001-1-4 Kemungkinan Terjadinya Naskh – Memilih Takdir Allah (2/2)

HU.

Diterjemahkan dari buku aslinya:

AL-BADĀ’U FĪ DHAU’-IL-KITĀBI WAS-SUNNAH.
(Memilih Takdir Allah menurut al-Qur’ān dan Sunnah).

Oleh: Syaikh Ja‘far Subhani

Penerjemah: Bahruddin Fannani dan Agus Effendi
Penerbit: PUSTAKA HIDAYAH

Rangkaian Pos: 4. Kemungkinan Terjadinya Naskh dan Bantahan terhadap Anggapan Orang Yahudi

Allah juga memberikan jawaban kepada mereka tentang kemungkinan terjadinya naskh dalam takwīn pada ayat berikut ini:

(أَ لَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَ الأَرضِ وَ مَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَ لا نَصِيرٍ)

Tidakkah engkau tahu bahawasanya Allah-lah yang memiliki kerajaan langit dan bumi, dan kamu tidak mempunyai pengawal dan penolong selain Allah”. (2: 107).

Ayat tersebut menunjukkan bahwa kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah; Dia memiliki kebebasan untuk berbuat apa saja yang Dia kehendaki. Selain Allah, tidak ada yang memiliki sedikit pun kekuasaan untuk mencegah kehendak Allah s.w.t. atau menolak salah satu kehendak Allah. Tidak ada sesuatu yang memiliki sedikit pun kesamaan dalam kerajaan Allah. Maka Dia bebas berbuat apa saja kepadamu dan yang berkenaan dengan dirimu.

Dia menegaskan dalam berbagai ayat, bahawasanya Dia belum selesai mengadakan dan menciptakan. Setiap hari Ia sibuk, sebagaimana firman-Nya:

(يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَ يُثْبِتُ وَ عِنْدَهُ أُمُّ الكِتَابِ)

Allah Menghapus apa yang Dia kehendaki, dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki) karena pada sisi-Nya ada Umm-ul-Kitāb. (13: 39).

Atas dasar dalil-dalil tersebut, nyatalah bahwa Allah s.w.t. senantiasa terbuka untuk mengadakan pengubahan dalam masalah takwīn (penetapan hukum alam) ataupun tasyrī‘ (penetapan hukum agama). Dia sangat bebas untuk menyegerakan dan menangguhkan apa pun yang Dia kehendaki, menetapkan dan menghapus apa yang Dia maui; tak seorang pun dapat menghalangi-Nya. Apa yang dikhayalkan dan dipercayai oleh orang Yahudi bahwa “tugas” Allah menciptakan dan mengadakan sesuatu sudah selesai, kedua tangan-Nya terikat tiada daya, adalah suatu hal yang tidak dapat dibenarkan menurut pembuktian-pembuktian filsafat, dalil-dalil al-Qur’ān dan hadits-hadits yang shaḥīḥ.

Inilah penjelasan al-Qur’ān tentang kebeadaan-Nya:

(كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ)

Setiap waktu Dia dalam kesibukan. (55: 29).

 

Firman-Nya yang lain:

(أَ لا لَهُ الخَلْقُ وَ الأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ العَالَمِينَ)

Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah, Maha Ssuci Allah, Tuhan semesta alam. (7: 54).

Ayat tersebut sifatnya umum,tidak terikat dengan suatu masa, kapan pun.

Untuk itu, dalam berbagai ayat Allah menisbatkan kepada diri-Nya sendiri setiap berbicara tentang penciptaan dan pengadaan. Diterangkan-Nya dengan memakai kata yang menunjukkan perbuatan yang dilakukan pada waktu yang akan datang (future tense) yang menunjukkan perbuatan yang senantiasa berlangsung, serta menunjukkan adanya pelimpahan, penciptaan, pengadaan, pengaturan yang senantiasa berlansung.

Allah s.w.t. berfirman:

(أَ لَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يُزْجِي سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلاَلِهِ وَ يُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ فَيُصِيبُ بِهِ فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَ يُصَرِّفُهُ عَنْ مَنْ يَشَاءُ )

Tidakkah kamu melihat bahwa Allah menggiring (drive, herd) awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian) nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih (all over each other, on top of each other), maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya; dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (iaitu) dari (gumpalan-gumpalan) awan seperti gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dihindarkan-Nya dari siapa saja yang dikehendaki-Nya…” (24: 43).

Berbagai macam perbuatan Allah yang tersebut dalam ayat di atas, iaitu “menggiring”, “mengumpulkan”, “menjadikan bertindih-tindih”, “mengeluarkan kemudian menurunkan”, menunjukkan bahwa keadaan-Nya selalu dalam kesibukan: mencipta, mengadakan dan bertindak terus-menerus tiada henti, tidak seperti yang diduga oleh orang Yahudi.

Meskipun ditegaskan oleh-Nya bahwa di alam ini ada hukum kausalitas (sebab-akibat), namun Dia juga menjelaskan bahwa para pemberi syafa‘at dengan sebab-sebab alam (natural) – memiliki pengaruh yang akan terlaksana sesuai keinginan-Nya, seperti dinyatakan-Nya:

(ثُمَّ اسْتَوَى عَلى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الأَمْرَ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلاَّ مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ)

kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang akan memberi syafa‘at kecuali sesudah ada idzin-Nya.” (10: 3).

Yang dimaksud dengan orang yang akan memberi syafa‘at adalah seorang “perantara” yang memiliki pengaruh pada hukum kausalitas, atau dengan kata lain, syafa‘at yang dimilikinya merupakan pasangan, seakan-akan hukum kausalitas dipengaruhi untuk bergabung bersama kehendak dan kemauan Allah s.w.t.

Sebagian ahli tafsir ada pula yang mengemukakan bahwa orang Yahudi tidak memiliki pengaruh pada hukum kausalitas, atau dengan kata lain, syafa‘at yang dimilikinya merupakan pasangan, seakan-akan hukum kausalitas dipengaruhi untuk bergabung bersama kehendak dan kamauan Allah s.w.t.

Sebagian ahli tafsir ada pula yang mengemukakan bahwa orang Yahudi tidak memiliki akidah dalam masalah tasyrī‘ maupun takwīn, ketika menafsir firman-Nya:

(بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ)

tapi kedua tangan Allah terbuka” (5: 64).

Akan tetapi ayat tersebut hanya berhubungan dengan masalah infāq dan membagikan rezeki. Akan lebih jelas lagi bila kita lihat keseluruhan ayat itu. Allah s.w.t. berfirman:

(وَ قَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيدِيهِمْ وَ لُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ وَ لَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ طُغْيَانًا وَ كُفْرًا)

Orang-orang Yahudi mengatakan: Tangan Allah terbelenggu. Sebenarnya tangan merekalah yang terbelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka. Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan al-Qur’ān yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka ...” (5: 64).

Pemakaian kalimat “Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki” mengandung pengertian “infāq”. Sebenarnya ucapan mereka “Tangan Allah terbelenggu” itu adalah hasil proyeksi tangan mereka sendiri yang terbelenggu, enggan mengeluarkan nafkah, bukan yang lain; bukan masalah tasyrī‘ atau takwīn. Hal itu dipertegas oleh ucapan mereka sendiri:

(لَقَدْ سَمِعَ اللهُ قَوْلَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ فَقِيرٌ وَ نَحْنُ أَغْنِيَاءُ)

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan: sesungguhnya Allah miskin dan kamilah yang kaya…” (3: 18).

Meski begitu, boleh juga diterima anggapan bahwa firman Allah “Tangan Allah terbelenggu”, mengisyaratkan kepada totalitas akidah mereka yang umum tentang Allah s.w.t. Sedang firman-Nya “Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki” sebagai jawaban atas sumber tertentu akidah mereka yang umum itu.

Untuk ini, baiklah kita simak bersama penafsiran Imām ash-Shādiq a.s. tentang ayat tersebut, demikian: “Sesungguhnya orang Yahudi mengatakan bahwa Allah sudah menyelesaikan tugas-Nya, Dia tidak akan menambah dan mengurangi. Lalu dijawab oleh Allah s.w.t. dengan menganggap dusta perkataan mereka, dengan firman-Nya:

(غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَ لُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبِسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ)

Sebenarnya tangan merekalah yang terbelenggu, dan merekalah yang dilaknati disebabkan apa yang mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka. Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. (5: 64). (181)

Singkat kata, sesungguhnya ucapan orang Yahudi “Tangan Allah terbelenggu”, Allah tiada daya terhadap apa yang telah Dia tentukan, bertentangan dengan segenap akidah mereka tentang kebenaran Allah. Dan tuduhan bahwa mereka tidak mampu mengeluarkan infaq itu karena adanya penambahan qadhā’ dan qadar, dijawab oleh Allah melalui firman-Nya: “Tangan mereka terbelenggu” Kedua, firman-Nya:

(بَلْ يَدَاهُ مَبِسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ)

Tapi kedua tangan Allah terbuka. Dia menafkahkan apa yang Dia kehendak.” (5: 64).

 

Catatan:


  1. 18). At-Tawḥīd ash-Shadūq, hlm. 167, bab 25.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *