001-1-5 Qadar Bukan Hakim Atas Kehendak Allah (Bagian 1) – Memilih Takdir Allah

HU.

Diterjemahkan dari buku aslinya:

AL-BADĀ’U FĪ DHAU’-IL-KITĀBI WAS-SUNNAH.
(Memilih Takdir Allah menurut al-Qur’ān dan Sunnah).

Oleh: Syaikh Ja‘far Subhani

Penerjemah: Bahruddin Fannani dan Agus Effendi
Penerbit: PUSTAKA HIDAYAH

Rangkaian Pos: 5. Qadar Bukan Hakim Atas Kehendak Allah - Perbuatan Allah & Kebebasan Manusia

5. Qadar Bukan Hakim atas Kehendak Allah, Perbuatan Allah dan Kebebasan Manusia.

Dua kelompok – Jabariyyah dan Mu‘tazilah sama-sama meriwayatkan dari Rasūlullāh s.a.w., bahwasanya beliau bersabda: “Penganut Qadariyyah adalah Majusinya umat ini.” Namun masing-masing kelompok ini saling menuding lawannya sebagai penganut Qadariyyah.

Kelompok Jabariyyah mengatakan bahwa sebenarnya yang dimaksud dengan mereka adalah kelompok Mu‘tazilah, yang berkeyakinan bahwa manusia memiliki kebebasan sepenuhnya dan terlepas dari takdir (qadar), dengan alasan bahwa mereka menggambarkan selain Allah, khususnya manusia, sebagai tuhan kedua, yang memiliki sepenuhnya kebebasan berbuat. Manusia menciptakan pekerjaannya sendiri, bertindak sebagai tuhan kedua. Sehingga mereka mirip dengan orang Majusi karena kepercayaannya terhadap adanya Tuhan.

Padahal, sebenarnya pemakaian kata Qadariyyah yang dituduhkan pada mereka yang tidak mengakui adanya qadar, adalah tidak relevan. Sebab, justru merekalah yang mengakui adanya qadar (takdir) itu. Seperti halnya kata keadilan, bukan pada penolak keadilan, maka pemakaian kata “Qadariyyah” di atas buat orang yang melepaskan dan tidak meyakini qadar adalah sama dengan pemberian gelar keadilan bagi orang yang enggan menjunjung keadilan.

Bagaimanapun, tidak diragukan lagi bahwa qadar adalah salah satu hal yang sudah ditetapkan dalam agama, yang merti diyakini dan tidak dapat dipungkiri adanya, sesuai penjelasan dari al-Qur’ān al-Karīm dan Sunnah Nabi yang jelas. Hanya saja, pembicaraan sekarang ini berkisar pada masalah penghakiman qadar terhadap perbuatan-perbuatan dan kehendak mutlak Allah s.w.t. yang diyakini oleh golongan Jabariyah. Dan hal ini oleh Syī‘ah Imāmiyyah tidak dibenarkan, dengan alasan bahwa Allah memiliki kehendak dalam menggariskan dan menetapkan sesuatu. Dan, di sisi lain, takdir tidak menjadikan kedua tanganNya terbelenggu, serta terikat ke belakang tiada daya.

Pernyataan yang dilebih-lebihkan tentang takdir dan penghakimannya atas kehendak Allah s.w.t., dan pemerapannya atas perbuatan-perbuatan Allah, serta adanya pernyataan bahwa Allah terikat oleh apa-apa yang telah ditetapkan-Nya, adalah bertentangan dengan dalil-dalil rasional serta ayat-ayat al-Qur’ān. Misalnya firman Allah: “Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki dan di sisi-Nya Umm-ul-Kitāb”. Dan begitu pula penjelasan dua ayat naskh (penghapusan) dan insā’ (pelupaan) sebagai argumentasi kami bahwa Allah mampu melaksanakan keduanya, yang telah pula kami jelaskan. Lihat kembali ayat 106 dan 107 dari surat al-Baqarah. Akidah yang betul adalah yang menganggap bahwa takdir tidak membatasi kemauan dan kehendak Allah s.w.t.

Sesungguhnya takdir Allah bergantung atas perbuatan manusia, tanpa menafikan kebebasan yang diperoleh dari-Nya. Yakni bahwa manusia memiliki kebebasan untuk berkehendak, berbuat dan meninggalkan pekerjaannya.

Penafsiran takdir dan penerapannya terhadap perbuatan Allah s.w.t., kemudian terhadap manusia dalam bentuk proyeksi dari Qadariyyah yang menyatakan wajibnya hukum takdir atas perbuatan-perbuatan, kehendak, dan kemauan Allah dan manusia, adalah sama dengan pemaksaan yang tidak benar serta tidak sesuai dengan dalil ‘aqliy dan naqliy.

Yang amat disayangkan, adanya buku-buku Ahl-us-Sunnah yang mengutip riwayat-riwayat dan hadits-hadits itu ke dalam shaḥīḥ dan sunan mereka, yang rupanya dipahami teksnya saja mengenai pembatasan takdir atas kehendak Allah s.w.t., yang menyatakan bahwasanya Dia terbatasi oleh takdir dan tidak dapat mengelak darinya sedikit pun. Demikian pula mereka memahami hukum tersebut bagi perbuatan-perbuatan manusia. Manusia terbelenggu kedua tangannya dan digerakkan dalam menjalani hidupnya sesuai dengan apa yang digariskan oleh takdir dan dituliskan pena takdir.

Berikut ini kami tunjukkan dalil-dalil yang berkaitan dengan dua masalah tadi, yang seandainya dalil tersebut memang benar datangnya dari Nabi s.a.w., harus ditakwilkan terlebih dahulu dengan ayat-ayat al-Qur’ān dan bukti-bukti yang dapat diterima oleh akal.

 

Bagian Pertama.

Yang berkaitan dengan masalah pertama, Tuhan, adalah hadits-hadits berikut ini, yakni yang diriwayatkan oleh Tirmidzī dari Nabi s.a.w. tentang takdir. Beliau bersabda: “Yang pertama sekali diciptakan Allah adalah “pena” , lalu Dia berfirman “Tulislah” Jawab pena: “Apa yang harus saya tulis?” Dia berfirman lagi: “Tulislah takdir yang telah berlalu dan yang sedang berlangsung untuk selama-lamanya.” (191)

Dari hadis ini nampak bahwa makhluk pertama adalah makhluk yang diciptakan untuk menandingi kekuasaan Penciptanya. Mengeringnya pena itu dapat membelenggu-Nya sehingga tidak dapat berbuat sesuatu terhadap makhluk-Nya.

Diriwayatkan oleh Tirmidzī pula dalam kitab al-Qadar, bab 17, hadits dari ‘Abdullāh bin ‘Umar berkata: Saya mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Telah digariskan semua takdir lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi.” (202).

 

Bagian Kedua.

Hadits-hadits yang berkaitan dengan bagian kedua, Manusia, antara lain yang diriwayatkan oleh Bukhārī dari Abū Hurairah. Ia berkata, bersabda kepadaku Nabi s.a.w.: “Pena takdir telah mengering untuk menuliskan apa yang kamu temui nanti.” (213)

Muslim telah meriwayatkan pula dalam Shaḥīḥ-nya.

Ketika menerangkan hadits ini, An-Nawawī berkata: “Malaikat penulis takdir untuk janin berkata: “Ya Tuhan, apakah dia akan termasuk orang sengsara atau bahagia?” Maka ditulislah keduanya.

Lalu ditulislah pula amal dan pengaruhnya, ajal dan rezkinya, kemudian lembaran-lembaran itu ditutup, yang nantinya tidak akan dikurangi dan ditambah.” (224)

Dalam hadits Ḥudzaifah disebutkan bahwa Allah telah menetapkan seseorang itu sempurna atau tidak. Kemudian Dia menetapkannya sengsara atau bahagia. (235)

Tidak seorang pun terlewatkan ketika dihembuskan ruh ke dalam dirinya kecuali telah ditetapkan baginya tempat di surga atau neraka, serta ditetapkan pula baginya sengsara atau bahagia. (246)

Dalam Shaḥīḥ Bukhārī disebutkan bahwa Nabi Ādam berdebat dengan Nabi Mūsā a.s. Nabi Mūsā berkata kepadanya: “Ādam! Engkaulah Bapak kami yang sekaligus membuat kami gagal dan terusir dari surga.

Lalu Nabi Ādam menjawab: “Mūsā! Allah memilih engkau dengan kalām-Nya, dan menggariskan nasibmu dengan tangan-Nya. Apakah engkau mencela diriku hanya karena sesuatu yang telah ditakdirkan bagi diriku sebelum Dia menciptakan diriku empat puluh tahun?” (257)

Diriwayatkan pula oleh Bukhārī dari Zaid bin Wahab dari ‘Abdullāh, dia bertutur sebagai berikut:

“Rasūlullāh s.a.w. bersabda kepadaku, bahwa beliau adalah orang yang benar dan dapat dipercaya, (sampai beliau bersabda: “…Kemudian Allah mengutus malaikat dan memerintahkannya agar melaksanakan empat tugas: rezki, ajal, sengsara dan bahagia. Demi Allah, bila seseorang di antara kamu berbuat seperti ahli neraka, kemudian tiada lagi jarak dari dirinya ke neraka kecuali sehasta, lalu ditetapkan lagi bagi dirinya keputusan lain, dan ia mengerjakan amal ahli surga, maka masuklah ia ke surga. Dan demi Allah, bila seseorang di antara kamu melakukan perbuatan ahli surga, dan tiada lagi jarak dari dirinya ke surga kecuali sehasta, lalu ditetapkan baginya suatu keputusan, dan ia melakukan kemaksiatan ahli neraka, maka jadilah ia penghuni neraka.” (268)

Diriwayatkan dari Anas bin Mālik dari Nabi s.a.w. bersabda: “Allah mengutus seorang malaikat untuk menulis takdir bagi janin yang masih ada dalam rahim (sampai beliau bersabda): “Ya Rabb! Laki-laki atau perempuankah dia? Sengsarakah dia atau bahagia? Bagaimana pula rezkinya? Kapan ajalnya? Semuanya itu ditetapkan ketika ia masih dalam perut ibunya.” (279)

Diriwayatkan pula dari ‘Imrān bin Ḥushayn, sebagai berikut:

Seseorang bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Ya Rasūlullāh! dapatkah dibedakan sekarang ini antara penghuni surga dan penghuni neraka?

Rasūlullāh menjawab: “Ya

Orang tersebut bertanya lagi: “Meskipun orang itu belum berbuat sesuatu?”

Rasūlullāh menjawab: “Masing-masing orang akan berbuat seperti apa ia akan diciptakan, dan sesuai takdir yang telah digariskan baginya.” (2810)

Sebenarnya penetapan takdir yang tak dapat ditawar ini terjadi setelah adanya gambaran tanpa alasan dan tak dapat dibenarkan. Yakni bahwa penentu takdir itu adalah kejam, tidak menaruh belas kasihan terhadap orang-orang miskin yang lemah, begitu pula kesengsaraan abadi yang dirasakan orang-orang kafir dan pelaku kemaksiatan, yang berarti untuk selamanya mereka tidak akan merasakan kasih sayang dan kebaikan-Nya. Begitu pun terhadap kelompok lain yang sama dengan mereka. Seperti firman Allah yang menurut anggapan mereka dalam beberapa riwayatnya: “Kami telah menetapkan siapa yang berhak untuk tinggal di surga, dan Kami tidak peduli setelah itu. Dan Kami juga menetapkan siapa yang seharusnya masuk neraka, dan Kami tidak peduli setelah itu.” (2911)

Suraqah bin Ju‘syam mengatakan: “Ya Rasūlullāh! Jelaskan kepada kami ini, sepertinya baru sekarang kami diciptakan, lalu apa yang mesti kami perbuat? Dalam hal apa apa saja pena takdir itu mesti berlaku? Lalu apa lagi yang akan kami hadapi?

Rasūlullāh menjawab: “Tidak begitu, pena-pena itu belum mengering, ia masih akan menuliskan takdir-takdir yang lain.” (3012)

 

Catatan:


  1. 19). Shaḥīḥ-ut-Tirmidzī, jilid IV, hlm. 457-458, bab al-Qadr
  2. 20). Shaḥīḥ-ut-Tirmidzī, jilid IV, hlm. 458. 
  3. 21). Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, jilid VIII, hlm. 122, bab al-Qadr, dalam sub bab “Mengeringnya pena takdir atas ilmu Allah.” 
  4. 22). Shaḥīḥu Muslim, dalam Syarḥ-un-Nawawī, jilid XVI, hlm. 193 dan 194. 
  5. 23). Ibid. 
  6. 24). Shaḥīḥu Muslim, dalam Syarḥ-un-Nawawī, jilid XVI, hlm. 193. 
  7. 25). Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, jilid VIII, bab al-Qadr, hlm. 122-127. 
  8. 26). Ibid. 
  9. 27). Ibid. 
  10. 28). Ibid. 
  11. 29). Lihatlah buku Buḥūtsu ma‘a Ahl-is-Sunnati was-Salafiyyah, hlm. 47. 
  12. 30). Shaḥīḥu Muslim, jilid VIII, hlm. 44, cetakan Kairo, dengan Syarḥ-un-Nawawī, jilid XVI, hlm. 196. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *