001-0 Definisi al-Bada’ – Memilih Takdir Allah

HU.

Diterjemahkan dari buku aslinya:

AL-BADĀ’U FĪ DHAU’-IL-KITĀBI WAS-SUNNAH.
(Memilih Takdir Allah menurut al-Qur’ān dan Sunnah).

Oleh: Syaikh Ja‘far Subhani

Penerjemah: Bahruddin Fannani dan Agus Effendi
Penerbit: PUSTAKA HIDAYAH

Rangkaian Pos: 001 Definisi al-Bada' - Memilih Takdir Allah

BAGIAN PERTAMA:

DEFINISI AL-BADĀ’

 

BAB 1

PERBEDAAN SEMANTIK (MAKNA KATA)TENTANG AL-BADĀ’.

Bila orang membicarakan masalah al-Badā’ dalam suasana tenang, terlepas dari emosi dan kefanatikan, maka mereka akan mengetahui adanya “kesatuan akidah” dalam masalah tersebut. Dan tentu mereka pun akan tahu bahwa perbedaan pendapat yang ada hanyalah perbedaan semantik belaka, bukan dalam hal isi dan hakikat al-Badā’.

Syaikh Al-Mufīd (338-413), telah menunjukkan hakikat al-Badā’ ini. Sesungguhnya perbedaan yang terjadi antara golongan yang meyakini kebenaran al-Badā’ dan yang tidak meyakininya, hanya merupakan perbedaan semantik, bukan dalam hal esensi dan hakikatnya. Dalam hal ini ia mengatakan: “Sesungguhnya kata al-Badā’ pada mulanya merupakan salah satu kata samā‘ī yang timbul dan dipakai dalam komunikasi antara manusia dan Allah s.w.t. Selama belum ada kata yang lebih tepat untuk mengungkap maknanya, kata tersebut masih relevan untuk dipergunakan. Seperti halnya pemakaian kata-kata “marah”, “senang”, “cinta”, “heran” dan lain sebagainya yang dinisbatkan kepada Allah s.w.t. Namun, seringkali kata samā‘ī itu dipakai untuk mengungkapkan konsep dan hakikat sesuatu, yang juga tidak ditolak oleh akal. Dengan demikian, sebenarnya tidak terdapat perbedaan pendapat antara kami dengan semua orang Islam. Kalau pun ada, itu hanya perbedaan semantik belaka, bukan yang lain.: (11)

Untuk itu, kita akan merujuk kepada para ahli yang tidak bosan-bosannya menerangkan masalah ini, agar semua permasalahan yang menyangkut al-Badā’ ini menjadi jelas. Dan agar semuanya tahu bahwa pertentangan dalam masalah ini, sekali lagi, hanyalah perbedaan semantik, bukan pada masalah isi dan hakikatnya. Supaya jelas, berikut ini akan kami kemukakan tujuh hal penting.

 

Catatan:


  1. 1). Awā’il-ul-Maqālāt, hlm. 92-93. Saya masih teringat ketika saya menghadiri pertemuan dengan para ulama, ketika itu salah seorang ulama Ahl-us-Sunnah mendekati saya dan menanyakan hakikat al-Badā’. Lalu saya menjelaskan inti masalahnya. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap penjelasan yang saya sampaikan, kemudian ia berkata sebagai berikut: Kalau al-Badā’ diartikan begitu, maka seperti itu pula yang diyakini oleh Ahl-us-Sunnah seluruhnya. Hanya saja, selama ini, saya mendengar bahwa anda tidak memahami al-Badā’ seperti itu, tetapi mendefinisikan dengan makna lain yang mengandung anggapan bahwa Allah, muncul realitas yang yang tidak mengerti, sehingga bisa terjadi sebelumnya tidak tampak. Selanjutnya ia mengatakan: “Seandainya anda sudi memberikan buku karangan pendahulu Syī‘ah yang membahas konsep al-Badā’ seperti yang anda jelaskan, baru saya dapat mempercayai pembicaraan anda dan saya akan percaya adanya konsep al-Badā’.” Beberapa lama kemudian saya datang kepadanya dengan membawa buku Awā’il-ul-Maqālāt dan buku Syarḥu Aqā’id-ish-Shadūq karangan al-‘Allāmah Syaikh al-Mufīd. Kemudian ia membawa buku-buku itu ke rumahnya; ia menelaahnya dan membolak-balik halaman demi halaman. Beberapa hari kemudian, ia datang kepada saya seraya mengatakan: “Kalau konsep al-Badā’ diartikan seperti yang dijelaskan oleh ulama Syī‘ah, Syaikh al-Mufīd, maka Ahl-us-Sunnah pun sangat sepakat dengannya dalam konsep ini, yang menjadi bagian dari Islam yang selayaknya dijalankan di muka bumi.” 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *