فَالْحُسْنُ وَ الْقُبْحُ بِمَعْنَى مَلَاءَمَةِ الطَّبْعِ وَ مُنَافَرَتِهِ وَ صِفَةِ الْكَمَالِ وَ النَّقْصِ عَقْلِيٌّ وَ بِمَعْنَى تَرَتُّبِ الْمَدْحِ وَ الذَّمِّ عَاجِلًا وَ الْعِقَابِ آجِلًا شَرْعِيٌّ خَلَافًا لِلْمُعْتَزِلَةِ.
Baik dan buruk dengan arti kesesuaiannya atau ketidaksesuaiannya terhadap tabiat (selera) dan dalam arti sifat terpuji (kamāl) atau sifat tercela (naqsh) adalah bersifat rasional (‘aqliy). Sedangkan (baik dan buruk) dengan pengertian adanya konsekuensi pujian dan cacian seketika (di dunia) dan konsekuensi (pahala dan) siksa kelak (di akhirat), adalah bersifat syar‘i. Berbeda dengan pendapat Mu‘tazilah.
SEPUTAR ḤASAN DAN QABĪḤ
Golongan Asy‘ariyyah dan Mu‘tazilah menyepakati sebuah konsensus, bahwa akal dapat memahami ḥasan (baik) dan qabīḥ (buruk) dalam dua pemaknaan:
1. Ḥasan manakala diartikan sesuatu yang sesuai dengan tabiat (selera) manusia, seperti senang rasa manis, merdunya suara, dan menolong orang tenggelam. Dan manakala qabīḥ diartikan dengan sesuatu yang kontradiktif dan tidak disukai tabiat manusia, seperti tidak menyukai rasa pahit, suara kasar dan perampasan harta secara zhālim.
2. Ḥasan manakala diartikan sifat kesempurnaan, seperti berilmu dan jujur. Dan qabīḥ diartikan dengan sifat kekurangan, seperti bodoh dan berbohong. (201).
Silang pendapat terjadi manakala ḥasan diartikan sesuatu yang ketika dijalankan memiliki konsekuensi pujian di dunia dan pahala di akhirat dan qabīḥ diartikan kebalikannya.
1. Menurut Asy‘ariyyah, sumber penetapan dan pemahaman ḥasan (baik) dan qabīḥ (buruk) hanyalah syariat yang dibawa oleh seorang Rasūl. Segala apapun yang diperintahkan syara‘, seperti beriman, shalat dan haji adalah ḥasan, dan apapun yang dilarang syara‘, seperti berbuat kekufuran, dan perkara haram lainnya adalah qabīḥ. Akal tidak memiliki wewenang sama sekali dalam penetapan hukum. Sehingga seseorang tidak dituntut melakukan atau meninggalkan perkara yang menurut akalnya baik atau buruk, kecuali dakwah Rasūl telah sampai kepadanya. Dan konsekuensinya, siksa Allah s.w.t. tidak akan ditimpakan pada pelaku perbuatan yang menurut akalnya perbuatan tersebut qabīḥ (buruk), atau meninggalkan perbuatan yang menurut akalnya ḥasan (baik), sampai Allah s.w.t. mengutus seorang Rasūl.
2. Menurut Mu‘tazilah, dan beberapa kelompok pendukung, seperti Karāmiyyah, Khawārij, Syī‘ah Ja‘fariyyah, Barāhimiyyah dan Tsanawiyyah. Mereka mengatakan, sumber penetapan dan pemahaman ḥasan (baik) dan qabīḥ (buruk) adalah akal, dan tidak tergantung dengan adanya syara‘ (212). Tercela dan berdosanya seseorang sebelum terutusnya Rasūl ditetapkan oleh akal. (223) Anggapan mereka, syariat yang ditetapkan pada manusia merupakan sesuatu yang di dalamnya dapat dicerna dan dicapai oleh akal, dalam arti dapat ditelusuri bahwa di dalamnya pasti terkandung sebuah kemanfaatan atau kemudharatan. Kesimpulan mereka, apapun yang difahami oleh akal sebagai perkara yang baik atau buruk, maka syariat pun selaras dengan hal tersebut. Kedatangan Rasūl hanyalah sebagai penguat terhadap segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh akal. (234).
3. Pendapat ketiga yang diusung oleh As‘ad ‘Alī za-Zanjāniy dan Abul-Khithāb dari golongan Ḥanābilah berpendapat bahwa akal memiliki peran menghukumi ḥasan dan qabīḥ-nya sesuatu, akan tetapi tidak memiliki konsekuensi pahala dan dosa. Pendapat ketiga ini bisa dikatakan sebagai penengah antara pendapat pertama dan kedua. (245).
Catatan: