0-3 Imam Malik Bin Anas – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.

Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

Rangkaian Pos: 000 Imam | Fiqih Lima Madzhab

IMĀM MĀLIK BIN ANAS

(93 – 179 H./712 – 795 M.)

 

Imām Mālik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, dilahirkan di Madinah, pada tahun 93 H. Beliau berasal dari Kablah Yamniah. Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majlis-majlis ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal al-Qur’ān. Tak kurang dari itu, ibundanya sendiri yang mendorong Imām Mālik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.

Pada mulanya beliau belajar dari Ribī‘ah, seorang ulama yang sangat terkenal pada waktu itu. Selain itu, beliau juga memperdalam hadits kepada Ibn Syihāb, di samping juga mempelajari Ilmu fiqh dari para sahabat.

Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imām Mālik tumbuh sebagai seorang ulama yang terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadits dan fiqh. Bukti atas hal itu, adalah ucapan ad-Dahlamī ketika dia berkata: “Mālik adalah orang yang paling ahli dalam bidang hadits di Madīnah, yang paling mengetahui tentang keputusan-keputusan ‘Umar, yang paling mengerti tentang pendapat-pendapat ‘Abdullāh bin ‘Umar, ‘Ā’isyah r.a., dan sahabat-sahabat mereka, atas dasar itulah dia memberi fatwa. Apabila diajukan kepada suatu masalah, dia menjelaskan dan memberi fatwa.”

Setelah mencapai tingkat yang tinggi dalam bidang ilmu itulah, Imām Mālik mulai mengajar, karena beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkan.

Meski begitu, beliau dikenal sangat berhati-hati dalam memberi fatwa. Beliau tak lupa untuk terlebih dahulu meneliti hadits-hadits Rasūlullāh s.a.w., dan bermusyawarah dengan ulama lain, sebelum kemudian memberikan fatwa atas suatu masalah. Diriwayatkan, bahwa beliau mempunyai tujuh puluh orang yang biasa diajak bermusyawarah untuk mengeluarkan suatu fatwa.

Imām Mālik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Pernah, beliau mendengar tiga puluh satu hadits dari Ibn Syihāb tanpa menulisnya. Dan ketika kepadanya diminta mengulangi seluruh hadits tersebut, tak satu pun dilupakannya. Imām Mālik benar-benar mengasah ketajaman daya ingatannya, terlebih lagi karena pada masa itu masih belum terdapat suatu kumpulan hadits secara tertulis. Karenanya karunia tersebut sangat menunjang beliau dalam menuntut ilmu.

Selain itu, beliau dikenal sangat ikhlas di dalam melakukan sesuatu. Sifat inilah kiranya yang memberi kemudahan kepada beliau di dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Beliau sendiri pernah berkata: “Ilmu itu adalah cahaya; ia akan mudah dicapai dengan hati yang taqwā dan khusyū‘.” Beliau juga menasehatkan untuk menghindari keraguan, ketika beliau berkata: “Sebaik-baik pekerjaan adalah yang jelas. Jika engkau menghadapi dua hal, dan salah satunya meragukan, maka kerjakanlah yang lebih meyakinkan menurutmu.”

Karena sifat ikhlasnya yang besar itulah, maka Imām Mālik tampak enggan memberi fatwa yang berhubungan dengan soal hukuman. Seorang muridnya, Ibnu Wahab, berkata: “Saya mendengar Imām Mālik (jika ditanya mengenai hukuman), beliau berkata: “Ini adalah urusan pemerintahan.” Imām Syāfi‘ī sendiri pernah berkata: “Ketika aku tiba di Madīnah, aku bertemu dengan Imām Mālik. Ketika mendengar suaraku, beliau memandang diriku beberapa saat, kemudian bertanya: Siapa namamu? Akupun menjawab: Muḥammad! Dia berkata lagi: Wahai Muḥammad, bertaqwalah kepada Allah, jauhilah maksiat karena ia akan membebanimu terus, hari demi hari.”

Tak pelak, Imām Mālik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam ilmu hadits dan fiqh. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua cabang ilmu tersebut. Imām Mālik bahkan telah menulis kitab al-Muwaththa’, yang merupakan kitab hadits dan fiqh.

Imām Mālik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Namun demikian, madzhab Mālikī tersebar luas dan dianut di banyak bagian di seluruh penjuru dunia.