2-3-2 Wawu Sebagai Pengganti Dhammah – Ilmu Nahwu Tuhfat-us-Saniyah

Dari Buku:
Ilmu Nahwu Terjemah Tuhfat-us-Saniyah
(Judul Asli: Tuḥfat-us-Saniyati Syarḥu Muqaddimat-il-Ajurrumiyyah)
Oleh: Muhammad Muhyidin ‘Abdul Hamid
Penerjemah: Muhammad Taqdir
Penerbit: Media Hidayah

Wāwu Sebagai Pengganti Dhammah

MATAN

وَ أَمَّا الْوَاوُ فَتَكُوْنُ عَلَامَةً لِلرَّفْعِ فِيْ مَوْضِعَيْنِ فِيْ جَمْعِ الْمُذَكَّرِ السَّالِمِ وَ فِي الْأَسْمَاءِ الْخَمْسَةِ وَ هِيَ أَبُوْكَ وَ أَخُوْكَ وَ حَمُوْكَ وَ فُوْكَ وَ ذُوْ مَالٍ

Adapun huruf wāwu, ia menjadi tanda bagi i‘rāb rafa‘ pada dua tempat yaitu pada jama‘ mudzakkar sālim dan pada asmā’-ul-khamsah, yaitu

(أَبُوْكَ), (أَخُوْكَ), (حَمُوْكَ), (فُوْكَ), dan (ذُوْ مَالٍ).

SYARAH

Wāwu menjadi tanda bagi rafa‘-nya suatu kata pada dua tempat yaitu pada jama‘ mudzakkar sālim dan asmā’-ul-khamsah.

1. Jama‘ Mudzakkar Sālim.

Jama‘ mudzakkar sālim ialah isim yang menunjukkan bilangan lebih dari dua (2) (laki-laki) dengan terdapat tambahan di akhirnya dan isim ini bisa dihilangkan tambahannya dan di-‘athaf-kan yang semisal dengannya. Contoh:

(فَرَحَ الْمُخَلَّفُوْنَ) – Orang-orang yang tidak ikut berperang merasa gembira. (at-Taubah: 81).

(لكِنِ الرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَ الْمُؤْمِنُوْنَ) – Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mu’min (an-Nisā’: 62).

(وَ لَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُوْنَ) – Walaupun orang-orang yang berdosa itu tidak menyukainya. (an-Anfāl: 8).

(إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُوْنَ صَابِرُوْنَ) – Jika ada dua puluh (20) orang bersabar di antara kamu. (al-Anfāl: 65)

(وَ آخَرُوْنَ اعْتَرَفُوْا بِذُنُوْبِهِمْ) – Ada pula orang-orang yang lainnya mengakui akan dosa-dosa mereka. (at-Taubah: 102).

Masing-masing dari kata

(الْمُخَلَّفُوْنَ), (الرَّاسِخُوْنَ), (الْمُؤْمِنُوْنَ), (الْمُجْرِمُوْنَ), (صَابِرُوْنَ), dan (آخَرُوْنَ)

adalah jama‘ mudzakkar sālim yang menunjukkan sebagai isim yang berjumlah lebih dari dua (2) (laki-laki) dengan tambahan di akhirnya yaitu huruf wāwu dan nūn; dan tambahan itu bisa dihilangkan darinya (untuk mengetahui bentuk tunggulnya). Perhatikanlah, jika anda katakan:

(مُخَلَّفٌ), (رَاسِخٌ), (مُؤْمِنٌ), (مُجْرِمٌ), (صَابِرٌ), dan (آخَرٌ)

Semua lafazh jama‘ (mudzakkar sālim) yang terdapat pada ayat-ayat di atas adalah marfū‘. Tanda rafa‘-nya adalah huruf wāwu sebagai pengganti dhammah. Adapun huruf nūn yang terletak setelah wāwu adalah (عِوَضٌ) pengganti tanwīn pada kata (مُخَلَّفٌ) dan kata-kata yang sejenis dengannya dari isim-isim mufrad.

2. Asmā’-ul-Khamsah.

Asmā’-ul-khamsah ialah lafazh tertentu yang telah disebutkan oleh penulis, yaitu:

(أَبُوْكَ), (أَخُوْكَ), (حَمُوْكَ), (فُوْكَ), dan (ذُوْ مَالٍ).

Isim-isim ini di-rafa‘-kan dengan huruf wāwu sebagai pengganti dhammah. Contoh:

(حَضَرَ أَبُوْكَ، وَ أَخُوْكَ، وَ حَمُوْكَ، وَ فُوْكَ، وَ ذُوْ مَالٍ) – Bapakmu, saudara laki-lakimu, iparmu, mulutmu, dan pemilik harta telah datang.

(هذَا أَبُوْكَ) – Ini adalah bapakmu.

(أَبُوْكَ رَجُلٌ صَالِحٌ) – Bapakmu adalah seorang yang shalih.

Allah berfirman:

(وَ أَبُوْنَا شَيْخٌ كَبِيْرٌ) – Sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya. (al-Qashash: 23).

(مِنْ حَيْثُ أَمَرَهُمْ أَبُوْهُمْ) – Menurut yang diperintahkan bapak mereka. (Yūsuf: 68).

(وَ إِنَّهُ لَذُوْ عِلْمٍ) – Sesungguhnya dia memiliki pengetahuan. (Yūsuf: 68).

(إِنِّيْ أَنَا أَخُوْكَ) – Sesungguhnya aku ini adalah saudaramu. (Yūsuf: 69).

Isim-isim yang tersebut dalam contoh-contoh di atas adalah marfū‘, dan tanda rafa‘-nya adalah wāwu sebagai pengganti dhammah. Adapun dhamīr (kata ganti), kata (مَالٍ), atau kata (عِلْمٍ) yang terletak setelahnya merupakan mudhāf ilaihi.

Ketahuilah, bahwa asmā’-ul-khamsah tidak di-i‘rāb dengan i‘rāb ini (yakni di-rafa‘-kan dengan wāwu, di-nashab-kan dengan alif, dan di-jarr-kan dengan yā’, kecuali dengan beberapa syarat; dan syarat-syarat ini di antaranya ada yang berlaku pada seluruhnya dan ada yang hanya berlaku pada sebagian asmā’-ul-khamsah. Adapun syarat yang berlaku pada seluruh asmā’-ul-khamsah ada empat (4), yaitu:

  1. Bentuknya harus mufrad (tunggal).
  1. Bentuknya harus mukabbarah (tidak di-tashghīr/dibuat bentuk kecilnya).
  1. Harus berkedudukan sebagai mudhāf (harus di-idhāfah-kan).
  1. Tidak di-idhāfah-kan kepada yā’-ul-mutakallim.

Syarat “bentuknya harus mufrad” mengecualikan asmā’-ul-khamsah yang berbentuk mutsannā atau jama‘, baik jama‘ mudzakkar sālim atau jama‘ taksīr. Seluruh bentuk tersebut terkecualikan dari asmā’-ul-khamsah. Jika kata itu berbentuk jama‘ taksīr, maka di-i‘rāb dengan harakat yang zhāhirah (dhammah/fatḥah/kasrah yang zhāhirah). Contoh:

(الْآبَاءُ يُرَبُّوْنَ أَبْنَاءَهُمْ) – Bapak-bapak itu mendidik anak-anak mereka.

(إِخْوَانُكَ يَدُكَ الَّتِيْ تَبْطِشُ بِهَا) – Para saudara laki-lakinya adalah tanganmu yang dapat kamu gunakan untuk berbuat.

Allah ta‘ālā berfirman:

(آبَاؤُكُمْ وَ أَبْنَاؤُكُمْ) – Bapak-bapakmu dan anak-anakmu. (an-Nisā’: 11).

(إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ) – Sesungguhnya orang-orang mu’min itu bersaudara. (al-Ḥujurāt: 10).

(فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْتِهِ إِخْوَانًا) – Jadilah kamu karena nikmat Allah sebagai orang-orang yang bersaudara (Āli ‘Imrān: 103).

Jika isim itu mutsannā maka ia di-i‘rāb dengan i‘rāb mutsannā, yaitu di-rafa‘-kan dengan alif, di-nashab-kan dan di-jarr-kan dengan yā’. Akan dijelaskan sebentar lagi keterangan tentang hal itu. Contoh:

(أَبَوَاكَ رَبَّيَاكَ) – Kedua orang tuamu telah mendidikmu.

(تَأَدَّبْ فِيْ حَضْرَةِ أَبَوَيْكَ) – Berlaku santunlah di hadapan kedua orang tuamu!

Allah ta‘ālā berfirman:

(وَ رَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ) – Dia menaikkan kedua orang tuanya ke atas singgasana. (Yūsuf: 100).

(فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ) – Karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu. (al-Ḥujurāt: 10).

Jika isim itu jama‘ mudzakkar sālim, maka ia di-rafa‘-kan dengan huruf wāwu, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, dan di-nashab-kan serta di-jarr-kan dengan yā’. Contoh:

(هؤُلَاءِ أَبُوْنَ وَ أَخُوْنَ) – Mereka adalah para bapak dan saudara-saudara.

(رَأَيْتُ أَبِيْنَ وَ أَخِيْنَ) – Saya melihat para bapak dan saudara-saudara.

Asmā’-ul-khamsah yang dapat di-jama‘-kan (dengan jama‘ mudzakkar sālim) hanyalah kata (الْأَبُ) dan (الْأَخُ); dan hukum qiyās mengandung konsekuensi untuk tidak men-jama‘ apa pun dari isim-isim tersebut dengan jama‘ mudzakkar sālim.

Berdasarkan syarat “bentuknya harus mukabbarah (sempurna/tidak di-tashghīr)”, maka isim yang telah di-tashghīr di-i‘rāb-kan dengan harakat-harakat yang zhāhirah, di-rafa‘-kan dengan dhammah, di-nashab-kan dengan fatḥah, dan di-jarr-kan dengan kasrah. Contoh:

(هذَا أُبَيٌّ وَ أُخَيٌّ) – Ini bapak kecil dan kakak kecil.

(رَأَيْتُ أُبَيًّا وَ أُخَيًّا) – Saya melihat bapak kecil dan kakak kecil.

(مَرَرْتُ بِأُبَيٍّ وَ أُخَيٍّ) – Saya melalui bapak kecil dan kakak kecil.

Berdasarkan syarat “harus berkedudukan sebagai mudhāf (di-idhāfah-kan)”, maka asmā’-ul-khamsah yang tidak di-idhāfah-kan tidak di-i‘rāb dengan i‘rāb ini. Jika isim-isim itu tidak di-idhāfah-kan, maka ia di-i‘rāb dengan harakat. Contoh:

(هذَا أَبٌ) – Ini adalah seorang bapak.

(رَأَيْتُ أَبًا) – Saya melihat seorang bapak.

(مَرَرْتُ بِأَبٍ) – Saya melewati seorang bapak.

Demikian juga asmā’-ul-khamsah yang lainnya seperti firman Allah ta‘ala:

(وَ لَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ) – Dia mempunyai seorang saudara laki-laki seibu atau seorang saudara perempuan seibu. (an-Nisā’: 12).

(إِنْ يَسْرِقْ فَقَدْ سَرَقَ أَخٌ لَهُ مِنْ قَبْلُ) – Jika ia mencuri maka sesungguhnya telah mencuri pula saudaranya sebelum itu. (Yūsuf: 77).

(قَالَ ائْتُوْنِيْ بِأَخٍ لَكُمْ مِنْ أَبِيْكُمْ) – Dia [Yūsuf] berkata: Bawalah kepadaku saudaramu yang seayah dengan kamu [Binyamīn]. (Yūsuf: 59).

(إِنَّ لَهُ أَبًا شَيْخًا كَبِيْرًا) – Sesungguhnya dia mempunyai ayah yang sudah lanjut usia. (Yūsuf: 78).

Berdasarkan syarat “tidak di-idhāfah-kan kepada yā’-ul-mutakallim”, maka isim yang di-idhāfah-kan kepada yā’-ul-mutakallim tidak di-i‘rāb dengan i‘rāb ini, namun di-i‘rāb-kan dengan ḥarakat muqaddarah pada huruf yang terletak sebelum yā’-ul-mutakallim. Faktor yang menghalangi munculnya harakat pada kata-kata itu adalah karena huruf yang mesti ditempatinya harus menyesuaikan harakatnya dengan yā’-ul-mutakallim. Contoh:

(حَضَرَ أَبِيْ وَ أَخِيْ) – Bapak dan saudaraku telah hadir.

(اِحْتَرَمْتُ أَبِيْ وَ أَخِيْ الْأَكْبَرَ) – Saya menghormati bapakku dan kakak laki-lakiku.

(أَنَا لَا أَتَكَلَّمُ فِيْ حَضْرَةِ أَبِيْ وَ أَخِيْ الْأَكْبَرِ) – Saya tidak berbicara di hadapan bapak dan kakak laki-lakiku.

Allah ta‘ālā berfirman:

(إِنَّ هذَا أَخِيْ) – Sesungguhnya ini adalah saudaraku. (Shād: 213).

(أَنَا يُوْسُفُ وَ هذَا أَخِيْ) – Akulah Yusuf dan ini saudaraku. (Yūsuf: 90).

(فَأَلْقُوْهُ عَلَى وَجْهِ أَبِيْ) – Lalu letakkan dia ke wajah ayahku. (Yūsuf: 93)

Adapun syarat-syarat yang hanya berlaku pada sebagian asmā’-ul-khamsah dan tidak berlaku pada sebagian lainnya adalah seperti ketentuan yang berlaku pada kata (فُوْكَ). Kata tersebut tidak di-i‘rāb dengan i‘rāb asmā’-ul-khamsah, kecuali dengan syarat: kata ini harus terbebas dari huruf mīm (tidak bersambung dengan huruf mīm). Jika kata ini bersambung dengan huruf mīm, maka kata ini di-i‘rāb dengan harakat yang zhāhirah. Contoh:

(هذَا فَمٌ حَسَنٌ) – Inilah mulut yang bagus.

(رَأَيْتُ فَمًا حَسَنًا) – Saya melihat mulut yang bagus.

(نَظَرْتُ إِلَى فَمٍ حَسَنٍ) – Saya memandang mulut yang bagus.

Ini adalah syarat tambahan yang hanya berlaku pada kata ini ditambah dengan syarat-syarat yang telah disebutkan sebelumnya.

Di antara syarat tambahan lainnya adalah pada kata (ذُوْ). Kata ini tidak di-i‘rāb dengan i‘rāb asmā’-ul-khamsah kecuali dengan tambahan syarat yang lain, yaitu pertama, kata (ذُوْ) harus bermakna pemilik; kedua, harus di-idhāfah-kan pada isim jenis yang zhāhir bukan washf (sifat) (seperti isim fā‘il, isim maf‘ūl, dan lain-lain).

Jika kata ini tidak bermakna pemilik namun berfungsi sebagai isim maushūl (kata sambung) maka kata ini mabnī. Contoh kata (ذُوْ) yang tidak berfungsi sebagai isim maushūl adalah ucapan Abū Thayyib al-Mutanabbi’:

ذُو الْعَقَلِ يَشْقَى فِي النَّعِيْمِ بِعَقَلِهِ وَ أَخُو الْجَاهَالَةِ فِي الشَّقَاوَةِ يَنْعَمُ

(Pemilik akal sengsara dalam kenikmatan dengan akal

sedangkan orang bodoh dalam kesengsaraan bergembira).

Dia syarat ini merupakan syarat tambahan pada kata (ذُوْ) selain empat (4) syarat yang telah disebutkan.

 

Latihan:
1. Tentukanlah kata-kata yang tersebut dalam kalimat-kalimat berikut ini, mana kata yang di-rafa‘-kan dengan dhammah yang zhāhirah, yang di-rafa‘-kan dengan dhammah yang muqaddarah, dan yang di-rafa‘-kan dengan wāwu, disertai penjelasan masing-masing kata tersebut:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَاتِهِمْ خَاشِعُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ.

وَ رَأَى الْمُجْرِمُوْنَ االنَّارَ فَظَنُّوْا أَنَّهُمْ مُوَاقِعُوْهَا وَ لَمْ يَجِدُوْا عَنْهَا مَصْرِفًا.

الْفِتْنَةُ تُلْحِقُهَا النَّجْوَى وَ تُنْتِجُهَا الشَّكْوَى.

إِخْوَانُكَ هُمْ أَعْوَانُكَ إِذَا اشْتَدَّ بِكَ الْكَرْبُ، وَ أُسَاتُكَ إِذَا عَضَّكَ الزَّمَانُ.

النَّائِبَاتُ مِحَكُّ الْأَصْدِقَاءِ.

أَبُوْكَ يَتَمَنَّى لَكَ الْخَيْرَ وَ يَرْجُوْ لَكَ الْفَلَاحَ.

أَخُوْكَ الَّذِيْ إِذَا تَشْكُوْ إِلَيْهِ يُشْكِيْكَ. وَ إِذَا تَدْعُوْهُ عِنْدَ الْكَرْبِ يُجِيْبُكَ.

2. Isilah titik-titik pada kalimat-kalimat di bawah ini dengan salah satu isim dari asmā’-ul-khamsah yang di-rafa‘-kan dengan wāwu!

  1. إِذَا دَعَاكَ…….فَأَجِبْهُ.
  2. لَقَدْ كَانَ مَعِيْ……..بِالْأَمْسِ.
  3. ………كَانَ صَدِيْقًا لِيْ.
  4. هذَا الْكِتَابُ أَرْسَلَهُ لَكَ.

3. Isilah titik-titik pada kalimat-kalimat di bawah ini dengan jama‘ taksīr yang di-rafa‘-kan dengan dhammah yang zhāhirah pada sebagiannya dan yang di-rafa‘-kan dengan dhammah yang muqaddarah pada sebagian yang lainnya!الشِّدَّةِ.

  1. ……. أَعْوَانُكَ عِنْدَ الشِّدَّةِ.
  2. حَضَرَ ……. فَأَكْرَمْتُهُمْ.
  3. كَانَ مَعَنَا أَمْسِ ……. كِرَامٌ.
  4. …….. تُفْضَحُ الْكَذُوْبَ.

 

Pertanyaan:

  1. Pada berapa tempa wāwu menjadi tanda rafa‘?
  1. Apakah jama‘ mudzakkar sālim itu?
  1. Buatlah tiga (3) contoh jama‘ mudzakkar sālim dalam keadaan rafa‘!
  1. Sebutkanlah asmā’-ul-khamsah!
  1. Apa yang disyaratkan pada asmā’-ul-khamsah untuk dapat di-rafa‘-kan dengan wāwu sebagai pengganti dhammah?
  1. Jika asmā’-ul-khamsah bentuknya jama‘ taksīr dengan tanda apa kata itu anda i‘rāb?
  1. Jika asmā’-ul-khamsah bentuknya mutsannā dengan tanda apa kata itu anda i‘rāb?
  1. Buatlah dua (2) contoh isim dari asmā’-ul-khamsah yang terbentuk mutsannā dan dua (2) contoh isim dari asmā’-ul-khamsah yang terbentuk jama‘!
  1. Jika asmā’-ul-khamsah tersebut di-tashghīr (dibuat bentuk kecil) maka dengan tanda apa anda meng-i‘rāb-nya?
  1. Jika asmā’-ul-khamsah tersebut di-idhāfah-kan kepada yā’-ul-mutakallim dengan tanda apa anda meng-i‘rāb-nya?
  1. Apa syarat khusus bagi kata (ذُوْ)?
  1. Apa syarat khusus bagi kata (فُوْكَ)?

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *