Thariqah Alawiyah (I) | Bab 2 : Keutamaan Menulis Ilmu

Thariqah 'Alawiyah Jalan Lurus Menuju Allah
Terjemah : al-Manhaj al-Sawi Syarh Ushul Thariqah al-Saadah Aali Ba’Alawi
Pengarang : Al Habib Zain bin Smith
Penerjemah : Ust. Husin Nabil Assegaf
Penerbit : Nafas

Keutamaan Menulis Ilmu

Nabi Saw. bersabda, “Apabila seorang anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara. Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.1 Para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud sedekah jariyah setelah seseorang mati adalah wakaf, sedangkan ilmu yang bermanfaat setelah mati adalah karangan, pengajaran, dan fatwa yang diberikan. Dalam hal ini, mengarang adalah lebih nyata karena lebih bersinambungan. Sedangkan as-Subki2 menjelaskan: bahwa orang alim sekalipun luas bekal ilmunya dan jelas manfaatnya, tetapi manfaatnya terbatas pada masa hidupnya, apabila tidak mengarang suatu kitab yang dapat ditinggalkan ketika telah tiada atau mewariskan ilmu yang dapat dikutip oleh muridnya ketika tersesat.

Diriwayatkan dari Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas3 bahwasanya suatu ketika seseorang mengatakan di tempat beliau tentang banyaknya karangan. Lalu seorang yang hadir mengatakan bahwa beliau tidak perlu mengarang lagi saat itu. Maka berkatalah Habib Umar, “Apakah akan merugikan bila seseorang menyeru setelah sebelumnya ada orang lain yang menyeru?

Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan. “Sesungguhnya Allah menuturkan kepada para ulama setiap zaman. sesuatu yang sesuai dengan orang pada zaman itu. Namun, karangan dapat mencapai tempat-tempat yang jauh dan akan tetap ada meskipun orang alim itu telah tiada. Maka baginya akan tercapai dengan semua itu keutamaan menyebarkan ilmu. Dan seseorang yang membuat karangan akan dicatat sebagai guru yang selalu menyeru kepada Allah meskipun telah berada di dalam kubur. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘Barangsiapa yang membangkitkan lisannya untuk suatu kebenaran yang setelah ia tiada tetap diamalkan orang, maka ia akan diberi ganjarannya sampai hari Kiamat.’4

Al-Imam an-Nawawi mengatakan, “Semestinya seorang guru memberikan perhatian kepada kegiatan mengarang (menulis-ed.) apabila ia mempunyai keahlian untuk itu. Dengan mengarang seseorang akan mengetahui hakikat-hakikat ilmu dan detail-detailnya. dan ilmu itu akan bertahan padanya karena kegiatan itu akan memaksanya untuk banyak meneliti, mengkaji, mendalami, berdiskusi, dan melakukan penelaahan.5

Di antara manfaat mengarang, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Khatib al-Baghdadiy, adalah bahwa mengarang mengokohkan ingatan, menyucikan hati, mengasah tabiat, memperbagus penjelasan, membuat pengarangnya memiliki nama baik dan pahala yang besar, serta mengabadikannya sampai akhir masa. Dan yang paling utama adalah yang terjaga manfaatnya secara merata dan banyak dibutuhkan orang, serta belum pernah dikarang sebelumnya.

Al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi mengatakan, “Di antara hak para syaikh terhadap murid-muridnya adalah menjaga ilmu dan manfaat yang mereka berikan. Serta menyampaikan kepada orang setelah mereka agar dapat mengambil manfaat dari mereka. Dan agar besar -dengan pahala orang mengambil manfaat dengannya- pahala mereka dan senantiasa hidup sebutan mereka. Karena setiap orang yang mendapatkan petunjuk dan mengamalkan ilmunya sampai hari Kiamat, akan menghasilkan pahala baginya, dan gurunya juga akan mendapatkan ganjaran yang sama dengannya. Sedangkan guru dari gurunya mendapatkan dua kali ganjarannya, guru yang di atasnya lagi akan mendapatkan empat kali ganjarannya, guru yang di atasnya lagi akan mendapatkan delapan kali ganjarannya. Demikianlah, setiap tingkatan berlipat ganda sejumlah pahala orang-orang sesudahnya sampai Nabi Saw. Dengan demikian, dapat diketahui mengapa para pendahulu lebih utama dibandingkan orang-orang belakangan.” Demikian dikutip dari ‘Iqd al-Yawaaqit.

Al-Imam an-Nawawi mengatakan, “Seorang alim yang merupakan penulis, semestinya memiliki perhatian lebih pada hasil karya yang belum pernah ditulis sebelumnya. Maksud dari ucapan ini adalah, tidak adanya tulisan yang memenuhi kebutuhan sebagaimana tulisannya dalam segala metodenya. Jika memenuhi kebutuhan sebagian metodenya, hendaknya dia menulis dari jenis tulisan yang sama dan menambahkan manfaat yang dihimpun dengannya, serta merangkum metode yang terlewatkan. Hendaknya tulisannya mencakup manfaat dan banyak dijadikan rujukan.6

Catatan:

  1. Telah disebutkan takhrijnya dari Muslim (1631) dan at Tirmidzi (1376) dari hadits Abu Hurairah
  2. Seorang imam allamah, ushuli, faqih, menguasai berbagai disiplin ilmu, pemuka para qadhi: Tajuddin Abu Nashr Abdul Wahhab bin Ali bin Abdul Kafi as-Subki (727-771 H). termasuk muhaqqiq di kalangan imam dan seorang yang terlihat dalam sebagian besar ilmu. Ada pendapat yang mengatakan bahwa beliau telah sampai kepada derajat mujtahid. Beliau mengarang karya-karya yang memiliki keunggulan seperti Jam’u al-Jawami, Mu’id an-Ni’am, al-Asybah wa an-Nazhaair, lalu ensiklopedinya yang padat: Thabaqat asy Syafi’iyyah al-Kubra, dan sebagainya.
  3. Imam besar, salah seorang tokoh terkemuka pada masanya, Umar bin Abdurrahman bin Aqil al-Attas, lahir di al-Lask, sebelah timur Tarim, tahun 992 H. Wafat di Huraidhah tahun 1072 H. Mengambil ilmu dari gurunya, al-Husain bin Syaikh Abu Bakar bin Salim, sedangkan yang mengambil ilmu darinya di antaranya al-Imam al-Haddad. Al-Habib Ali bin Hasan al-Attas secara khusus menulis riwayat hidupnya dalam dua jilid besar yang dinamainya al-Qirthas. Terdapat pula riwayat hidupnya dalam Syarh al ‘Ainiyyah.
  4. Di-takhrij-kan oleh al-Imam Ahmad dalanı Musnad-nya (3: 266) dari hadits Anas bin Malik
  5. Mukadimah kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (1:29)
  6. Mukadimah kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (1:30)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *