1-1-1 Sifat-sifat & Keutamaan ‘Ali – Kisah Hidup ‘Ali Ibn Abi Thalib

KISAH HIDUP ‘ALĪ IBN ABI THĀLIB
(Judul Asli: ‘Alī ibn Abī Thālib)
Oleh: Dr. Musthafa Murad

Penerjemah dan Penyelaras: Dedi Slamet Riyadi. MA.
Penerbit: ZAMAN

Rangkaian Pos: Sifat-sifat & Keutamaan 'Ali | Kisah Hidup 'Ali Ibn Abi Thalib

BAB SATU

KEHIDUPAN, KEUTAMAAN, DAN KEKHALIFAHAN ‘ALĪ IBN ABĪ THĀLIB

 

SIFAT-SIFAT DAN KEUTAMAAN ‘ALĪ IBN ABĪ THĀLIB

(Bagian 1)

“Singa” – Asad. Itulah nama pertama yang diberikan ibunya. Nama itu diambil dari nama kakeknya, ayahanda ibunya, Fatimah bint Asad. Nama itu tak lama dipakai karena ibunya memberinya nama lain yang lebih lembut Haidarah – macan. Sepertinya ibunya ingin putranya tumbuh menjadi laki-laki pemberani. Bagi bangsa ‘Arab saat itu, kemuliaan milik para pemberani. Kelak, harapan ibunya menjadi kenyataan, karena anak itu tumbuh menjadi laki-laki yang sangat pemberani, salah satu singa padang pasir yang terkenal di semenanjung ‘Arab. Namun, nama pemberian ayahnyalah yang dikenal hingga akhir hayatnya, ‘Ali – yang luhur.

Dialah ‘Ali putra Abu Thalib ibn ‘Abdul Muththalib ibn Hasyim. Ia berasal dari pohon keturunan yang mulia dan terhormat. Ayahnya adalah Abu Thalib paman Nabi s.a.w. sedangkan ibunya adalah Fathimah bint Asad ibn Hasyim. Kakek Rasulullah. Kakek Rasulullah s.a.w., ‘Abdul Muththalib, adalah juga kakeknya.

Kemuliaan dan kesucian selalu menyertai kehidupannya. Sejak kecil ia terjaga dari kekejian dan kebodohan bangsa ‘Arab Jahiliah. Sejak lahir hingga akhir hayatnya ia tidak pernah menyembah berhala. Seluruh sujud dalam hidupnya hanya untuk Allah Yang Maha Agung lagi Maha Kuasa. Karena itulah ia dikenal sebagai pemilik wajah yang dimuliakan Allah – karramallāhu wajhah.

Laki-laki mulia ini dikenal dengan beberapa nama julukan lain. Semuanya sesuai dengan karakter dan sifat-sifatnya yang mulia, Salah satu julukannya yang terkenal dan paling disukainya adalah Abu Turab – Laki-laki Berdebu. Ia sangat menyukai julukan ini. Ia senang jika seseorang memanggilnya “Abu Turab”. (11) Ia menyukai julukan itu karena yang memanggilnya dengan nama itu pertama kali adalah baginda Rasulullah s.a.w. Suatu hari, layaknya rumah tangga yang lain, ‘Ali kesal kepada istrinya, Fatimah al-Zahra putri Muhammad. Tetapi, tidak seperti para suami lainnya, saat marah ia menghindar, keluar rumah, dan pergi ke masjid. Ia duduk bersandar pada salah satu dinding Masjid Nabi s.a.w. Tanpa disadarinya, Nabi datang menghampiri. Nabi melihat punggung ‘Ali dipenuhi debu sehingga beliau membersihkan pakaian ‘Ali dari debu dan berkata: “Hai laki-laki yang berdebu – Abu Turab.” Dalam versi riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah s.a.w. mengusap debu dari pakaiannya lalu berkata: “Bangunlah, hai Abu Turab! Bangunlah, hai Abu Turab!”

Julukannya yang lain adalah Abu al-Hasan, Ayah al-Hasan, putranya yang tertua dari Fatimah az-Zahra r.a. Kadang-kadang ia juga disebut Abu Rihanatain – Ayah dua orang yang mewangi, yaitu al-Hasan dan al-Husain, semoga Allah meridai mereka.

Ada julukan lain, namun tidak diakui oleh semua kalangan, yaitu al-Imam – Sang Imam. Julukan itu banyak dipergunakan oleh kalangan Syiah sebagai perwujudan dari konsep Imamah dalam keyakinan Syiah. Bagi mereka, ‘Ali adalah Imam Pertama. Terlepas dari kontroversi itu, ia memang pantas disebut al-Imam – Sang Pemimpin, karena ia memiliki keutamaan, kemuliaan, dan keistimewaan dibanding kaum muslim lainnya. Ia adalah pemimpin para ahli ilmu syariat. Ia adalah orang ‘Arab yang paling mahir dan paling fasih berbicara ‘Arab.

Semua nama dan julukan itu tak cukup menggambarkan keutamaan ‘Ali ibn Abu Thalib. Sejarah mengenalnya sebagai laki-laki yang suci lagi mulia. Dialah remaja pertama yang mengakui risalah Muhammad dan menyatakan dirinya sebagai muslim. Bahkan, dengan keberanian luar biasa, ia tidur di ranjang Rasulullah di malam hijrahnya ke Madinah bersama sahabat Abu Bakar, padahal ia tahu bahwa pada malam itu kaum Quraisy telah mengumpulkan beberapa pemuda dari setiap kabilah untuk mengepung rumah Nabi s.a.w. dan membunuhnya. Ia dikenal sebagai pejuang pemberani, yang berperang dengan gagah tanpa rasa takut dalam Perang Badar. Hanya segelintir orang yang memiliki keberanian dan daya juang sebesar ‘Ali putra Abu Thalib.

Ia juga dikenal sebagai orang yang paling memahami ketentuan syariat. Ketika malam membentangkan sayapnya, pejuang tanpa tanding ini tunduk merendah di hadapan Tuhan. Ia berdiri ringkih di hadapan Yang Maha Suci. Di siang hari ia berpuasa, dengan hati senantiasa dekat kepada Yang Maha Kuasa. Dialah Khalifah Rasyidin yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan Nabi s.a.w. Sejak kecil ia diasuh dan dibesarkan di madrasah Nabawi. Kelak, ia menjadi pengasuh umat Islam, rabbaninya kaum muslim. Dialah pemilik lisan yang fasih dan akal yang cerdas, memahami ayat-ayat yang diturunkan oleh Jibril dan tentang siapa ayat-ayat itu turun.

Di saat kecil, malaikat mendekat dan membentangkan sayap melindunginya

Dua tangan yang suci nan mulia membelai, mengasuh, dan memuliakannya

Sepanjang usianya, cobaan dan ujian datang silih berganti menghampirinya

Semua keadaan dan setiap perubahan zaman makin meninggikan derajatnya

Bulir-bulir hikmah berhamburan dari lisannya yang suci

Pijar-pijar kebijakan memancar dari jiwanya yang mulia

Keseluruhan dirinya menggambarkan kesungguhan ibadah dan ketaatan

Saat-saat kebahagiaan bagi jiwanya adalah saat berjuang di jalan Tuhan

Masa mudanya sarat keagungan, dipenuhi kesucian yang tak pernah mati

Di medan perang, tak sekilas pun ia tampakkan keraguan apalagi ketakutan.

‘Ali putra Abu Thalib, begitu orang-orang mengenalnya, adalah gambaran manusia sempurna. Pena para sejarawan mencatatnya sebagai ahli ilmu. Dialah pintu gerbang menuju kota ilmu, yang luasnya tak terbatas. Dengan seluruh kemuliaan, keberanian, dan kepintarannya ia bisa dapatkan apa pun dari dunia ini. Namun, dialah Sang Zahid, yang tak mendapatkan apa pun dari dunia, dan dunia pun tak pernah bisa meraihnya. Dialah penerus yang mengalirkan darah suci Nabi s.a.w. Dialah penjalin risalah yang dinaungi sayap para malaikat, sumber ilmu dan hikmah, suami Fatimah Sang Bunga (az-Zahrah – Bunga dan az-Zahra’ – Yang Bersinar, Bercahaya dll.), pemimpin wanita seluruh alam; dialah tebusan (yang berbaring di ranjang Nabi menggantikan Nabi) pertama dalam Islam, anak-anak yang pertama masuk Islam, pemimpin para pemuda, seorang yang bertakwa, suci, dan berpengetahuan. Berbahagialah orang yang mencintai dan membenarkannya. Celakalah orang yang membenci dan mendustakannya. Dialah ayah bagi dua cucu Nabi s.a.w. yang terkasih, dialah ayah bagi dua orang yang menjadi wewangian surga, al-Hasan dan al-Husain. Khalifah Rasyidin ini memiliki karakter kepemimpinan yang kuat. Setiap pemimpin, dan semua orang membutuhkan kecerdasan dan keluasan pengetahuannya. Dengan segala kelebihan dan keutamaannya ini, ia tetap seorang zahid dari dunia. Di rumahnya, kau tidak akan mendapati kasur dan bantal tempatnya berbaring.

Tidak ada yang dapat menyangkal keutamaan dan keagungan ‘Ali ibn Abu Thalib, serta kedudukannya yang mulia di sisi Nabi s.a.w. Kendati demikian, secara lahiriah, ia adalah manusia biasa, dengan darah dan daging layaknya mansuia lain, Pahlawan yang berbaring di ranjang Nabi dan menjadi tebusan mulia ini bertubuh sedang, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Kedua matanya bersinar cemerlang, wajahnya lembut dan tampan, bagaikan cahaya purnama yang menyibak kegelapan malam, perutnya kencang, kedua pundaknya tegap, telapak tangannya keras. Lehernya tegak dan mengilat bak terbuat dari sepuhan perak. Hanya bagian belakang kepalanya yang ditumbuhi rambut. Jenggotnya lebat. Pada dua pundaknya ada tonjolan tulang bagaikan punuk singa. Sulit untuk dibedakan antara lengan atas dan lengan bawahnya, karena lengannya begitu tegap. Ketika berjalan, tubuhnya tampak sangat kokoh. Ketika memegang tangan seseorang, ia seakan-akan memegang dengan jiwanya. Tubuhnya tampak besar, tegap, dan kuat. Ketika melangkah di/ke medan perang, ia berjalan cepat, berdiri kokoh, dan berperang gagah. (22)

Catatan:


  1. 1). Sebagaimana diriwayatkan oleh Sahl ibn Sa‘d. 
  2. 2). Al-Isti‘āb fi Ma‘rifah al-Ashḥāb, jilid 3, hal. 1123. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *