Alḥamdulillāh, segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan sebesar-besar karunia kepada hamba-hambaNya. Dengan menjauhkan mereka dari makar dan tipu-daya syaithan yang senantiasa berdaya-upaya hendak menjerumuskan mereka ke dalam perangkapnya. Maka, dijadikan-Nyalah puasa sebagai benteng kukuh bagi para wali-Nya, juga sebagai anak kunci yang dengannya Dia (Allah) membuka pintu surga bagi mereka.
Lalu, dijelaskan-Nya kepada mereka bahwa syahwat hawa-nafsu yang bersemayam dalam diri-diri mereka merupakan sebaik-baik sarana bagi syaithan untuk menipu dan memperdaya. Dan bahwa, upaya mengekang nafsu-nafsu itu dapat membuat jiwa-jiwa mereka menjadi tenang dan damai, di samping memiliki kemampuan hebat guna mematahkan kekuatan musuh bebuyutan hebat guna mematahkan kekuatan musuh bebuyutan mereka itu.
Shalawat dan salam bagi Nabi Muḥammad, pembimbing manusia dan perata jalan sunnahnya. Juga, untuk keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang tajam pandangannya serta lurus akal-budinya.
Amma ba‘du.
Shaum (puasa) adalah “seperempat iman”, seperti yang dapat disimpulkan dari sabda Nabi s.a.w.:
الصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ
“Puasa adalah separo dari sabar. (11)”
Beliau juga pernah bersabda:
الصَّبْرُ نِصْفُ الْإِيْمَانِ
“Sabar adalah separo dari iman. (22)”
Selain itu, puasa memiliki keistimewaan di antara rukun-rukun Islam lainnya, disebabkan kekhususan penisbatannya kepada Dzāt Allah s.w.t. Sebagaimana tersebut dalam sebuah Hadits Qudsī:
كُلُّ حَسَنَةٍ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَّا الصِّيَامُ فَإِنَّهُ لِيْ وَ أَنَا أَجْزَى بِهِ.
“Setiap perbuatan baik memperoleh pahala sepuluh kali lipat sampai tujuhratus kali, kecuali puasa: Ia adalah milik-Ku, dan Aku-lah yang menentukan besar pahalanya. (33)”
Juga Allah s.w.t. telah berfirman:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ.
“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. az-Zumar: 10).
Padahal, puasa adalah separo dari sabar. Maka, pahalanya pun melampaui peraturan batasan dan hitungan. Cukup kiranya untuk mengetahui tentang keutamaannya, melalui sabda Nabi s.a.w. berikut ini:
وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَخُلُوْفُ فَمِّ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ، يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ، إِنَّمَا يَذَرُ شَهْوَتَهُ وَ طَعَامَهُ وَ شَرَابَهُ لِأَجْلِيْ، فَالصَّوْمُ لِيْ وَ أَنَا أَجْزِيْ بِهِ.
“Demi Allah yang diriku berada di tangan-Nya, bau mulut seorang yang sedang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada harumnya misk. Allah telah berfirman mengenai orang yang berpuasa: “Dia meninggalkan syahwatnya, makannya, dan minumnya demi Aku. Maka, puasa adalah milik-Ku, dan Aku sendiri yang akan memberinya pahala”.” (44).
Nabi s.a.w. juga pernah bersabda:
لِلْجَنَّةِ بَابٌ يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ لَا يَدْخُلُهُ إِلَّا الصَّائِمُوْنَ.
“Surga mempunyai pintu yang dinamakan Rayyān, tidak akan memasukinya keculai orang-orang yang berpuasa.” (55)
Selain itu, bagi seorang yang berpuasa dijanjikan kepadanya kegembiraan perjumpaan dengan Allah s.w.t. sebagai pahala puasanya, sebagaimana dalam sabda Nabi s.a.w.:
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ إِفْطَارِهِ وَ فَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ.
“Seorang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan: Sekali pada saat berbuka, dan sekali lagi ketika berjumpa dengan Tuhannya, kelak.” (66).
Sabda beliau:
لِكُلِّ شَيْءٍ بَابٌ، وَ بَابُ الْعِبَادَةِ الصَّوْمُ.
“Segala suatu mempunyai pintu, dan pintu ibadah ialah puasa.” (77).
Dan, sabdanya pula:
نُوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ.
“Tidurnya seorang yang sedang berpuasa adalah ibadah.” (88).
Abū Hurairah merawikan bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda:
إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَ غُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ وَ نَادَى مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ هَلُمَّ وَ يَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ.
“Apabila bulan Ramadhān tiba, pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup. Syaithan-syaithan pun dibelenggu. Maka, berserulah seorang penyeru: “Hai, siapa yang menginginkan kebaikan, datanglah! Dan, siapa ingin (melakukan) kejahatan, cegahlah dirimu!”.” (99).
Dalam menafsirkan firman Allah,….. Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal kamu pada hari-hari yang lalu….., Wakī‘ berkata: “Itulah hari-hari puasa, ketika mereka meninggalkan makan dan minum di dalamnya.”
Demikian pula Rasūlullāh s.a.w. pernah menyamakan antara derajat puasa dan zuhud. Yaitu, ketika melukiskan betapa Allah membanggakan kedua pelakunya di hadapan para malaikat. Adapun tentang orang-orang yang berzuhud terhadap kesenangan duniawi, beliau bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُبَاهِيْ مَلَائِكَتَهُ بِالشَّابِّ الْعَابِدِ فَيَقُوْلُ: أَيُّهَا الشَّابُّ التَّارِكُ شَهْوَتَهُ لِأَجْلِيْ الْمُبْذِلُ شَبَابَهُ لِيْ، أَنْتَ عِنْدِيْ كَبَعْضِ مَلَائِكَتِيْ.
“Sungguh, Allah s.w.t. membanggakan si pemuda yang senantiasa beribadah di hadapan para malaikat, seraya berfirman: “Wahai anak muda yang meninggalkan syahwatnya demi keridhaan-Ku, dan menyerahkan keremajaannya untuk-Ku, engkau di sisi-Ku seperti sebagian malaikat-Ku.”
Adapun tentang orang yang berpuasa, Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda dalam sebuah hadits:
اُنْظُرُوْا يَا مَلَائِكَتِيْ إِلَى عَبْدِيْ، تَرَكَ شَهْوَتَهُ وَ لَذَّتَهُ وَ طَعَامَهُ وَ شَرَابَهُ مِنْ أَجْلِيْ.
“Allah s.w.t. berfirman (kepada para malaikat):“Lihatlah kepada hamba-Ku, wahai malaikat-Ku: Dia (si hamba) meninggalkan syahwatnya, kesenangannya, makannya, dan minumnya semata-mata karena Aku!”.” (1010).
Sebagian orang berkata bahwa yang dimaksud dengan “yang mereka kerjakan” dalam firman Allah: ….. “Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan…..” (QS. as-Sajdah: 17), ialah puasa. Hal ini mengingat firman Allah lainnya, …. “Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.….” (QS. az-Zumar: 10). Maka, pahala bagi orang yang berpuasa akan dilimpahkan sebanyak-banyaknya dan tanpa batas, sehingga tak mungkin tercakup dalam hitungan. Dan memang, yang demikian itu cukup pantas bagi orang yang berpuasa, mengingat bahwa ibadah puasa telah memperoleh kemuliaan tak terhingga dengan dinisbatkannya kepada Dzāt Allah s.w.t. (seperti tersebut dalam Hadits Qudsī sebelum ini). Meskipun dapat dikatakan pula bahwa, pada hakikatnya semua ibadah lainnya juga milik Allah, akan tetapi hal ini sama seperti Allah s.w.t. telah memuliakan Ka‘bah dengan menyebutnya sebagai “rumah-Nya”, walaupun bumi seluruhnya, pada hakikatnya, adalah milik-Nya juga.
Adapun mengenai kemuliaan puasa, dapat disebutkan di sini dua makna yang menyebabkannya memperoleh sebutan yang demikian:
Pertama, bahwa pelaksanaan puasa terdiri atas upaya mencegah diri dari sesuatu atau meninggalkan sesuatu. Yang demikian itu mengandung rahasia tersendiri, mengingat tiadanya suatu amalan konkret padanya yang dapat dilihat oleh orang lain. Sementara itu, semua amalan ketaatan kepada Allah, selain puasa, mengandung kemungkinan untuk dapat disaksikan oleh orang banyak. Puasa tidak ada yang dapat melihatnya, kecuali Allah ‘azza wa jalla. Sebab, ia adalah amal dalam batin seseorang, dilaksanakan hanya dengan kesabaran semata-mata.
Kedua, puasa adalah amal yang menghinakan syaithan – musuh Allah – dengan cara paksa. Hal ini mengingat bahwa sarana syaithan terkutuk untuk mengelabui manusia ialah pelbagai syahwat pembangkit nafsu. Sementara nafsu akan menjadi makin kuat dengan makan dan minum. Karena itu, Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَجْرِيْ مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ فَضَيِّقُوْا مَجَارِيَهُ بِالْجُوْعِ.
“Sesungguhnya syaithan itu mengalir dalam diri manusia seperti mengalirnya darah, maka persempitlah saluran-saluran baginya dengan lapar.” (1111).
Karena itu pula, Rasūlullāh s.a.w. bersabda kepada ‘A’isyah:
دَوَامِيْ قَرْعَ بَابِ الْجَنَّةِ، قَالَتْ بِمَاذَا؟ قَالَ (ص) بِالْجُوْعِ
“Ketuklah pintu surga secara terus-menerus.” “Dengan apa?” tanya ‘A’isyah. Maka beliau menjawab: “Dengan lapar”.” (1212)
Demikianlah, mengingat puasa adalah perbuatan yang – secara khusus – mengandung penghinaan dengan paksa terhadap syaithan, dan juga sebagai upaya menyumbat salurannya atau mempersempit tempat mengalirnya, maka puasa sudah sepatutnya memperoleh kemuliaan penisbatan kepada Dzāt Allah s.w.t. Dalam upaya menghinakan musuh Allah itu, siapa yang membela-Nya, pasti akan memperoleh pembelaan dari-Nya sebagai balasan. Firman-Nya tentang hal ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ.
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu.” (QS. Muḥammad: 7).
Memang, pada mulanya merupakan usaha sungguh-sungguh dari si hamba, kemudian akan datang kepadanya hidayah dari Allah sebagai balasannya. Itulah sebabnya Allah s.w.t. berfirman:
وَ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُم سُبُلَنَا.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. al-‘Ankabūt: 69).
Demikian pula firman-Nya:
إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْا مَا بِأَنْفُسِهِمْ.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra‘d: 11).
Yang dimaksud dengan “mengubah” ialah mengubah kecenderungan syahwat hawa-nafsu, yang merupakan tempat bermain-main syaithan-syaithan. Selama tempat-tempat itu subur, mereka akan selalu mengunjunginya. Dan selama syaithan-syaithan masih selalu berkunjung, takkan mungkin tersingkap keagungan Allah bagi seorang manusia. Dengan kata lain, dia akan terhijab (terhalangi) dari perjumpaan dengan Allah s.w.t.
Sabda Rasūlullāh s.a.w.:
لَوْ لَا أَنَّ الشَّيَاطِيْنَ يَحُوْمُوْنَ عَلَى قُلُوْبِ بَنِيْ آدَمَ لَنَظَرُوْا إِلَى مَلَكُوْتِ السَّموَاتِ.
“Sekiranya bukan karena syaithan-syaithan yang selalu mengitari hati manusia, niscaya manusia akan mampu memandang kerajaan langit-langit.” (1313).
Dari segi inilah, puasa dimisalkan sebagai pintu ibadah dan juga sebagai pagar penjaga keamanan hati manusia.
Maka, bila sedemikian tinggi keutamaan puasa, sudah sepatutnyalah dijelaskan tentang persyaratan-persyaratannya yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Yaitu dengan menyebutkan rukun-rukunnya, sunnah-sunnahnya, serta syarat-syarat batiniahnya. Dan, kami akan menjelaskannya dalam tiga bab: