Ketahuilah, bahwa tulisan-tulisan azimat merupakan quthub (poros) peredaran falak contoh-contoh ketinggian. Quthub rūḥ merupakan contoh pertama daripada tulisan-tulisan tersebut dengan ruh itulah terbangun citra nafs (jiwa) pada masing-masing insan, jika diri orang tidak ber-ruh, maka orang itu tidak layak dihukumi sebagai manusia, lebih dari itu jika orang tidak mampu memahami secara hakiki substansi ruh dirinya, niscaya ia tidak memahami eksistenti dirinya, juga tidak memahami ketentuan hukum-hukumNya, serta makna-makna tersirat dibalik metafora, isyārat-isyāratNya. Ruh, sejatinya ‘ibārat kuas (alat untuk melukis atau mengecat yang dibuat dari bulu hewan) yang digoreskan pada kanvas dan lukisan yang lahir merupakan ekspersi jiwa sang penggores. Demikian pula dengan ruh, ia merupakan cermin diri. Wujud kasarmu (bentuk tubuhmu) adalah cerminan jiwamu dan jiwamu cerminan daripada ruhmu, jika tubuhmu tak berbentuk niscaya kau tidak bisa bercermin diri. Bagaimana mungkin kau bisa bercermin diri jika kau tidak berbentuk? Bercermin tidak harus di depan “kaca”. Hakekat bercermin bukan untuk melihat bentuk kasat tubuhmu, akan tetapi memakrifahi eksistensi dirimu. Dengan cermin diri itulah, kau akan mengetahui adakah kau tetap eksis dalam kemanusiaan dirimu? Bergeserkah nilai dirimu dari fitrah penciptaanmu? Seperti halnya ketika kau bercermin di depan kaca, bentuk tubuhmu tidak berkurang atau lebih. Demikian halnya dengan cermin diri (mu), jika eksistensi ruhmu tetap eksis, ia tidak berkurang dan bertambah kecuali jika telah terkooptasi (terpilih menjadi sesama anggota kelompok) oleh sesuatu yang lain, seperti adanya dominasi nafsu dan pupusnya nilai-nilai keimanan dalam dirimu, kau akan dapati ruhmu tidak suci lagi dan nafs (jiwa)mu tidak lagi jernih.
Terkait dengan ini, kami telah paparkan secara detil dalam karya kami Quthb-ul-‘Ajā’ibi wa Falak-il-Gharā’ib. Dalam kitab itu kami paparkan ragam azimat, terutama tiga azimat utama yang merupakan simbol dari segala wujud. Kami akan coba mensyarah (memberi penjelasan) dalam karya Insān Kāmil ini, hanya saja perlu kami tegaskan, mungkin anda (para pembaca) tidak akan bisa memahami penjelasan itu secara utuh jika anda belum membaca kitab kami Quthb-ul-‘Ajā’ibi wa Falak-il-Gharā’ib karena kitab tersebut merupakan induk, sedang kitab ini adalah cabang, kitab itu ibarat asal sedang kitab ini adalah cabang. Dan kitab Quthb-ul-‘Ajā’ibi wa Falak-il-Gharā’ib kami lebih memfokuskan pada metafor-metafor, isyārat, paradoks ketuhanan, dan pelik wacana alam ketinggian dan alam semesta (makro kosmos), sedangkan kitab ini kami lebih fokuskan pada Manusia Sempurna yang merupakan inti daripada mikro kosmos bahkan alam semesta. Semua rahasia ketuhanan itu hanya bisa disibak melalui cerminan Insān Kāmil, berikut warta-warta ketuhanan serta manifestasi nama-namaNya dan sifat-sifatNya dalam segala wujud. Pada mulanya orang seorang dapat menyaksikan-Nya melalui manifestasi nama-nama dan sifat-sifatNya, lalu berkembang menuju penyaksian (Syuhūd) inti (dzāt)-Nya, melalui Dzauq-ul-Wujdān (intuisi). Perhatikan dengan seksama metafor yang kami pakai, agar anda bisa memaknai keterangan kami secara utuh.
Setiap Thab‘u (stempel) akan melahirkan bentuk (motif) sesuai dengan cetakannya, seperti jika bentuk itu segi tiga akan keluar bentuk (gambar) segi tiga. Bisa jadi antara hasil stempel yang satu berbeda dengan hasil stempel yang lain, boleh jadi ada yang terlihat jelas hasilnya, bisa pula terlihat buram atau biasa, bahkan bisa jadi tulisan yang ada di stempel itu sudah usang, namun ketika dipakai menghasilkan bentuk (gambar) yang lebih jelas dari bentuk aslinya. Demikian pula dengan ragam tingkat spiritual para pelaku hakekat, di antara mereka ada yang berhasil dengan sempurna, ada yang sangat sempurna atau biasa-biasa saja dalam memakrifahi hakekat kesempurnaan, keindahan dan keperkasaan-Nya. Meski berangkat dari “Satu Jalan” namun hasilnya beraneka ragam, tergantung keteguhan, keeksisan masing-masing pelakunya. Seperti hasil stempel yang dipakai menyetempel sebagaimana yang tersebut di atas. Kemudian dalam menyetempel itu sang pelaku bisa saja menyetempel di sebelah kanan atau sebelah kiri, juga kebalikannya. Setali dua uang “Arah Berlainan” seperti itu juga ada dalam wacana dunia hakekat dan merupakan wajah rahasia ‘Ubūdiyyah dimensi Rubūbiyyah (ketuhanan)-Nya. Realita itu juga merupakan inti rahasia makna sebuah hadits, seperti yang dituturkan baginda Rasūl s.a.w.: “Tatkala beliau diperjalankan dalam perjalanan agung (Mi‘rāj). Semua ḥijāb (tirai penghalang) diberanguskan, sehingga tidak tersisa satu hijabpun yang menghalangi Rasūl s.a.w., kecuali satu hijab saja. Ketika beliau hendak memberangus hijab tersebut, dikatakan kepada beliau: Berhentilah! Sesungguhnya Tuhanmu sedang shalat! Keadaan tersebut merupakan rahasia agung yang tidak akan pernah bisa dijangkau (disibak) kecuali dengan kesempurnaan yang berlandaskan isim (nama)-Nya yang al-Kāmil (kesempurnaan). Para ‘ārif dan ahli hakekat ada yang mampu menjangkaunya, namun hanya sebatas jangkauan al-Jamāl (keindahan), itupun sebatas keindahan kesempurnaan bukan keindahan muthlaq, bukan pula kesempurnaan keindahan. Sebagian para ‘ārif yang lain ada juga yang mampu menjangkaunya sebatas jangkauan al-Jalāl (keperkasaan), namun hanya sebatas keperkasaan kesempurnaan, bukan keperkasaan muthlaq, bukan pula kesempurnaan keperkasaan. Pahami dengan seksama masalah itu!
(Pasal). Setiap sesuatu melahirkan organ (kumpulan), contoh-contoh ketinggian membuahkan kemuliaan, ar-Raqīm (buku yang direkam) merekam kehinaan. Masing-masing berjalan sesuai garis edarnya secara independen, masing-masing melantunkan sanjung puji di falaknya. Manakala kau tanggalkan contoh-contoh ketinggian dari sifat-sifat ar-Raqīm, hukum perundang-undangan contoh-contoh ketinggian akan tegak dalam dirimu, ketika kau kenakan sifat-sifat ar-Raqīm dalam darimu di antara contoh-contoh ketinggian yang ada, maka kau tidak akan bisa melihat rekaman buku tersebut, karena tertutup oleh sesuatu yang lain. Manakala kau nisbatkan inti (dzāt) kepada salah satu di antara keduanya maka kau akan terhijabkan, jika kau nisbatkan inti (dzāt) kepada dzāt lainnya maka kau terjerembab ke dalam tindak penyekutuan. Jika kau campur inti (dzāt) dengan ar-Raqīm pada sesuatu yang terdapat pada contoh-contoh ketinggian maka dzāt tersebut menjadi dzāt yang tercampur, jika kau campur contoh-contoh ketinggian dengan sesuatu yang ada pada ar-Raqīm maka hal itu dinamakan inti penurunan. Yang dimaksud dengan ar-Raqīm (buku yang terekam) sejatinya adalah al-‘Abd (hamba), sedangkan maksud daripada contoh-contoh ketinggian, sejatinya adalah Quthub (poros) keajaiban-keajaiban dan falak keanehan-keanehan, adapun yang dimaksud dengan inti (dzāt) adalah kitab ini, yang kami beri judul Insān Kāmil.
(Pasal). Al-Aḥadiyyah (ke-Esa-an), menandakan ketiadaan nama-nama dan sifat-sifatNya serta Atsār (bekas-bekas)nya pun pengaruh-pengaruhnya. Al-Wāḥidiyyah (ke-Tunggal-an) menandakan fanā’ (kesirnaan) semesta alam di hadapan inti ke-baqā’-an Diri-Nya, serta kekekalan alam di hadapan inti ke-fanā’-annya. Al-‘Izzah (kemuliaan), menandakan pendorong (motivator) yang mempertemukan antara al-Ḥaqq dengan makhluk. Al-Qayyūmiyyah (berdiri sendiri), menandakan terealisirnya pertemuan secara valid (shaḥīḥ) antara Allah jalla jalālah dengan hamba-Nya, sebab esensi al-Qayyūm adalah yang berdiri sendiri dan mendirikan (menegakkan) lainnya. Kongklusi dari ‘ibārat-‘ibārat tersebut dapat disimpulkan: Tajallī (manifestasi), al-Aḥadiyyah (ke-Esa-an) terpaparkan dalam isim (nama) dan sifat. Tajallī al-Wāḥidiyyah (ke-Tunggal-an) terpaparkan dalam makhluk (ciptaan) untuk media penampakan kekuasaan-Nya dalam setiap citra Maujūdāt (segala yang wujud). Manifestasi (tajallī) Rubūbiyyah (ketuhanan) terpapar dalam makhluk (ciptaan) dan eksistensi al-Ḥaqq, sejalan dengan adanya wujud al-Ḥaqq dan wujud makhluk. Tajallī Ulūhiyyah (ketuhanan), terpaparkan dalam wujud al-Ḥaqq dan pencitraan Diri-Nya pada makhluk-Nya berikut makhluk (ciptaan)-Nya dalam citra al-Ḥaqq. Tajallīy-ul-‘Izzah (kemuliaan) terpaparkan dalam nisbat di antara al-Ḥaqq dengan hamba-Nya. Tajalliy-ul-Qayyūmiyyah terpaparkan dalam wujud al-Marbūb (yang diatur) karena adanya wujud sifat-sifat Rabb Maha Pengatur berikut kemestian (kelaziman) adanya wujud sifat-sifat Rabb (Tuhan), dengan adanya wujud sifat-sifat al-Marbūb (yang diatur). Esensinya, bahwa nama-namaNya yang Zhāhir (jelas penampakannya) merupakan inti segala wujud, sedang nama-namaNya yang bāthin (ghaib tidak tampak) sejatinya Dia adalah kebalikannya (lawan daripadanya), yakni apa yang ada di benak pikiran, asumsi, prediksi, imajinasi anda tentang al-Ḥaqq, Dia adalah kebalikannya.