0-2 Muqaddimah – Insan Kamil – Syaikh Abd. Karim al-Jaili

INSAN KAMIL
Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman

Karya: Syaikh Abd. Karim Ibnu Ibrahim al-Jaili

Penerjemah: Misbah El Majid. Lc.
Diterbitkan oleh: Pustaka Hikmah Perdana.

Rangkaian Pos: Muqaddimah - Insan Kamil - Syaikh Abd. Karim al-Jaili

Isyārat: Dalam pengembaraan Kasyf (intuitif) al-Ḥaqq mempertemukan diri saya dengan Gharīb-usy-Syarq (manusia asing dari belahan bumi sebelah timur). Ia mengenakan Niqāb (pakaian penutup wajah) ash-Shamadaniyyah (al-Ḥaqq tumpuan segala-galanya), berjubah al-Aḥadiyyah (keesaan), bersorban al-Jalāl (keperkasaan), bermahkotakan al-Ḥasan (kebaikan), al-Jamāl (keindahan). Ia mengucap salam dengan lisan al Kamāl (kesempurnaan). Ketika saya jawab salamnya, ia memandang saya, tampak wajahnya bersinar laksana purnama, sosoknya adalah cerminan ke-Dia-an-Nya dan kebijaksanaan-Nya, tampak pada dirinya kepasrahan yang utuh, sungguh ia merupakan manifestasi-Nya yang Syāmil (utuh), karenanya saya jadikan manusia gharīb (asing) itu cermin diri. Saya lalu bergabung dengannya, pasca bergabung dengannya saya dibawa melanglang buana ke alam ketinggian hingga sampai di sisi Rabb-ul-‘Arsy (Pengatur ‘Arsy). Di tempat itu daya menaiki kursi takdir-Nya, saya tegakkan neraca I‘tibār, saya sirnakan diri di alam ketinggian tersebut, sehingga saya benar-benar Fanā’ (sirna) di sisi-Nya. Saya memperoleh keberuntungan dapat mengais pemahaman hakiki, saya pun bisa mengetahui hakikat makrifat, saya benar-benar terpesona manakala mendengar perkataan manusia Gharīb itu, ucapan kata-katanya sarat (kaya) hikmah ketuhanan dan padat makna, memancar terang ke semesta cakrawala qalbu dan alam pikir saya, sungguh di alam itu peran akal dan fungsi logika pikir sangatlah nihil ketajaman mata hati, kejernihan jiwa, kesucian ruh sayalah yang menuntun saya ke samudera rahasia ketuhanan hakiki saya merasakan betapa sempurna dan indah wajah kehidupan ini, manakala tirai penghalang (Ḥijāb) telah lenyap dalam diri ini, wajah keagungan, kesempurnaan, keindahan-Nya benar-benar tampak dihadapkan diri saya.

Manusia asing dari belahan bumi timur itu bertutur kepada saya: “Ketahuilah bahwa sejatinya Dia (al-Ḥaqq) adalah Jauhar (entitas) yang memiliki dua ‘Aradh (aksiden) dan inti (dzāt)-Nya memiliki dua sifat. Jauhar Huwiyah (entitas ke-Dia-an)-Nya adalah al-‘Ilm (ilmu) dan al-Qawiy (kuat). Dia adalah dzāt yang al-‘Alīm (Maha Mengetahui) dan al-Ḥakīm (Maha Bijaksana), mengalir dalam Kanal (saluran) al-Quwwah (kekuatan). Yang melahirkan trident kekuatan. Kekuatan itu selalu melekat pada ilmu yang tersusun dalam konfigurasi ke-Dia-an-Nya, dengan demikian anda bisa saja mengatakan ilmu adalah asal sedang kekuatan adalah cabang, atau anda bisa mengatakan kekuatan adalah bumi sedang ilmu adalah tanaman. Ilmu dalam dimensi ini terbagi menjadi dua macam:

1. ‘Ilm-ul-Qaulī (ilmu perkataan) adalah contoh-contoh yang tersusun dalam struktur citra dirimu dan citra ke-aku-an dirimu.

2. ‘Ilm-ul-‘Amalī (ilmu perbuatan) adalah hikmah yang melahirkan petunjuk (inspirasi) para pembijak dalam memanfaatkan (memberdayakan) ilmu-Nya, yang dengan itu lahir karya-karya (keilmuan) yang sejalan dengan hukum-Nya.

Kekuatan juga terbagi atas dua macam:

1. Kekuatan Jamālī Tafshīlī (keindahan partikular), yang disertai syarat berupa kesiapan menerima kebaikan, Istiqāmah (konsistensi) dalam Ushūl (pokok-pokok ajaran), dengan demikian kesempurnaan ‘amal (perbuatan) akan selaras dengan kevalidan dasar pijakan (dalil tekstual dan kontekstual).

2. Kekuatan Jamālī Takhayyalī (keindahan imajinatif), yang disertai syarat berupa kesiapan menerima keadaan al-Jauhar (entitas) yang terbagi dua, yang salah satu di antara dua bagian itu memiliki keutamaan, adapun jauhar (entitas) yang memiliki dua sifat itu adalah Engkau dan aku, Engkau dengan Huwiyah (ke-Dia-an)-Mu, yang tidak akan pernah bisa dijangkau oleh narasi akal logika.

Rahasia ketuhanan-Mu hanya bisa disibak dengan jembatan sifat-sifat Rubūbiyyah (ketuhanan) yang tersaksikan melalui pengetahuan intuisi (Kasyf). Sedangkan (aku)-dengan huruf (a) kecil, dengan ke-Aku-an (Mu) kisaran makna (Mu) masih terjangkau oleh logika, yaitu tunduk patuh di bawah hukum Rubūbiyyah-Mu, (aku) dihadapkan ke-Dia-an-Mu adalah (hamba), (Engkau) dengan Huwiyah-Mu dihadapkan ke-aku-an-ku adalah (Rabb). Segenap makhluk (ciptaan)-Mu di hadapan-Mu adalah ‘Abd (hamba), inti (dzāt)-Mu adalah I‘tibār inti (dzāt) diriku, sedang I‘tibār inti (dzāt)-Mu dalam lanskap setiap makhluk (ciptaan)-Mu adalah al-Ḥaqīqat-ul-Kulliyah (hakikat universal).

Maha Suci Engkau, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada sesuatu bagi-Mu. Kini (ujar manusia asing itu). Selisiklah dirimu, adakah inti (dzāt) mu telah kau hiasi dengan sifat-sifat Rubūbiyah (Ketuhanan), yang sejatinya adalah metafora inti (dzāt)-Nya?

Saya begitu takjub dengan paparan sang Gharīb itu, saya katakan kepadanya: Ku mohon anda mau menceritakan kepadaku tentang keajaiban-keajaiban yang pernah anda temui dalam pengembaraan spiritual anda. Ia berkata: sesungguhnya tatkala aku mendaki gunung Thūr dan meneguk air laut al-Masjūr (luapan air sungai) serta membaca kitab al-Masthūr (tersurat), ternyata semua itu hanyalah rumus (simbol) yang di sana tersusun kaidah-kaidah hukum. Peraturan-peraturan itu bukanlah untuk Diri-Nya, melainkan untuk dirimu, semua simbol-simbol yang tersurat itu adalah untuk mengawal hidup dan kehidupanmu, dimaksudkan juga untuk kebaikan dirimu bukan untuk-Nya, maka tidak sepatutnya kau berujar (rumusan) ini untuk Diri-Nya dan (rumusan) ini untuk diriku, karena keadaan Diri-Nya tidak sama dengan keadaan dirimu, simbol-simbol itu dijadikan untuk dirimu sebagai cerminan Ujaran ke-Aku-an Diri-Nya kepada dirimu, karenanya selisiklah Madzlūliyah (makna tersirat) dari simbol-simbol-Nya, dan jangan terpaku dengan rumus-rumus tersurat-Nya, agar kau bisa memakrifahi substansi ke-Dia-an Diri-Nya, dengan begitu kau bisa memahami hakikat keberadaan dirimu dan kesejatian Diri-Nya dan kau merasa Dia selalu berada di sisimu, melihat dan memperlihatkan dirimu, meski kau tidak melihat, mengetahui dan mendapati-Nya namun demikian, kau bisa merasakan keberadaan-Nya dengan Dzauq (intuisi)mu.

Lebih lanjut sang Gharīb bertutur: Dengan Dzauq-ul-Wujdān (pengetahuan intuitif) itulah aku bisa memakrifahi kesejatian-Nya al-Ḥaqq menegaskan, jikalau seorang ‘ārif benar-benar telah menggapai hakikat makrifah, Dia akan menjadi penglihatan dan pendengaran sang ‘ārif (manusia yang telah makrifah), tidak ada satu pun yang disembunyikan darinya segala wujud, karena mata sang ‘ārif adalah manifestasi daripada mata Sang Pencipta segenap makhluk. Jika kau belum menggapai tingkat spiritual seperti itu, maka tidak sepatutnya kau mengingkari sesuatu yang belum kau gapai, karena penafianmu adalah wujud nyata dari keingkaranmu atas Diri-Nya, terlebih atas dirimu sendiri. Bagaimana mungkin kau mengingkari dimensi kegaiban yang tidak mampu kau sibak, becerminlah pada dirimu, sadarkah kau, bahwa kau dulunya tidak ada lalu menjadi ada, siapa yang membuatmu menjadi ada? Di mana pula kau sebelum hidup di alam dunia ini? Atau kini kau telah maujūd (ada) dan kau memiliki karakteristik yang menjadi atribut dirimu. Sifat-sifatmu itu tidak akan bisa dihilangkan dari dirimu, jika karakteristik dan sifat-sifatmu itu tercabut dari dirimu, lantas apa bedanya dirimu dengan patung? Seperti itu pula hendaknya kau menganalogikan dimensi ghaib. Sebab insan yang menafikan dimensi ghaib sama halnya dengan menafikan eksistensi dirinya dan ia tidak lebih dari patung-patung hidup. al-Ḥaqq menciptakan dirimu selaras dengan citra Diri-Nya. Ḥayyan (Yang hidup). ‘Āliman (Yang berpengetahuan). Qādiran (Yang berkuasa) Murīdan (Yang berkemauan), Samī‘an (Yang mendengar), Bashīran (Yang melihat). Mutakalliman (Yang berbicara), tidak ada satu pun yang menafikan terlebih memungkiri realita bahwasanya Dia adalah pencipta dirimu. Bukan hanya itu, Dia menciptakan dirimu sesuai dengan citra Diri-Nya, berikut menghiasi dirimu dengan sifat-sifatNya dan menamai dirimu dengan nama-namaNya.

Dia Maha Hidup dan kau hidup, Dia Maha Berpengetahuan dan kau pun berkemauan, Dia Maha Mendengar dan kau juga mendengar, Dia Maha Melihat dan kau pun melihat, Dia Maha Berbicara dan kau juga berbicara, Dia adalah dzāt dan kau adalah dzāt, Dia pengumpul dan kau pun pengumpul, Dia maujūd (ada) dan kau maujūd, Dia memiliki Rubūbiyah dan kau juga memiliki Rubūbiyah berdasarkan aturan hukum. Seperti yang ditegaskan Rasūl s.a.w. (Masing-masing di antara kalian adalah pemimpin, dan masing-masing pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya). Dia memiliki sifat Idām (eternitas) dan kau juga memiliki sifat eternitas (Idām) dengan I‘tibār bahwa kau maujūd (ada) dengan ilmu-Nya. Dan ilmu al-Ḥaqq tidak dibatasi ruang dan waktu, Dia membentangkan segala milik-Nya di hadapanmu dan kau pasrahkan segala sesuatu kepada-Nya. Dia sendiri (Tunggal) dalam keperkasaan dan kemuliaan, kau sendiri dalam kehinaan dan kelemahan. Maka hiduplah kau dengan aturan al-Ḥaqq, nisbatkan dirimu kepada-Nya, hidupmu Dia yang mengatur bukan kau yang mengatur Dia, jika kau ingin hidup bahagia hiduplah bersama dan ikut al-Ḥaqq.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *