MUKADDIMAH
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. نَحْمَدُكَ اللهُمَّ عَلَى نِعَمٍ يُؤْذِنُ الْحَمْدُ بِازْدِيَادِهَا.
وَ نُصَلِّيْ عَلَى نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ هَادِي الْأُمَّةِ لِرَشَادِهَا وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ مَا قَامَتِ الطُّرُوْسُ وَ السُّطُوْرُ لِعُيُوْنِ الْأَلْفَاظِ مَقَامَ بِيَاضِهَا وَ سَوَادِهَا.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami memuji-Mu Ya Allah, atas ni‘mat-ni‘mat yang mana pujian tersebut menunjukkan semakin bertambahnya keni‘matan.
Kami bershalawat atas Nabi-Mu, Muḥammad, petunjuk umat menuju petunjuknya (yakni agama Islam), dan atas keluarga dan shahabat beliau, selama lembaran-lembaran kitab dan tulisan-tulisannya yang menjadi sumber makna lafazh-lafazh menempati putih lembaran dan hitam tulisan.
MUKADDIMAH DAN BEBERAPA DEFINISI
Tafsir dari kalimat (نَحْمَدُكَ) dalam redaksi di atas adalah “kami mensifati-Mu dengan keseluruhan sifat-Mu”. Karena (الْحَمْدُ) sebagaimana diungkapkan oleh az-Zamakhsyarī dalam kitab al-Fā’iq adalah penuturan sifat baik, dan semua sifat Allah s.w.t. adalah baik. Mengakomodir keseluruhan sifatnya akan lebih merepresentasikan tujuan pengagungan, sebagaimana yang dikehendaki dalam sebuah pujian. Karena hakikat makna yang dikehendaki adalah merealisasikan pujian, bukan mengkhabarkannya.
Penggunaan nūn ‘azhamah (keagungan diri pengujar, yakni dengan menyebut “kami”, bukan “aku”), bertujuan untuk menampakkan malzūm dari keagungan, yakni pengagungan. Karena setiap pengagungan pasti muncul dari adanya keagungan, di mana keagungan adalah lāzim (kelaziman; keniscayaan) dari pengagungan, dan pengagungan adalah malzūm-nya. Dengan maksud, bahwasanya Allah s.w.t. telah mengagungkan mushannif (pengarang) dengan menjadikannya mampu atau ahli dalam bidang ilmu.
Penggunaan nūn ‘azhamah yang menampakkan keagungan diri pengujarnya, dalam hal ini merupakan perwujudan taḥadduts bin-ni‘mah (menceritakan kenikmatan), sebagaimana firman Allah s.w.t.:
وَ أَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (الضحى: 11)
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. adh-Dhuḥā: 11)
Menampakkan keagungan diri semacam ini bukan termasuk tazkiyat-un-nafs (menganggap baik diri sendiri), sebagaimana dilarang dalam firman Allah s.w.t.:
فَلَا تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ (النجم: 32)
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci.” (QS. an-Najm: 32).
Karena tazkiyat-un-nafs yang dilarang adalah yang bertujuan riyā’ (pamer), sum‘ah (mencari popularitas) dan kebanggaan diri, bukan yang bertujuan untuk mengenalkan diri agar diketahui kedudukan keilmuannya sehingga dijadikan tujuan, diikuti dan diambil manfaat oleh manusia lain. Pengarang mengucapkan ḥamdalah (pujian) karena mendapatkan kenikmatan, bukan pujian secara mutlak, ini karena memuji yang dilakukan karena mendapat kenikmatan adalah wajib hukumnya. Sedangkan memuji secara mutlak (bukan karena mendapatkan kenikmatan) hukumnya adalah sunnah.
Maksud dari “pujian menunjukkan semakin bertambahnya kenikmatan” adalah bahwa dengan membaca hamdalah, seorang hamba berarti telah mendapatkan kenikmatan tambahan, karena kemampuan dan kemauan melakukan ḥamdalah adalah atas ilham dan petunjuk dari Allah s.w.t. Dan inipun merupakan sebuah kenikmatan tersendiri, sebagai tambahan atau kenikmatan yang disyukuri melalui ḥamdalah. Kemauan dan kemampuan ber-ḥamdalah yang merupakan kenikmatan inipun harus disyukuri melalui bacaan ḥamdalah kedua. Demikian seterusnya.
Catatan:
Ragam bahasa yang lazim terpakai sebagai pujian banyak jumlahnya. Di antaranya (نَحْمَدُكَ), dan (الْحَمْدُ للهِ) di mana masing-masing dari sudut pandang tertentu memiliki keunggulan. Dari perspektif sastra, bahasa pertama (نَحْمَدُكَ) lebih unggul dibandingkan bahasa kedua, karena cakupannya luas atas segala pujian. Atas dasar motif inilah pengarang memilih bahasa tersebut dalam kitabnya. Sedangkan keunggulan bahasa kedua (الْحَمْدُ للهِ) adalah dari segi tafshīliyyah (perincian) lebih mengena dalam hati. Karena lafazh tersebut memuat huruf lām yang memiliki arti milk (kepemilikan), dalam arti hanya Dialah yang memiliki segala macam pujian.
Selanjutnya pengarang menyampaikan shalawat dan salam kepada Nabi Muḥammad s.a.w., keluarga dan shahabatnya, selama kitab-kitab ilmu, putih lembaran dan hitam tulisannya menempati tempatnya. Yakni selama para pengenyam ilmu menekuni aktifitas keilmuannya hingga hari kiamat, sebagaimana dalam sebuah hadits:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى يَأْتِيْ أَمْرُ اللهِ.
“Tak henti-hentinya sekelompok dari umatku membela kebenaran hingga tiba hari kiamat”. (HR. Bukhārī dan Muslim).
Imām al-Bukhārī berkata: “mereka adalah ahli ilmu”, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat yang lain. (11).
Catatan: