وَ الْحُكْمُ خِطَابُ اللهِ الْمُتَعَلَّقُ بِفِعْلِ الْمُتَكَلَّفِ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ مَكَلَّفٌ وَ مِنْ ثَمَّ لَا حُكْمَ إِلَّا للهِ.
Hukum adalah titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan seorang mukallaf dari tinjuannya sebagai obyek taklīf. Karenanya tiada hukum kecuali datang dari Allah.
DEFINISI HUKUM
Dalam mendefinisikan hukum, ulama ushul terpetakan menjadi dua kelompok. Kelompok mayoritas pakar hukum, di antaranya Imām as-Subkī, menyatakan bahwa pengertian hukum adalah:
خِطَابُ اللهِ الْمُتَعَلَّقُ بِفِعْلِ الْمُكَلَّفِ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ مُكَلَّفٌ.
“Titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dari sisi bahwa dia adalah orang yang mendapat pembebanan.” (121).
Pengertian khithāb (titah) yaitu kalam Allah s.w.t. yang telah ada sejak zaman azali. Berpijak dari definisi di atas, maka khithāb wadh‘ī bukan termasuk bagian dari hukum. Kelompok kedua, di antaranya Imām Ibnu Ḥājib mendefinisikan hukum sebagai berikut:
خِطَابُ اللهِ الْمُتَعَلَّقُ بِفِعْلِ الْمُكَلَّفِ بِالْاِقْتِضَاءِ أَوِ التَّخْيِيْرِ أَوِ الْوَضْعِ.
“Titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dengan tuntutan, pembebasan pilihan atau peletakan.”
Berpijak dari definisi ini, Imām Ibnu Ḥājib menyatakan, hukum terbagi dua hukum taklīfi dan wadh‘i. Karena definisi tersebut menegaskan bahwa hukum wadh‘i termasuk bagian dari hukum. (132).
Maksud “perbuatan mukallaf” dalam definisi di atas memiliki cakupan makna cukup luas, meliputi:
Perbuatan hati, baik berupa keyakinan, seperti meyakini Allah s.w.t. adalah Dzāt Yang Maha Tunggal, atau selain keyakinan, seperti niat.
1. Perbuatan berbentuk ucapan, seperti mengucapkan takbīrat-ul-iḥrām pada saat memulai shalat.
2. Perbuatan badan, seperti pelaksanaan ritual haji. (143).
Catatan:
- 12). Menurut pendapat Ashaḥ, kalam tersebut dapat disebut khithāb secara hakikat. Sedangkan menurut muqābil ashah, penyebutan kalam sebagai khithāb merupakan penyebutan secara majaz, sebagaimana keterangan yang akan datang – Ibid, hal. 48 dan Ḥasan bin Muḥammad al-‘Athār, Ḥāsyiyat-ul-‘Athār, vol. I, hal. 67. ↩
- 13). Jalāl-ud-Dīn al-Maḥallī, Syarḥu Jam‘-ul-Jawāmi‘, vol. 1 hal. 52-53. ↩
- 14). Syaikh al-Banānī, Ḥāsyiyatu ‘alā Syarḥi Jam‘-il-Jawāmi‘, hal. 49. ↩