MUKADIMAH
Suatu Hari, Abu Bakar meminta Rasulullah secara mendesak agar mau menemani keluar dari rumah al-Arqam menuju Masjid-il-Haram. Namun, Rasulullah melihat, jumlah orang-orang Islam masih sedikit. Tidak akan mampu berhadapan dengan orang-orang musyrik. Rasulullah kemudian mengajak orang-orang Islam dan memerintahkan mereka agar menempati setiap sudut Masjid-il-Haram bersama keluarga masing-masing agar ada yang melindungi.
Abu Bakar lalu berdiri, menyeru kepada seluruh Masjid-il-Haram agar mempercayai Allah. Sementara Rasulullah duduk, mengamati:
Penduduk Makkah terperangah melihat tindakan Abu Bakar. Mereka memandang khutbahnya sebagai tantangan terbuka. Mereka benar-benar tersulut kemarahan. Kemudian, dengan beringas, mereka menyerang Abu Bakar dan muslim lainnya yang ada di setiap sudut Masjid-il-Haram.
Mereka mengeroyok Abu Bakar. Memukul dan menginjak-injak. ‘Utbah ibn Rabi‘ah memukul wajah Abu Bakar dengan sandal hingga lebam, sampai-sampai antara hidung dan luka lebam tak ada bedanya.
Aksi pengeroyokan itu sampai ke telinga Bani Taim, kabilah asal Abu Bakar. Mereka segera menuju Masjid-il-Haram untuk menyelamatkan Abu Bakar. Di sana, mereka mengancam: jika Abu Bakar sampai meninggal dunia maka mereka tak segan membunuh ‘Utbah ibn Rabi‘ah sebagai pembalasan.
Abu Bakar terkulai lemah. Tak sadarkan diri. Melihat kondisi menyedihkan itu. Bani Taim menduga jika Abu Bakar akan meninggal dunia. Mereka kemudian membawa Abu Bakar ke rumahnya.
Ayah-ibunya, Abu Quhafah dan Umm-ul-Khair, menyambut histeris kedatangan anak mereka. Seluruh keluarga Abu Bakar bersedih. Tak ada kesedihan yang melebihi saat itu. Mereka berkumpul dan mengusap pelupuk mata Abu Bakar seraya berharap ia tidak meninggal dunia. Mereka mengajak Abu Bakar berbicara, berharap ia mendengar dan membalas ucapan mereka.
Menjelang sore, Abu Bakar baru siuman. Seluruh keluarga bergembira. Namun, kegembiraan mereka hanya sebentar untuk kemudian berganti kaget, saat mereka mendengar kata-kata pertama yang ia ucapkan: Apakah Rasulullah baik-baik saja?
Mereka tidak mau menjawab pertanyaan Abu Bakar. Mereka kemudian meminta Umm-ul-Khair untuk menyuapi makanan kepada anaknya tersebut. Namun, Abu Bakar menolak. Ia tidak mau makan kecuali ibunya mau mengabarkan keadaan Rasulullah.
“Sungguh! Kami tidak tahu keadaan sahabatmu itu!” jawab Umm-ul-Khair.
“Ibu! Tolong, temuilah Ummu Jamil bint al-Khaththab dan tanyakan padanya tentang keadaan Rasulullah.”
Ummu Jamil kemudian datang dan kaget melihat kondisi Abu Bakar.
“Benar-benar bejat orang yang memperlakukanmu seperti ini!” kata Ummu Jamil, “Semoga Allah membalas mereka.”
Abu Bakar hanya mampu membuka mata sedikit. Bicaranya pelan dan lirih.
“Bagaimana keadaan Rasulullah?”
“Ia baik-baik saja. Tidak terluka sedikit pun.”
“Ada di mana ia sekarang?”
“Di rumah al-Arqam.”
Dengan susah payah, Abu Bakar berusaha duduk.
“Aku bersumpah tidak mau makan dan minum kecuali kalian pertemukan aku dengan Rasulullah.”
Umm-ul-Khair dan Ummu Jamil tidak berhasil membujuk Abu Bakar agar ia memperhatikan tubuhnya yang masih lemah. Mereka berdua akhirnya memapah Abu Bakar menemui Rasulullah.
Rasulullah terharu melihat kondisi Abu Bakar. Rasulullah seketika mendekap dan menciumnya.
“Aku tidak apa-apa, Rasulullah”, kata Abu Bakar dengan susah payah. “Hanya saja wajahku agak lebam.”
“Ini ibuku”, kata Abu Bakar, kemudian, seraya memperkenalkan: “orang yang membaktikan diri untuk anaknya. Kau manusia penuh berkah. Doakanlah ibuku agar Allah menyelamatkannya dari neraka.”
Rasulullah pun berdoa. Sementara, Umm-ul-Khair merasakan ada cahaya keimanan yang merasuki hati, melihat persahabatan yang menakjubkan antara anaknya dengan Rasulullah. Mereka tinggal bersama Rasulullah di rumah itu selama sebulan. Semuanya berjumlah 39 orang. Hamzah ibn ‘Abd-ul-Muththalib r.a. masuk Islam di hari ketika Abu Bakar disiksa dan dipukuli oleh kaum musyrik Makkah. (11)
Itulah sekeping gambaran kecintaan Abu Bakar terhadap Rasulullah. Rasulullah pun sangat mencintainya. Diriwayatkan dari ‘Amr ibn al-‘Ash bahwa Nabi s.a.w. mengutusnya untuk memimpin pasukan dalam Perang Dzatu Salasil. Ketika berhadapan dengan Nabi, ‘Amr bertanya kepada beliau: “Siapakah yang paling engkau cintai di antara manusia?”
Rasulullah bersabda: “‘A’isyah.”
Aku berkata: “Yang laki-laki?”
Rasulullah bersabda: “Ayahnya”.
“Lalu siapa lagi?”
“‘Umar ibn al-Khaththab.” (22)
Rasulullah s.a.w. senantiasa menolong dan mendampingi Abu Bakar. Itulah salah satu kemuliaan yang diraih Abu Bakar. Rasulullah akan murka kepada siapa pun yang membuatnya murka. Itu karena Rasulullah mengetahui bahwa Abu Bakar melakukan segala sesuatu bukan untuk kepentingan dirinya. Abu Darda’ menuturkan bahwa ketika ia duduk bersama Nabi, Abu Bakar datang dan kemudian memegang salah satu ujung jubah Nabi hingga lutut beliau terlihat. Nabi bersabda: “Sedangkan mengenai sahabat kalian, sesungguhnya ia telah menyerahkan dirinya.”
Abu Bakar menyalaminya dan berkata: “Rasulullah, aku ada masalah dengan ‘Umar ibn al-Khaththab. Aku menyesal. Aku menemuinya dan memohon agar ia memaafkanku, namun ia enggan. Kini aku berada di sini menghadap kepadamu.”
Rasulullah bersabda: “Abu Bakar, Allah mengampunimu.” Beliau mengucapkan itu sebanyak tiga kali.
Pada saat bersamaan, ‘Umar menyadari kekhilafannya dan merasa menyesal. Ia bergegas ingin menemui Abu Bakar di rumahnya, namun ia tidak ada di sana. Ia langsung pergi ke tempat Rasulullah dan mengucapkan salam kepadanya. ‘Umar tertegun melihat wajah Nabi yang memerah karena marah. Abu Bakar r.a. berusaha menahan amarah Nabi s.a.w. dan memohon belas kasihannya. Lalu ‘Umar duduk, memegang dua lutut Nabi s.a.w., dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah berbuat zalim dua kali.” (33).
Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah mengutusku kepada kalian. Ketika aku menyeru kalian, kalian berkata: “Kau berdusta,” sedangkan Abu Bakar berkata: “Engkau benar.” Dia menolong dan mendampingiku serta mengorbankan jiwa dan hartanya. Jadi, apakah kalian akan meninggalkan sahabatku ini?” Beliau mengucapkannya tiga kali. Setelah peristiwa itu (44) tidak ada lagi yang berani mencela dan menyakiti Abu Bakar. (55).
Suatu ketika, di tengah kumpulan para sahabat, Rasulullah s.a.w. menuturkan sebuah cerita: “Seorang penggembala sedang menggembalakan kambing-kambingnya. Tiba-tiba seekor serigala muncul dan menyeret seekor kambingnya. Si penggembala meminta kepada serigala itu agar mengembalikan kambingnya. Serigala itu berpaling kepada si penggembala dan berkata: “Milik siapakah kambing ini pada suatu hari yang di hari itu tidak ada lagi penggembala selain aku?”
Dan seseorang menggiring kerbau yang membawa barang-barang bawaannya. Si kerbau berkata kepada orang itu: “Aku tidak diciptakan untuk ini. Aku diciptakan untuk membajak ladang.”
Mendengar kisah yang dituturkan oleh Nabi s.a.w., para sahabat berseru takjub: “Maha Suci Allah!”
Nabi s.a.w. bersabda: “Aku, Abu Bakar, dan ‘Umar ibn al-Khaththab mempercayai itu.”
Dalam riwayat lain: “….. Dan keduanya (Abu Bakar dan ‘Umar) akan mempercayainya.” (66).
Dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda: “Dan orang yang mengorbankan sesuatu di jalan Allah akan diseru oleh pintu-pintu (surga): “Wahai hamba Allah, ke sinilah. Ini jalan kebaikan.” Dan orang yang termasuk ahli shalat akan diseru dari pintu shalat, orang yang termasuk ahli jihad akan diseru dari pintu jihad, orang yang termasuk ahli sedekah akan diseru dari pintu sedekah, dan orang yang termasuk ahli puasa akan diseru dari pintu ar-Rayyān.”
Abu Bakar r.a. berkata: “Wahai Rasulullah, apakah yang dapat membuat seseorang dipanggil oleh semua pintu itu?”
Belum lagi dijawab, ia bertanya lagi: “Adakah orang yang diseru oleh semua pintu itu, wahai Rasulullah?”
Rasulullah menjawab: “Ada. Aku berharap semoga Abu Bakar termasuk dalam golongan itu.” (77)
Abu Bakar menyandang banyak keistimewaan. Ketika berbicara, kata-katanya santun dan sederhana. Tak pernah ia ungkapkan sesuatu yang ajaib atau luar biasa. Tidak ada cacat maupun cela dalam akhlaknya. Semua perilakunya begitu sempurna. Allah menyisfatinya sebagai sahabat Rasulullah dan orang yang paling bertakwa, yang menafkahkan hartanya untuk menyucikan (dirinya) (88). Allah memujinya sebagai orang yang membenarkan Nabi sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: dan orang yang datang membawa kebenaran dan membenarkannya (Muhammad), itulah orang yang bertakwa. (99) Ayat-ayat itu menegaskan bahwa Abu Bakar al-Shiddiq adalah orang yang bertakwa kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya. Pada ayat yang lain Allah berfirman: Bagi mereka apa-apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka, itulah balasan bagi orang yang berbuat baik. (1010) Ayat itu menegaskan balasan berupa surga yang disediakan oleh Allah bagi al-Shiddiq r.a. karena ia adalah manusia terbaik di dalam golongan orang yang berbuat baik.
Dialah orang kedua setelah Nabi Muhammad s.a.w. Dialah orang pertama yang mengakui kerasulan Muhammad s.a.w. Dialah orang kedua yang bersembunyi dalam gua, ketika orang-orang kafir mengejar dan memburu keduanya. Ia hidup dengan perilaku yang terpuji, melaksanakan perintah Allah, dan mengikuti petunjuk sahabatnya, Muhammad s.a.w. Semua sahabat Nabi mengetahui bahwa tidak ada seorang pun dapat menandingi keutamaan dan kemuliaan laki-laki ini. (1111) Selamat menikmati kisah hidupnya dengan penuh cinta.
Catatan: