001-2 Air Mutlak yg Makruh Memakainya – Sabil-ul-Muhtadin

Kitab Sabil-ul-Muhtadin
Oleh: Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari

Disalin oleh: Drs. H.M. ASYWADIE SYUKUR Lc.
Penerbit: Pt. Bina ilmu

PASAL

AIR MUTLAK YANG MAKRUH MEMAKAINYA

 

Air yang makruh memakainya menurut hukum syara‘ atau juga dinamakan kahariyāt-ut-tanzīh (makruh ringan) ada delapan macam: (1) Air yang sangat panas. (2) Air yang sangat dingin. Dimakruhkan memakainya karena tidak mungkin air yang seperti itu dapat diratakan di anggota tubuh atau karena akan memudharatkan tubuh, baik dipakai untuk berwudhu’ atau mandi atau untuk keperluan lainnya. Dikecualikan dari air yang sangat panas dan sangat dingin ialah air yang sedang yang tidak begitu panas dan tidak begitu dingin, tidak makruh memakainya sekalipun dipanaskan dengan najis mughālazhah. (3) Air yang terjemur. (4) Air di negeri Tsamūd selain dari air sumur Naqah. (5) Air di negeri kaum Lūth. (6) Air telaga Barhut. (7) Air di daerah Babel, dan (8) Air di telaga Zarwān. Makruh mempergunakan tanah di daerah-daerah tersebut untuk bertayammum karena air dan tanah di daerah yang dihuni oleh kaum lagi dimurkai Allah makruh untuk memakainya baik untuk berwudhu’ maupun untuk bertayammum.

Inilah delapan macam air yang makruh memakainya seperti yang tersebut dalam kitab “Tuḥfah” dan “Nihāyah”. Khathīb Syarbainī menambahkan lagi dalam kitabnya: “Mughnī” dimakruhkan memakai air dalam telaga di mana pernah dimasukkan alat sihir yang menyihir Nabi s.a.w.

Air yang terjemur tidak makruh memakainya melainkan telah tercapai lima syarat:

1). Air yang terjemur pada daerah yang sangat panas seperti daerah Tuhamah Yaman dan Tuhamah Ḥijaz, maka tidak makruh memakai air yang terjemur di daerah dingin seperti Syam dan daerah yang sedang seperti Mesir, karena pengaruh cahaya matahari pada kedua daerah ini kurang.

2). Terjemur pada musim panas, tidak makruh memakai air yang terjemur pada musim dingin, sekalipun di daerah yang sangat panas.

3). Terjemur di dalam tempayan besi atau tembaga atau tempayan yang seumpama itu yang kena (dapat dirusak dengan) tukul (alat pemukul kecil) selain dari tempat emas, perak, kayu atau kulit dan yang terjemur di dalam telaga atau kolam. Terkecuali telaga atau kolam yang ada di pegunungan besi. Dan juga tidak makruh memakai air yang terjemur di dalam tempayan emas dan perak karena halus molekulnya, sekalipun ada tembaganya. Dan tidak makruh memakai air yang terjemur di dalam tempayan besi atau tembaga yang disoder dengan emas atau perak, jika soderannya tebal sehingga soderannya mencegah keluar molekul (jirim) tempayan itu seperti yang disebutkan di dalam kitab “Tuḥfah” dan “Nihāyah”. Lain halnya air yang terjemur di dalam tempayan emas dan perak yang disoder atau dicampur dengan besi atau tembaga atau lainnnya, maka makruh memakainya.

4). Dipakai pada saat panasnya tidak makruh memakainya sesudah dingin.

5). Dipakai untuk menyirami tubuh seperti untuk berwudhu’ atau untuk mandi atau tayammum, baik pada tubuh yang hidup atau pada tubuh yang mati atau pada tubuh orang yang kena penyakit lepra atau tubuh binatang seperti kuda. Karena air yang terjemur dalam pelbagai bentuk di atas akan menyebabkan penyakit lepra, karena itulah dimakruhkan memakainya, karena takut terkena penyakit lepra bagi yang tidak menderita lepra atau takut bertambah penyakitnya bagi yang menderita penyakit lepra. Karena itulah disebutkan dalam hadits yang shaḥīḥ, Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يُرِيْبُكَ.

Artinya: “Tinggalkan yang menyebabkan keraguan kepada yang tidak meragukan.

(HR. Tirmidzī dan Nasā’ī dari Ḥasan bin ‘Alī).

Maka memakai air yang terjemur ini menimbulkan keraguan karena takut penyakit lepra.

Para dokter ahli berkata: Cahaya matahari yang sangat panas dapat menceraikan molekul tempayan dan naik ke atas air dan apabila bertemu dengan tubuh pada saat panasnya dapat masuk ke dalam kulit melalui pori-pori kulit dan masuk ke dalam pembuluh darah yang dapat menahan aliran darah sehingga dapat menimbulkan penyakit lepra. Tetapi air yang seperti ini tidak makruh memakainya untuk keperluan lain umpamanya untuk mencuci tanah, membasuh tempayan atau mencuci kain atau membasuh makanan yang keras atau untuk keperluan lain yang tidak ada hubungannya dengan kekuatiran timbulnya penyakit lepra.

Tidak boleh bertayammum kalau ada air yang terjemur, tetapi kalau menurut perkiraan air yang terjemur akan membahayakan kesehatan menurut keterangan doktor ahli yang dapat dipercaya, atau menurut pengetahuan pemakainya, maka haramlah memakai air itu dan ia boleh bertayammum. Yang lebih utama ia tidak mempergunakan air yang terjemur pada awal waktu, kalau ia yakin akan memperoleh air pada akhir waktu, demikianlah yang disebutkan dalam kitab “Nihāyah”. Di dalam kitab “Tuḥfah” disebutkan tidak makruh berwudhu’ dan mandi dengan air zamzam dan tidak haram menghilangkan najis dengan air zamzam, tetapi lebih baik jangan menghilangkan najis dengan air zamzam. Air zamzam lebih mulia dari air telaga Kautsar, karena dada Nabi s.a.w. dibasuh dengan air zamzam dan dada Rasūlullāh s.a.w. tidak dibasuh melainkan dengan yang lebih afdhal, tetapi air yang keluar dari jari-jari Rasūlullāh s.a.w. lebih afdhal dari air zamzam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *