-istri Nabi s.a.w. mandi jinabat dengan air di bejana besar, lalu beliau datang untuk mandi jinabat pula. Sang istri berkata: “Sesungguhnya kau junub. Rasūl bersabda: “Sesungguhnya air tidak junub (tidak najis sebab orang junub mandi).

(Hadits tersebut di-shaḥīḥ-kan oleh Tirmidzī dan Ibnu Khuzaimah).

 

Pengertian Hadits Secara Global

Hadits tersebut mengandung pengertian bahwa orang laki-laki boleh bersuci dengan sisa air bersuci orang perempuan. Dan, selama orang laki-laki bersuci dengan sisa air bersuci orang perempuan diperbolehkan, maka menurut qiyas, orang perempuan bersuci dengan sisa air bersuci laki-laki juga diperbolehkan. Jadi, air sisa bersuci lelaki atau perempuan adalah suci dan bisa menghilangkan hadas serta najis. Sebab, air sisa tersebut tidak najis. Oleh karena itu, Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

Sesungguhnya air tidak junub. (Air itu tidak najis sebab dipakai mandi orang yang junub).” Hal itu sebagai pernyataan ketetapan hukum. Dan merupakan sebagian kemudahan ajaran agama Islam serta hukum-hukumnya.”

 

Uraian Lafal Hadits

(بِفَضْلِ مَيْمُوْنَةَ) : Dengan sisa air mandi jinabat Maimūnah. Nama lengkapnya Maimūnah putri al-Ḥārits al-Hilāliyah. Nama aslinya Barrah, lalu diganti oleh Rasūl dengan nama Maimūnah. Dia adalah bibi ‘Abdullāh bin ‘Abbās. Dikawin Rasūl pada tahun tujuh Hijriyyah, dan setelah itu, beliau tidak kawin lagi. Ibnu ‘Abbās, Yazīd bin al-Ashamm dan beberapa orang meriwayatkan hadits darinya. Beliau meninggal dunia pada tahun 51 H. di Wādī Saraf.

(فِيْ جَفْنَةٍ) : Bejana besar. Jama‘ lafal Jafnah (جَفْنَةٌ) adalah Jifān (جِفَانٌ) dan lafal Jafanātun (جَفَنَاتٌ). Menurut tata bahasa ‘Arab, ia berhubungan dengan kalimat yang dibuang. Dan menjadi ḥāl dari fā‘il ightasala (اِغْتَسَلَ). Taqdīr-nya: Mudkhilatan yadahā fī jafnatin taghtarifu minhā (مُدْخِلَةً يَدَهَا فِيْ جَفْنَةٍ تَغْتَرِفُ مِنْهَا).

(أَصْحَابُ السُّنَنِ) : Abū Dāūd, Nasā’ī, Tirmidzī, dan Ibnu Mājah. Riwayat hidup mereka telah diterangkan dalam halaman yang lalu.

(إِنِّيْ كُنْتُ جُنُبًا) : Junub adalah orang yang berkewajiban mandi besar karena bersetubuh atau keluar mani. Jadi artinya, Maimūnah mandi besar dari air di bejana besar.

 

Kesimpulan Hadits

  1. Boleh mandi jinabat dengan air sisa mandi jinabat orang perempuan begitu juga sebaliknya.
  1. Sisa air tersebut adalah suci dan bisa digunakan menghilangkan hadats atau najis. Sebab, air tersebut tidak najis.
  1. Boleh bertanya kepada orang yang lebih utama untuk memperjelaskan hukum.
  1. Wajib mandi jinabat.

 

Perawi Hadits

Ibnu ‘Abbās bernama ‘Abdullāh bin ‘Abbās al-Hāsyimī. Beliau keponakan Rasūlullāh s.a.w., sahabatnya, tokoh ulama, seorang ahli fiqih dan penafsir al-Qur’ān. Beliau meriwayatkan 1600 Hadits.

‘Umar bin al-Khaththāb memanggilnya dan bermusyawarah dengannya bila menemukan sesuatu yang rumit. Ghawwāsh berkata: “Beliau dilahirkan sekitar tiga tahun sebelum hijrah dan meninggal dunia di Thā’if pada tahun 68 H.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *