001-1-4 Kemungkinan Terjadinya Naskh – Memilih Takdir Allah (1/2)

HU.

Diterjemahkan dari buku aslinya:

AL-BADĀ’U FĪ DHAU’-IL-KITĀBI WAS-SUNNAH.
(Memilih Takdir Allah menurut al-Qur’ān dan Sunnah).

Oleh: Syaikh Ja‘far Subhani

Penerjemah: Bahruddin Fannani dan Agus Effendi
Penerbit: PUSTAKA HIDAYAH

Rangkaian Pos: 4. Kemungkinan Terjadinya Naskh dan Bantahan terhadap Anggapan Orang Yahudi

4. Kemungkinan Terjadinya Naskh dan Bantahan terhadap Anggapan Orang Yahudi.

Seperti diketahui, orang Yahudi menolak adanya Naskh (penghapusan) di dalam hukum. Bahkan lebih dari itu, mereka menafikannya sama sekali, baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan agama (tasyrī‘).

Mereka mengajukan berbagai alasan sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab ushūl, antara lain sebagai berikut:

“Sebenarnya naskh itu tidak lain berarti hilangnya hikmah nāsikh (yang menghapus) atau tidak adanya hikmah (pada pembuat hukum). Hal semacam itu mustahil dilakukan Allah s.w.t. Sebab, itu berarti mencabut hukum yang berlaku dari posisinya. Padahal masih dapat diambil kemaslahatan dari hukum tersebut. Toh, sebelumnya sudah diketahui tentang bakal adanya nāsikh. Hal ini menafikan adanya hikmah pada pembuat hukum itu. Padahal, sudah pasti Dia Maha Bijaksana.

Dari al-Badā’ itu sendiri terungkap adanya pertentangan yang sering terjadi dalam hukum-hukum, aturan-aturan adat, yang dapat menimbulkan adanya anggapan ketidaktahuan pada diri Allah s.w.t.

“Dengan demikian, terjadinya naskh dalam syariat-Nya adalah mustahil, karena menimbulkan kemustahilan. (141)

Itulah dalil yang mereka gunakan untuk menolak terjadinya naskh dalam syariat, yang dijawab oleh para ulama Islam sebagai berikut: “Sesungguhnya, naskh sama sekali tidak bertentangan dengan hikmah. Dan al-Badā’ yang dimustahilkan bagi Allah itu bukan muncul akibat naskh. Hukum yang berlaku tetap menjadi hukum yang hakiki, tetapi tidak harus menutup kemungkinan adanya naskh. Begitu pula halnya terhadap seseorang yang memegang suatu kepemimpinan–meskipun ia tidak berupa hukum yang sama sekali tidak mengetahui kejadian-kejadian di dunia ini, atau lebih tepatnya ia hanya “hukum yang berlaku dalam batas-batas waktu yang diketahui oleh Allah dan tidak diketahui oleh manusia.” Ia akan dicopot (removed, taken away) karena masa jabatannya berakhir dan munculnya akhir masa yang berlaku baginya. Dan perlu diketahui bahwa perjalanan waktu juga menentukan hukum-hukum. Boleh jadi, suatu perbuatan masih memiliki maslahat pada suatu waktu tertentu, tapi setelah beberapa waktu tidak lagi mengandung maslahat. Ketika itu, barangkali, kemaslahatan memerlukan penjelasan hukum yang mutlak. Dan maksud keterbatasan itu sebenarnya adalah terbatasnya waktu. Maka naskh yang terkait dengan waktu secara mutlak, tidak bertentangan dengan hikmah atau al-Badā’ yang dimustahilkan bagi Allah s.w.t.”

Hal itu bila menyangkut masalah naskh dalam hal tasyri‘ī (hukum syariat). Adapun yang dimaksudkan dengan naskh dalam hal takwīnī (hukum alam), adalah bahwa manusia itu bebas menentukan pilihan, tidak digerakkan, dan dia dapat mengubah apa yang akan terjadi pada dirinya bila ia mengubah arahnya.

Manusia itu bebas. Ia memiliki kebebasan memilih sepanjang hidupnya, dia berhak menjadikan dirinya termasuk golongan orang-orang yang bahagia atau dari golongan orang-orang yang sengsara. Tidak seperti orang Yahudi yang selalu beranggapan bahwa pena penulis qadhā’ dan qadar itu selamanya akan mematuhi apa yang sudah tertulis dahulu di sana dalam segala kejadian, dan amat mustahil seseorang dapat menentangnya. Dengan kata lain, mereka berpendat bahwa semua urusan telah diatur seluruhnya oleh Allah s.w.t. sehingga “pena” penulis qadhā’ dan qadar telah mengering, dan tidak mungkin Allah mencabut apa yang telah Dia tetapkan, serta mengubah apa yang telah Dia tuliskan.(152)

Berikut ini jawaban al-Qur’ān al-Karīm terhadap mereka mengenai naskh dalam tasyrī‘. Allah berfirman:

(مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن أَهلِ الكِتَابِ وَ لا المُشرِكِينَ أَن يُنَزِّلَ عَلَيكُم مِن خَيرٍ مِن رَبِّكُم وَاللهُ يَختَصُّ بِرَحمَتِهِ مَن يَشَاءُ وَ اللهُ ذُو الفَضلِ العَظِيمِ مَا نَنسَخ مِن آيَةٍ أَو نُنسِهَا نَأتِ بِخَيرٍ مِنهَا أَو مِثلِهَا أَلَم تَعلَم أَنَّ اللهَ عَلى كُلِّ شَيءٍ قَدِيرٌ)

Orang-orang kafir dari Ahli Kitāb dan orang-orang musyrik tidak suka diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu, padahal Allah itu memberikan rahmat-Nya kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Dan Allah memiliki karunia yang besar. Apapun ayat yang Kami hapuskan (naskh) (163), atau Kami buat (manusia) lupa kepadanya, Kami gantikan dengan yang lebih baik daripadanya atau serupa dengannya. Tidakkah engkau ketahui, bahwasanya Allah itu Mahakuasa atas segala sesuatu?” (2: 105, 106).

Sehubungan dengan apa yang kita bicarakan, ada baiknya kita sebutkan pembicaraan Nabi s.a.w. dengan orang Yahudi. Diriwayatkan dari Imam Muḥammad al-Bāqir a.s.,beliau berkata: “Suatu kali, datang serombongan orang Yahudi kepada Rasūlullāh s.a.w. Mereka berkata: Hai Muḥammad, engkau telah shalat menghadap qiblat ini, Baitul Maqdis, selama empat belas tahun, tapi kini engkau meninggalkannya. Kalau yang engkau anut dulu itu benar, berarti kini engkau beralih kepada yang batil, karena sesungguhnya yang benar itu berlawanan dengan yang batil. Ataukah yang kau anut sekian lama itu dulu yang batil?” Maka Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Yang dulu itu adalah benar, demikian pula yang sekarang. Allah telah berfirman:

(قُلْ للهِ المَشْرِقُ وَ المَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ)

Katakanlah, kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat; Dia memimpin siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus”. (2: 142).

Bila Dia mengetahui bahwa yang baik bagi kamu adalah menghadap ke Timur atau ke Barat, Dia akan perintahkan hal itu. Dan jika Dia Mengetahui yang baik bagi dirimu adalah tidak menghadap ke Timur atau ke Barat, tentu Dia tidak akan memerintahkan hal itu juga. Janganlah engkau mencoba menentang perintah dan maksud-Nya demi kemaslahatan dirimu sendiri”. (174)

Catatan:

  1. 14). Lihatlah dalil-dalil kedua belah pihak mengenai naskh dan tidaknya dalam Kitab Talkhīs-ul-Muḥashshal karangan ath-Thūsī, hlm. 364-367, dan Kitab Anwār-ul-Malakūti fī Syarḥ-il-Yaqūti wal-Matn karangan Abū Isḥāq Ibrāhīm bin Nubīkht, salah seorang ulama Imāmiyyah, dan syarḥ-nya, karangan al-‘Allāmah al-Ḥillī; serta buku Irsyād-uth-Thālibīn, hlm. 317-321, dan buku Kasyf-ul-Murīd cetakan Shaydān, hlm. 223-224.
  2. 15). Pengarang tafsir al-Kasysyāf mengatakan, sebenarnya ‘Abdullāh bin Thāhir memanggil al-Ḥusain bin al-Fadhl, ia mengata padanya: “Saya disibukkan oleh tiga ayat, lalu saya memanggil anda untuk memecahkannya.” Lalu ia menyebutkan firman Allah s.w.t. yang artinya “setiap hari Ia ada dalam kesibukkan.” Benarkah bahwa “pena” takdir telah mengering untuk menuliskan kejadian dan peristiwa di alam ini sampai hari kiamat? tanyanya. Al-Ḥusain menjawab: “Adapun firman-Nya: “Setiap hari Dia selalu ada dalam kesibukkan” adalah kesibukan-kesibukan yang ditampakkan-Nya, bukan kesibukan-kesibukan yang baru akan dimulai-Nya.” Pengertian seperti inilah yang nantinya memberi jalan merasuknya konsep orang Yahudi kepada sebagian kaum Muslim. Tidak syak lagi, apa yang disebutkan oleh al-Ḥusain itu tidak benar. Sebab Allah s.w.t. selalu ada dalam kesibukan tiap hari, menciptakan sesuatu, dan memulainya, bukannya Dia memunculkan segala yang ada ini setelah Dia memulainya di zaman azali. Ucapan Amīr-ul-Mu’minīn, ‘Alī bin Abī Thālib, mempertegas pengertian di atas, yakni “Segala puji bagi Allah s.w.t.,Yang tidak mati dan tidak habis-habis segala keajaiban keluar dari diri-Nya, karena Dia tiap hari dalam kesibukan, menciptakan sesuatu yang bagus, yang sebelumnya tidak ada.” Jelaslah bahwa Allah menciptakan manusia dan apa yang dikehendaki-Nya setiap saat.)
  3. 16). Sebagian besar ahli tafsir menafsirkan ayat tersebut selalu dihubungkan dengan syariat Islam, dan bahwasanya Allah s.w.t. berfirman: Apa saja yang Kami naskh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya. Mereka menafsirkan naskh ayat itu dengan naskh hukum ayat. Kata nunsihā dalam ayat itu ditafsirkan dengan hilangnya ayat itu dari ingatan Nabi s.a.w. Kemudian mereka memukul sana-sini sekenanya, berusaha membuat orang-orang supaya terarah pada kelupaan, tanpa mengaitkannya dengan firman Allah s.w.t.: “Kami akan membacakan (al-Qur’ān) kepadamu (Muḥammad) sehingga kamu tidak lupa.” (QS. 87: 6). Perbuatan yang sia-sia itu timbul dari ketidaktahuan mereka tentang tujuan ayat tersebut. Yang benar adalah, bahwa syariat-syariat samawi dulu di-naskh dengan syariat Islam. Yang dimaksud lupa di dalam ayat itu adalah melupakan kitab-kitab syariat itu. Syariat-syariat yang diubah dan diganti harus dilupakan seluruhnya. Penisbatan “lupa” bagi Allah adalah kiasan, seperti halnya penisbatan “penyesatan” yang dilakukan oleh-Nya terhadap orang-orang yang congkak dan menyombongkan keturunannya sehingga mereka tidak lagi halus dan keluar dari rahmat-Nya. (Untuk lebih memperluas, lihatlah buku Ālā’-ur-Raḥmān, jilid 1, hlm. 104).
  4. 17). Biḥār-ul-Anwār, jilid IV, hlm. 105-106, bab al-Badā’.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *