001-1-1 Penafsiran Kata al-Bada’ – Memilih Takdir Allah

HU.

Diterjemahkan dari buku aslinya:

AL-BADĀ’U FĪ DHAU’-IL-KITĀBI WAS-SUNNAH.
(Memilih Takdir Allah menurut al-Qur’ān dan Sunnah).

Oleh: Syaikh Ja‘far Subhani

Penerjemah: Bahruddin Fannani dan Agus Effendi
Penerbit: PUSTAKA HIDAYAH

Rangkaian Pos: 001 Definisi al-Bada' - Memilih Takdir Allah

1. Penafsiran Kata al-Badā’.

Dari segi bahasa, al-Badā’ berarti “muncul”; sesuatu yang sebelumnya tidak tampak. Ar-Rāghib menjelaskan arti kata ini: “Sesuatu yang muncul dengan jelas, atau sesuatu yang tampak dengan jelas sekali.” Allah s.w.t. berfirman:

(وَ بَدَا لَهُم مِنَ اللهِ مَا لَم يَكُونُوا يَحتَسِبُونَ وَ بَدَا لَهُم سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا)

Dan muncullah bagi mereka dari Allah apa-apa yang tidak mereka sangka sebelumnya, dan muncullah bagi mereka kejelekan dari apa-apa yang mereka kerjakan.” (39: 47,48).

Atas dasar ini, kata al-Badā’ tidak digunakan dalam percakapan sehari-hari, kecuali bila muncul pandangan baru, yang sebelumnya tidak ada, sebagai ganti ungkapan tentang “sesuatu yang akan dikerjakan”, dengan konsekuensi mengubah pandangan dan pengertian yang selama ini berlaku. Dan boleh jadi, setelah itu ia meninggikan pekerjaan yang tadi hendak ia kerjakan. Atau, sebaliknya, hal itu terjadi karena ketidaktahuan tentang baik dan buruk.

Inilah arti al-Badā’ menurut bahasa maupun tradisi. Dan perlu diketahui bahwa kata al-Badā’ dengan arti di atas, tidak mungkin dinisbatkan kepada Allah s.w.t., karena hal itu mengandung pengertian bahwa Allah baru tahu tentang apa yang akan terjadi, dan tidak tahu jauh sebelum itu. Ini adalah yang mustahil. Saya tidak mengira bahwa seorang Muslim, yang memahami isi al-Qur’ān dan as-Sunnah, serta menguasai pembahasan-pembahasan filsafat dan Ilmu Kalām, tetap menggunakan kata al-Badā’ dalam arti tersebut untuk Allah s.w.t.

Oleh karena itu, harus dicarikan arti lain dari al-Badā’, baik arti yang sebenarnya maupun arti kiasan. Sebab pembahasan sekitar masalah ini bukan terletak pada tepat atau tidaknya pemakaian kata tersebut, melainkan pada makna dan hakikatnya. (21)

Catatan:


  1. 2). Biḥār-ul-Anwār, jilid IV, hlm. 123. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *