0-3 Muqaddimah – Insan Kamil – Syaikh Abd. Karim al-Jaili

INSAN KAMIL
Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman

Karya: Syaikh Abd. Karim Ibnu Ibrahim al-Jaili

Penerjemah: Misbah El Majid. Lc.
Diterbitkan oleh: Pustaka Hikmah Perdana.

Rangkaian Pos: Muqaddimah - Insan Kamil - Syaikh Abd. Karim al-Jaili

Saya katakan kepada manusia asing tersebut: Yā Sayyidī (wahai junjunganku): Pada awalnya aku merasa kau dekatkan diriku kepada al-Ḥaqq, namun di ujung pengembaraan aku merasa kau jauhkan diriku dari-Nya. Aku merasa kau tidak memberiku isi buah, kau hanya memberiku kulitnya saja, sebenarnya apa yang terjadi dengan laku ritualku? Ia menjawab: Aku sengaja turunkan dirimu ke dalam hukum perundang-undangan hikmah ketuhanan dan aku letakkan dirimu pada takaran neraca al-Mudrika (daya persepsi) kemanusiaan, agar memudahkan dirimu menangkap pesan-pesan ketuhanan baik dari dekat maupun jauh, dengan cara seperti itu tidak akan menyulitkan dirimu menyibak dimensi rahasia-Nya. Saya katakan kepada insan asing itu: Bekali diriku dengan kearifan-kearifanmu agar aku bisa teguh meniti jalan Allah melalui cermin lakumu? Ia menjawab: Tatkala aku berada di al-Qubbat-uz-Zarqā’ (Kubah Biru), aku menyimak seorang alim bertutur kepadaku tentang ciri-ciri burung Garuda, aku sangat antusias menyimaknya dan berharap bisa menangkap burung Garuda tersebut dalam genggaman tanganku. Aku katakan kepada insan alim itu: Tuan, mohon anda perjelas keterangan anda hingga aku bisa memahami ciri-ciri burung tersebut. Ia menjawab: Garuda itu benar-benar merupakan keajaiban hakiki dan seekor burung yang super unik, ia memiliki enam ratus sayap dan seribu ekor, sesuatu yang ḥarām (dilarang) baginya adalah Mubāḥ (dibolehkan). Ia bernama Safah bin Safah, tertulis di sayap burung Garuda itu nama-nama al-Ḥaqq yang Ḥusnā (bagus), citra huruf Bā’ ada di kepalanya, huruf Alif di dadanya, huruf Jīm di dahinya, huruf Hā’ di kakinya, sedangkan huruf-huruf lain ada di matanya, ciri khusus burung Garuda itu di pergelangan kakinya terdapat al-Khātim (cincin).

Saya berkata lagi kepada insān gharīb tersebut: Tuanku, di manakah sejatinya tempat burung tersebut? Ia menjawab: Burung itu berada di hamparan padang yang luas dan tempat-tempat kebaikan, manakala kau bisa memakrifahi ‘ibārat-‘ibārat, metafora-metafora, simbol-simbol, berikut kau bisa menangkap isyārat-isyārat, itu berarti kau telah mampu melintas cakrawala bintang-bintang dan kau berhak bersandang dengan para malaikat. Aku berusaha mencari keajaiban yang disebut dengan burung Garuda Emas tersebut, akan tetapi aku tidak bisa menemukannya dan aku tidak mendapati metafor-metafor keberadaannya, aku hanya bisa menemukan namanya namun tidak mampu menggapai sifat, ciri, karakteristik dan bentuknya. Manakala aku tinggalkan sifat-sifat (diriku) dan aku leburkan diriku dalam falak dzāt, aku tenggelam di dasar samudera yang bernama al-Bahirah, maka sayap-sayap Nūn ku pun berdiri tegak mengantarkan diriku terbang di atas kampung al-Maknūn (yang tersimpan), aku terdampar di kampung asing tersebut, lantas tinggal di dalamnya beberapa saat tanpa bisa mendengar dan melihat. Ketika aku buka mataku, aku terlepas dari pasung al-Aina (di mana), aku menemukan isyarat-isyarat dalam diriku serta ibarat-ibarat itu hadir dalam diriku, tiba-tiba aku merasa memiliki sayap-sayap yang berhiaskan sanjung puji, aku dapati huruf Alif dan Jīm di dadaku, huruf Hā’ di dahiku, tidak ada rahasia yang tidak tersibakkan di hadapanku, semua ilmu dihadirkan pada diriku, akupun mengerti sejatinya diriku adalah manifestasi Diri-Nya, ke-Dia-an Dia ada pada ke-aku-an diriku juga sebaliknya. Saat itu tampak nuqthah (titik) kesejatian-Nya, dan reduplah al-Ghalthah (kesalahan), maka tampaklah metafor kehidupan insan-insan yang telah meninggal.

Saya bertanya lagi kepada insān gharīb tersebut: Wahai tuan, apakah sejatinya yang disebut amar (perintah) yang tersembunyi dan piala yang tersimpan itu? Terangkan kepadaku dengan bahasa yang lugas, agar aku bisa memakrifahi kesejatiannya! Ia menjawab: Contoh-contoh ketinggian yang bisa diterima tataran akal logika yang melahirkan kontribusi (pengetahuan) akan kesejatian Diri-Nya. Pengetahuan itu adalah untuk para hamba dan bukan Diri-Nya, contoh-contoh itu dihadirkan untuk meninggikan segala yang ada di alam al-Asfal (rendahan). Kalām-Nya ditujukan kepada penghuni alam rendah, semua contoh-contoh itu bersumber dari-Nya. Jika para penghuni alam rendah bisa menangkap metafor, isyārat contoh-contoh ketinggian, berikut mengaplikasikan contoh-contoh itu dalam dirinya, maka ia akan terangkat ke alam ketinggian, tidak seperti Ḥimār (keledai) yang dianalogikan pesan Qur’āni sebagai hewan yang bebal dan dungu serta tidak mampu menangkap pesan-pesan tersirat dari contoh-contoh ketinggian yang ada. Maka sejatinya etos ketinggian itu bisa dihadirkan di alam rendah, terlebih nilai-nilai ketinggian itu bisa ditemukan karena ia maujūd (ada) di alam as-Suflah (rendah) ini. Karenanya ada stigma pemikiran nilai-nilai ketinggian tidak akan bisa digapai, selama orang acuh dengan contoh-contoh ketinggian yang dihadirkan di alam rendah ini. Dan orang tidak akan pernah bisa menggapai nilai-nilai ketinggian selama ia tidak mampu menangkap Madhūliyyah (pesan tersirat) dari contoh-contoh yang ada. Karenanya ada yang berpendapat pesan tersirat itulah sejatinya inti contoh-Nya, jikalau orang seorang salah menginterpretasikan contoh-contoh ketinggian, hal ini tidak akan membuatnya terjerembab ke dalam liang kerendahan, karena ia adalah penghuni alam rendah. Ada pula yang berasumsi, contoh-contoh ketinggian itu sejatinya adalah pengumpul, jika orang itu salah menafsirkannya hal itu tidak akan menjadikannya keluar dari isim (nama) dan sifat Kamāliyyah (kesempurnaan), jika keluar maka isim tersebut adalah sifat an-Naqsh (kurang) dan Ghalth (salah). Ada juga yang mengatakan contoh-contoh itu kisarannya hanya ada pada tataran tersurat bukan tersirat, jika orang itu salah menginterpretasikan pemaknaannya, tidak yang tersurat maupun yang tersirat, maka hal itu hanya berkisar pada masalah an-Naqsh (kurang).

Cobalah kau telisik dengan jeli, bukankah tempat pengumpulan itu berselimutkan isyārat dan sentra batasan ‘ibārat? Atas dasar (pengumpulan) ini pula ada yang berpendapat: Kelemahan daya persepsi (al-Idrāk) dalam memahami inti (dzāt)-Nya adalah logis, sebab penelisikan akan makna-makna tersirat bukan sekedar melalui wilayah logika, namun juga melalui kesucian dan ketajaman mata hati yang memiliki perang cukup signifikan dalam penyibakannya. Dalam hal ini peran logika hanya bersifat sekunder sedang ketajaman hati bersifat primer. Maka adalah tidak tepat jika label kelemahan itu harus disandangkan kepada para ‘ārif paripurna, kalaupun para ‘ārif itu memakzulkan kelemahan diri mereka, hal itu bukan karena lemahnya daya persepsi (al-Idrāk) mereka terhadap sesuatu, namun kelemahan mereka dalam mempersepsi sifat sesuatu dalam lanskap pemaknaan hakiki. Jika daya persepsi itu mampu menangkap secara utuh nilai-nilai hakiki, maka al-Idrāk semacam itu disebut sebagai al-Idrāk-ul-Ḥaqīqī (daya persepsi hakiki). Kawan agung dari negeri asing belahan timur itu menandaskan: Daya persepsi yang lemah atas suatu persepsi adalah Idrāk (persepsi). Dalam riwayat lain disebutkan: Kelemahan daya persepsi atas suatu persepsi adalah persepsi. Dengan demikian persepsi itulah esensi permasalahannya (pokok tujuannya) bukan kelemahan daya persepsinya. Terkait dengan ini, esensi firman Qur’ānī: “Dia tidak dapat capai oleh penglihatan mata.” (Qs. al-An‘ām [6]: 103), sejatinya adalah penglihatan mata kasat makhluk sedang penglihatan al-Khafiy-ul-Qadīm (tersembunyi yang eternis) mampu melihat, jikalau mata al-Ḥaqq itu dimanifestasikan pada diri seorang hamba, maka hamba tersebut bisa melihat kesejatian Diri-Nya. Pada kondisi spiritual seperti itu sang hamba melihat dengan pandangan al-Ḥaqq, Dia-lah esensi penglihatan makhluk-Nya. Pahami dengan seksama masalah ini!

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *