وَ الْفِقْهُ الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ.
Fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara‘ praktis (‘amaliyyah) yang diupayakan dari dalil-dalil terperincinya.
DEFINISI FIQH
Fiqh secara bahasa berarti al-fahm (kepahaman). Sedangkan secara istilah, ada beberapa definisi. Salah satunya adalah sebagai berikut:
وَ الْفِقْهُ الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ.
“Fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara‘ yang berkaitan dengan perbuatan (‘amaliyyah) (6) yang diperoleh dari dalil-dalil yang bersifat tafshiliy (terperinci).”
Contoh:
- Pengetahuan bahwa niat dalam wudhu’ adalah wajib.
- Pengetahuan bahwa shalat witir adalah sunnah.
- Pengetahuan bahwa menginapkan niat di malam hari adalah syarat dalam puasa Ramadhān.
- Pengetahuan bahwa zakat wajib dikeluarkan dari harta anak kecil, tetapi tidak wajib dikeluarkan dari perhiasan yang diperbolehkan.
- Pengetahuan bahwa pembunuhan dengan benda berat mengharuskan qishāsh.
Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwasanya sebuah pengetahuan dapat dikategorikan sebagai fiqh apabila memenuhi kriteria (qayyid) sebagai berikut:
- Pengetahuan tentang hukum. Maka pengetahuan tentang dzat atau sifat tidak termasuk ilmu fiqh. Seperti menggambarkan dzatnya manusia, atau menggambarkan warna putih.
- Hukum berbentuk syar‘i. Maka pengetahuan tentang hukum ‘aqli (akal) tidak termasuk ilmu fiqh. Contoh, bilangan satu merupakan separuh dari dua.
- Hukum syar‘i berkaitan dengan perbuatan (‘amaliyyah). Maka pengetahuan tentang hukum syar‘i yang berkaitan dengan masalah keyakinan tidak termasuk ilmu fiqh. Seperti meyakini bahwa Allah s.w.t. Dzāt Yang Maha Tunggal.
- Diperoleh dari sebuah dalil. Maka mengecualikan ilmunya Allah s.w.t. dan ilmunya malaikat Jibril dan para Nabi.
- Diambil dari dalil tafshīliy (terperinci). Maka mengecualikan pengetahuan yang terdapat pada al-khilafi. (8[^3]) Baik berupa tuntutan menetapkan hukum atau menafikannya yang keduanya digunakan memperkuat pengetahuan yang didapatkannya yang keduanya digunakan memperkuat pengetahuan yang didapatkan dari mujtahid sebagai sarana argumentasi mementahkan lawan debatnya. Seperti pengetahuan bahwa niat adalah wajib dalam wudhu’, karena ada dalil penuntut, atau pengetahuan bahwa shalat witir tidak wajib, karena adanya dalil yang menafikannya. (9[^4]).
Catatan:
- Maksud al-Aḥkām (hukum-hukum) dalam definisi di atas adalah seluruh hukum, tanpa terkecuali. Pengertian ini tidak kontradiktif dengan jawaban Imām Mālik: “Aku tidak mengerti”, atas tiga puluh enam pertanyaan dari empat puluh pertanyaan yang disodorkan pada beliau, di mana empat pertanyaan sebelumnya telah dijawab. Karena yang dikehendaki ‘ilmu bil-aḥkām (mengetahui semua hukum syara‘) adalah memiliki kesiapan untuk tashdīq, artinya bahwa dalam dirinya terdapat potensi dan kemampuan yang mengantarkannya pada tashdīq terhadap hukum manapun yang dikehendaki, meskipun pada kenyataannya belum dihasilkan. Dan di antara manusia yang diberi anugerah oleh Allah s.w.t. mendapatkan nikmat kemampuan semacam itu adalah Imām Mālik bin Anas, salah satu dari pemuka empat madzhab. (10[^5])
- Penggunaan redaksi “al-‘ilmu” dalam definisi fiqh di atas tidak mengurangi obyektifitas pendefinisian. Kata “al-‘ilmu” semestinya digunakan untuk pengetahuan yang dimensi kebenarannya pasti, sedangkan kebanyakan permasalahan fiqh terbatas dalam ranah zhann (dugaan) saja. Titik temunya, bahwa yang dikehendaki dalam hal ini adalah zhann (dugaan, asumsi) yang bersumber dari seorang mujtahid. Karena sangat kuatnya zhann tersebut, sehingga mendekati taraf “al-‘ilmu” atau diyakini kebenarannya. (11[^6]).
Catatan: