001-1-2 Kutipan Pendapat Para Ulama Ahl-ul-Bayt – Memilih Takdir Allah

HU.

Diterjemahkan dari buku aslinya:

AL-BADĀ’U FĪ DHAU’-IL-KITĀBI WAS-SUNNAH.
(Memilih Takdir Allah menurut al-Qur’ān dan Sunnah).

Oleh: Syaikh Ja‘far Subhani

Penerjemah: Bahruddin Fannani dan Agus Effendi
Penerbit: PUSTAKA HIDAYAH

Rangkaian Pos: 001 Definisi al-Bada' - Memilih Takdir Allah

2. Kutipan Pendapat Para Ulama Ahlul-Bayt.

Para ulama Ahl-ul-Bayt—termasuk tokoh-tokoh mereka terdahulu—sepakat bahwa Allah s.w.t. mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Bagi-Nya, tiada sesuatu pun yang tersembunyi, baik di bumi maupun di langit, sebagaimana firman-Nya:

(إِنَّ اللهَ لا يَخفَى عَلَيهِ شَيءٌ فِي الأَرضِ وَ لا فِي السَّمَاءِ)

Sesungguhnya Allah, tiada tersembunyi bagi-Nya apa yang ada di bumi maupun di langit.” (3: 5).

Dan Allah s.w.t. berfirman:

(وَ مَا يَخفَى عَلى اللهِ مِن شَيءٍ فِي الأَرضِ وَلا فِي السَّمَاءِ)

“….Dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.” (14: 38).

Allah s.w.t. juga berfirman:

(إِنَّ تُبدُوا شَيئًا أَو تُخفُوهُ فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِكُلِّ شَيءٍ عَلِيمًا)

Jika kamu menampakkan sesuatu, atau menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (33: 54).

Banyak ayat lain yang menerangkan keluasan ilmu Allah, dan tak ada sedikit pun keraguan dalam akidah para Imām terhadap ayat-ayat itu.

Amīr-ul-Mu’minīn, ‘Alī a.s. berkata tentang hal ini: “Bagi-Mu segala rahasia terungkap, bagi-Mu segala yang ghaib itu nyata.” (31)

Beliau juga berkata: “Tak ada setetes air pun yang terlepas dari jagkauan-Nya, begitu pula bintang-bintang di langit, hembusan angin di udara, kumpulan semut di batu cadas, butir-butir biji sawi di malam yang gulita. Dia mengetahui daun-daun yang gugur, serta gemercik ombak di lautan.” (42)

Imām al-Bāqir a.s. berkata: “Sesungguhnya Allah itu Cahaya, tiada kegelapan di dalam-Nya. Allah itu pandai, tiada kebodohan bagi-Nya. Ia hidup dan tidak berakhir.” (53)

Beliau a.s. juga mengatakan: “Allah selalu tahu apa-apa yang telah Dia ciptakan. Pengetahuan-Nya sebelum menciptakan sesuatu sama dengan setelah itu Dia ciptakan.” (64)

Imām ash-Shādiq a.s. berkata: “Sesungguhnya Allah itu Ilmu, tiada kebodohan bagi-Nya, hidup dan tidak mati, Cahaya dan tidak gelap.” (75)

Imām al-Kāzim a.s. berkata: “Allah senantiasa tahu segala sesuatu yang belum Dia ciptakan, sebagaimana Dia tahu segala sesuatu yang telah Dia ciptakan.” (86)

Imām Abul-Ḥasan ar-Ridhā a.s. berkata: “Kami meriwayatkan bahwa Allah Maha Tahu dan tidak bodoh, hidup dan tidak mati, terang dan tidak gelap. (Selanjutnya beliau berkata): seperti itulah Dia.” (97)

Imām ash-Shādiq a.s. dalam menafsirkan firman Allah s.w.t., surat ar-Ra‘d ayat 39,

(يَمحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَ يُثبِتُ وَ عِندَهُ أُمُّ الكِتَابِ)

Allah menghapuskan apa yang dikehendaki-Nya, dan menetapkan (apa yang dikehendaki-Nya), dan di sisi-Nya terdapat Umm-ul-Kitāb,”(13: 39) mengatakan: “Setiap perkara yang diinginkan oleh Allah itu pasti Ia ketahui sebelum Ia berbuat; tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya tanpa sepengetahuan-Nya; sesungguhnya segala sesuatu pasti Dia ketahui.” (108)

Selanjutnya beliau juga berkata: “Barang siapa beranggapan bahwa sesuatu itu muncul bagi Allah dalam keadaan Dia tidak mengetahui sebelumnya, hendaknya ia segera membersihkan diri, memohon ampun kepada-Nya.” (119)

Begitu banyak penjelasan itu dari para Imām. Lalu, bagaimana mungkin segala kekurangan, cacat, kebodohan dan kelemahan dinisbatkan kepada golongan yang lebih banyak berupaya menyucikan Allah dari segala kekurangan dan noda daripada golongan-golongan dan madzhab-madzhab lain yang mengatakan bahwa al-Badā’ itu semestinya berarti “muncul setelah tiada, pengetahuan setelah ketidaktahuan?”

Lalu, apakah juga mungkin hal-hal tersebut dinisbatkan kepada Imām ash-Shādiq a.s. yang menafsirkan ayat di atas, yang sempat kita kutip tadi, bahwa apa yang beliau katakan sebenarnya bertentangan dan bertolak-belakang dengan apa yang beliau tafsirkan? Ini bila ditinjau dari satu sisi.

Di sisi lain, kita juga dapat menemukan para Imām Ahl-ul-Bait mengatakan: “Tidak ada persembahan bagi Allah yang setara dengan al-Badā’.”

Mereka juga berkata: “Tiada pengagungan bagi Allah yang setara dengan al-Badā’.”

Dikatakan pula: “Allah tidak mengutus seorang Nabi, kecuali untuk menetapkan tiga hal: ikrar beribadah tanpa menyekutukan Tuhan, Allah menyegerakan dan menangguhkan segala yang Dia kehendaki.”

Dalam riwayat lain mereka berkata: “Tiada seorang Nabi pun diangkat sebelum Allah menetapkam lima hal: al-Badā’ dan kehendak…….

Dalam riwayat yang lain dikatakan pula: “Allah tidak mengutus seorang Nabi pun kecuali untuk mengharamkan dan untuk meyakini adanya akidah al-Badā’.”

Mereka juga mengatakan: “Sekiranya manusia mengetahui pahala dalam al-Badā’ ini, niscaya mereka tidak akan mendustakannya.” (1210)

Lalu, bagaimana mungkin penisbatan semacam itu ditimpakan kepada seorang yang berakal, apalagi kepada para Imam umat yang jujur, banyak ilmu, luas wawasannya, dengan mengatakan bahwa mereka beranggapan bahwa Allah tidak disembah dan diagungkan melainkan disertai dengan keyakinan bahwa realitas baru muncul bagi-Nya setelah tiada, mengetahui setelah tidak tahu? Padahal perkataan terakhir itu mengandung pengertian bahwa Dia lemah, memiliki tandingan dalam penciptaan alam ini.

Semua itu menegaskan bahwa maksud al-Badā’; menurut mereka, berbeda dengan yang dipahami oleh mereka yang tidak setuju di zaman para Imām dan setelahnya, baik pemakaian kata al-Badā’ tadi dalam arti sesungguhnya atau dalam arti kiasan dan kata jadian. Atau, bahkan berbeda dengan itu semua, yakni ketika kata itu dipakai untuk menerangkan hakikat Allah s.w.t. Penjelasan lebih lanjut akan anda jumpai.

Itulah keterangan tentang al-Badā’ menurut al-Qur’ān dan as-Sunnah.

Banyak sekali penjelasan dan dalil rasional bahwa ilmu Allah s.w.t. adalah Dzāt-Nya sendiri, bukan kelebihan yang Dia miliki. Dialah keseluruhan Pengetahuan yang tidak mengandung kebodohan, Mahakuasa yang tidak lemah. Hal itu didukung oleh pembuktian filsafat dan Ilmu Kalām.

Dengan demikian, penafsiran al-Badā’ menurut Imām dan ‘Ulamā’ mereka, dengan pengertian yang tidak benar, tidak pantas dinisbatkan kepada orang awam, apalagi kepada para Imām dan ‘Ulamā’. Sebab penafsiran itu jauh dari benar. (13[^11)

 

Catatan:


  1. 3). Nahj-ul-Balāghah, khutbah nomor 109. 
  2. 4). Ibid., khutbah nomor 173. 
  3. 5). Biḥār-ul-Anwār, jilid IV, hlm. 86, bab al-Badā’, hadits nomor 18. 
  4. 6). Ibid., hadits nomor 25. 
  5. 7). Ibid., hlm. 84 hadits nomor 16. 
  6. 8). Al-Kāfī, jilid I, bab “Sifat Dzat”. 
  7. 9). Biḥār-ul-Anwār, jilid IV, hlm. 84, hadits nomor 17. 
  8. 10). Ibid., jilid IV, hlm. 121, hadits nomor 63. 
  9. 11). Ibid., jilid IV, hlm. 111, hadits nomor 30. 
  10. 12). Untuk mengetahui hadits-hadits ini, lihatlah kembali Biḥār-ul-Anwār, hadits-hadits nomor 19, 20, 21, 23, 24, 25, dan 26, hlm. 107-108, bab al-Badā’

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *