0-8 Al-Hakim – Jam’-ul-Jawami’

JAM‘-UL-JAWĀMI‘

Kajian dan Penjelasan dua Ushul
(Ushul Fiqh dan Ushuluddin)

Penyusun:
Darul Azka
Kholid Afandi
Nailul Huda

Penerbit: Santri salaf crew.

AL-ḤĀKIM

Umat Islam secara keseluruhan menyepakati bahwa sumber segala macam hukum taklīf dan wadh‘i adalah dari Allah s.w.t. Baik dengan jalan menetapkan nash dalam al-Qur’ān, as-Sunnah, atau dengan perantara ulama ahli fiqh dan para mujtahid. Karena para mujtahid hanyalah menampakkan hukum, bukan mencetuskan hukum dari dirinya sendiri. Allah s.w.t. berfirman:

إِنَّ الْحُكْمَ إِلَّا للهِ (الأنعام: 57)

Tidak ada hukum, kecuali hanyalah milik Allah s.w.t.”

Hanya saja kemudian Mu‘tazilah dan Ahl-us-Sunnah berbeda pendapat mengenai penunjuk dan mekanisme memahami hukum-hukum Allah s.w.t. sebelum terutusnya Rasūl. Dalam arti, mereka memperdebatkan diterimanya akal sebagai media penunjuk memahami hukum Allah s.w.t. tanpa melalui mekanisme naql (wahyu). Asy‘ariyyah berpendapat, penunjuk hukum hanyalah para Rasūl, dan tidak ada peluang memahami hukum melalui akal. Sehingga di masa sebelum terutusnya Rasul, perbuatan manusia tidak terikat hukum dari Allah s.w.t., perbuatan hukum tidak terkena vonis haram, dan keimanan tidak menjadi sebuah kewajiban. Berbeda dengan Mu‘tazilah, mereka mengatakan bahwa akal memungkinkan memahami hukum Allah s.w.t. dalam perbuatan manusia. Dan perbuatan tersebut akan terikat dengan hukum sesuai dengan ketetapan yang disimpulkan akal, berisi sifat baik dan buruk, baik secara dzātiyyah, faktor-faktor lain, maupun karena aspek sudut pandang. Statemen mereka, sebenarnya syariat menyingkap atas perkara yang telah difahami akal sebelumnya. Perbedaan pendapat di atas berakar dari pemhahasan ḥasan (baik) qabīḥ (buruk) yang akan dijelaskan nanti. (151).

Catatan:


  1. 15). Dr. Wahbah az-Zuhaili, Ushūl-ul-Fiqhi Islāmī, vol. hal. 115. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *