KITĀB-UTH-THAHĀRAH
Ketahuilah bahwa yang dimaksudkan dengan kitab menurut bahasa ialah “himpunan” (jam‘un). Dan menurut istilah ialah:
اِسْمُ الْجُمْلَةِ مَخْصُوْصَةٌ مِنَ الْعِلْمِ مُشْتَمِلَةٌ عَلَى أَبْوَابٍ وَ فُصُوْلٍ غَالِبًا.
Artinya: “Nama bagi kumpulan dari ilmu pengetahuan yang kebiasaannya terdiri dari beberapa bab dan pasal.”
Sedang kata thahārah menurut bahasa ialah:
ِالنِّظَافَةُ وَ الْخُلُوْصُ مِنَ الْأَدْنَاس.
Artinya: “Suci dan bersih dari segala macam noda.”
Baik noda yang ḥissī yakni yang dapat dicapai oleh indra maupun yang maknawi yakni yang tidak dapat dicapai oleh indra seperti kekurangan. Dan thahārah menurut syara‘, para ulama berbeda-beda memberikan definisinya. Ibnu Ḥajar dalam kitabnya yang bernama “Tuḥfah” dan Syaikh Ramlī dalam kitabnya yang bernama “Nihāyah” menerangkan bahwa thahārah menurut syara‘ mempunyai dua arti. Arti yang pertama:
زَوَالُ الْمَنْعِ النَّاشِئِ مِنَ الْحَدَثِ و النَّجِسِ.
Artinya: “Hilangnya penghalang yang disebabkan oleh hadats dan najis.”
Dan arti kedua ialah:
الْفِعْلُ الْمَوْضُوْعُ لِإِفَادَةِ ذلِكَ أَوْ بَعْضِ آثَارِهِ.
Artinya: “Perbuatan yang dilakukan untuk memberi faedah menghilangkan penghalang atau sebagian dari akibatnya (pengaruhnya).”
Karena itu, Imām Nawawī memberikan definisi thahārah sesuai dengan arti yang kedua ini, katanya:
إِنَّهَا رَفْعُ حَدَثٍ أَوْ إِزَالَةُ نَجَسٍ أَوْ مَا فِيْ مَعْنَاهَا أَوْ عَلَى صُوْرَتِهِ.
Artinya: “Thahārah itu ialah mengangkat hadats atau menghilangkan najis atau yang semakna dengan keduanya atau yang serupa dengan keduanya.”
‘Alī Syabramilsī berkata: “Yang dimaksudkan dengan yang semakna dengan mengangkat hadats seperti tayammum dan yang semakna dengan menghilangkan najis seperti menyamak kulit bangkai dan perubahan tuak menjadi cuka tanpa melalui usaha manusia. Dan yang diserupakan dengan mengangkat hadats seperti semua macam mandi sunat, memperbaiki wudhu’, basuhan yang kedua dan yang ketiga, baik dalam wudhu’ maupun dalam mandi. Yang diserupakan dengan menghilangkan najis yaitu sesudah basuhan pertama dari membasuh tempat najis selain dari najis mughallazhah.
Syaikh Ramlī dalam kitabnya yang bernama “Nihāyah” membagi thahārah menjadi dua macam; pertama thahārah ‘ainiyyah dan kedua thahārah ḥukmiyyah. Thahārah ‘ainiyyah ialah wajib membasuh dengan tidak melampaui tempat yang wajib dibasuh seperti najis dan thahārah ḥukmiyyah ialah wajib membasuh melampaui dari tempat yang wajib dibasuh seperti wudhu’.
Kemudian thahārah ini ada mempunyai empat wasā’il (alat) dan empat maqāshid (perubahan). Empat alat ini ialah (1) air, (2) najis, (3) ijitihad dan (4) tempat air (tempayan air). Dan di dalam kitab “Khasiyah Barmawi” diterangkan alat thahārah yang empat ialah (1) air, (2) tanah, (3) batu dan (4) najis. Tempat air dan ijtihad tidak termasuk alat thahārah tetapi hanya alat dari alat thahārah saja. Maqāshid thahārah yang empat ialah (1) wudhu’, (2) mandi, (3) tayammun, dan (4) menghilangkan najis.
Ketahuilah bahwa hukum syara‘ itu terdiri dari empat macam: ‘ibādah, mu‘āmalah (perdata), munākaḥāt (perkawinan) dan jināyāt (pidana). Karena itu sudah menjadi kebiasaan Imām Syāfi‘ī membagi materi fikih menjadi empat bagian juga. Bagian pertama Kitab ‘Ibādah, bagian kedua Kitab Mu‘āmalah, bagian ketiga Kitab Munākaḥāt dan bagian keempat Kitab Jināyāt. Pembagian ini disesuaikan dengan empat kekuatan yang ada pada setiap manusia. Pertama Quwwat-un-Nāthiqah yaitu kekuatan tanggap (idrāk) dan akal. Kedua, Quwwat-usy-Syahwiyyat-il-Bāthiniyyah yaitu keinginan perlu untuk makan dan minum. Ketiga, Quwwat-usy-Syahwiyyat-il-Farjiyyah yaitu kekuatan keinginan kelamin untuk bersenggama. Keempat, Quwwat-ul-Ghadhabiyyah yakni kekuatan marah (emosi) yang menyebabkan terjadi permusuhan dan pembunuhan.
Demikianlah Allah mengutus Nabi dan Rasūl kepada umat manusia untuk memperbaiki kehidupan dunia dan akhiratnya dan kebaikan ini baru diperoleh apabila keempat kekuatan yang ada pada manusia itu dapat dikendalikan. Dengan petunjuk Allah dan karunia-Nya manusia dapat mengendalikan segala kekuatan yang ada padanya. ‘Ibādah untuk mengendalikan Quwwat-un-Nāthiqah, mu‘āmalah untuk mengendalikan Quwwat-usy-Syahwatiyyah Bāthiniyyah, munākaḥāt untuk mengendalikan Syahwat-ul-Farjiyyah dan jināyāt untuk mengendalikan Quwwat-ul-Ghadhabiyyah. Karena itu yang dibahas dalam ilmu fikih yang berhubungan dengan pengendalian Quwwat-un-Nāthiqah dinamakan ‘ibādah, yang berhubungan dengan pengendalian Quwwat-usy-Syahwatiyyah dinamakan mu‘āmalah, yang berhubungan dengan pengendalian Quwwat-ul-Farjiyyah dinamakan munākaḥāt dan yang berhubungan dengan pengendalian Quwwat-ul-Ghadhabiyyah dinamakan jināyāt.
Imām Syāfi‘ī mendahulukan pembahasan tentang ‘ibādah karena mengingat pentingnya hubungan dengan Allah, kemudian diiringi dengan mu‘āmalah karena sangat diperlukan manusia, kemudian bagian mu‘āmalah diiringi lagi dengan bagian munākaḥāt, karena kepentingannya kurang dari yang terdahulu. Bagian munākaḥat diiringi dengan bagian jināyāt karena masalah jināyāt sedikit terjadi kalau dibandingkan dengan yang terdahulu.
Dalam bagian ibadah, Kitāb-ush-Shalāt dibicarakan lebih dahulu, baru Kitāb-uz-Zakāt, Kitāb-ush-Shaum dan Kitāb-ul-Ḥajj. Karena disesuaikan dengan urutan yang tercantum dalam hadits yang shaḥīḥ dan masyhur yang berbunyi:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ.
Artinya: “Islam itu dibangun atas lima perkara.”
(HR. Aḥmad, Bukhārī, Muslim, Tirmidzī dan Nasā’ī dari Ibnu ‘Umar)
Uraian mengenai dua kalimah syahadat ditinggalkan karena akan dibicarakan pada kitab tersendiri. Dalam uraian mengenai Kitāb-ush-Shalāt dimulai dengan uraian mengenai thahārah, karena mengingat hadits yang berbunyi:
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطَّهُوْرُ.
Artinya: “Kunci shalat itu adalah thahārah.”
(HR. Ḥākim dan Ibnu Mājah dari ‘Alī bin Abī Thālib).
Dan lagi thahārah merupakan salah satu syarat shalat dan syarat itu didahulukan dari masyrūth (shalat) dari segi tingkatannya maka seyogyanya didahulukan pula uraiannya dari shalat dan urutannya. Dalam uraian mengenai wasīlah thahārah yang empat perkara; kami mulai dengan membicarakan air karena air adalah alat yang pertama dalam bersuci. Dalam uraian mengenai air karena ayat al-Qur’ān menyatakan air yang bersih dapat dipergunakan untuk bersuci dengan bahasa lain dinamakan air yang mutlak dan juga karena mengambil berkah atau karena dalil yang akan dikemukakan. Tidaklah mengapa dalil didahulukan dari madlūl kalau dalil itu bersifat umum, kedudukannya lebih didahulukan seperti yang dikemukakan. Demikianlah disebutkan dalam kitab “Tuḥfah” dan “Nihāyah”. Justru itu, ayat yang menjadi dalil didahulukan karena mengambil berkahnya dan sekaligus menjadi dalil uraian yang akan datang. Allah berfirman:
وَ أَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُوْرًا.
Artinya: “Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (al-Furqān: 48).
Ketahuilah bahwa air itu terbagi kepada empat macam: (1) air mutlak yang tidak makruh memakainya, (2) air mutlak yang makruh memakainya, (3) air musta‘mal dan (4) air mutanajis.