(lanjutan)
Bila seorang telah mati, tak ada lagi yang mengalir atasnya
Dari perbuatannya kecuali sepuluh perkara
Ilmu yang disebarkannya, doa anaknya
Kurma yang ditanamnya, sedekah yang diberikannya
Mushaf yang diwariskannya, benteng yang dibangunnya
Sumur yang digalinya, sungai yang dialirkannya
Rumah untuk pendatang asing yang dibangunnya
atau tempat berzikir yang didirikannya
Di antara hadits mengenai keutamaan mengajar yang banyak jumlahnya adalah sabda Nabi Saw., “Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, bahkan semut di lubangnya dan juga ikan, mendoakan kebaikan atas seorang pengajar.“1 Nabi Saw. juga bersabda, “Sedekah yang paling utama adalah apabila seorang muslim mempelajari ilmu kemudian mengajarkannya kepada saudaranya sesama muslim.“2 Nabi Saw. juga bersabda, “Yang paling pemurah di antara kalian setelah aku adalah seseorang yang mengetahui ilmu lalu menyebarkannya, ia akan dibangkitkan pada hari Kiamat seperti satu umat.“3
Al-Hasan al-Bashriy mengatakan, “Aku lebih mencintai mempelajari satu bab ilmu lalu mengajarkannya kepada seorang muslim, daripada memiliki dunia seluruhnya di jalan Allah.” Demikian dikutip dari kitab al-Ihya.
Terdapat pula keterangan yang menyebutkan bahwa Allah memberikan wahyu kepada Nabi Musa, “Pelajarilah kebaikan dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya Aku memberikan cahaya kepada orang yang mengajarkan ilmu dan orang yang mempelajarinya di kubur mereka, sehingga tidak merasa kesepian di tempat mereka.”
Prioritas dalam Mengajar adalah untuk Istri, Anak, dan Semacamnya
Dari Imam Ali ra. disebutkan penafsiran tentang firman Allah Ta’ala, “Jagalah diri dan keluarga kalian dari siksa neraka.” (QS. at-Tahrim: 6)
Dikatakan, “Ajarkanlah diri kalian dan keluarga kalian kebaikan.”4 Yakni, yang menyelamatkan mereka dari neraka. Dari Ibnu Abbas, mengatakan, “Berilah pemahaman, ajarkanlah, dan didiklah mereka.” Muqatil” mengatakan, “Hak seorang muslim adalah mengajar diri, keluarga, dan hamba sahayanya, dengan mengajarkan kepada mereka kebaikan dan mencegah mereka dari keburukan.”
Saya (penulis) mengatakan, “Dalam hal itu terdapat petunjuk mengenai kuatnya kewajiban mengajar istri, anak-anak, dan yang seperti mereka. Mereka lebih penting dan harus lebih didahulukan daripada mengajar orang-orang selain mereka, karena setiap pemimpin akan ditanya tentang orang-orang yang dipimpinnya.”
Habib Ahmad bin Umar bin Sumaith mengatakan, “Kebaikan terhadap anak yang wajib atas orang tua adalah mengajar dan mendidiknya. Nabi Saw. tidak banyak memberi dorongan mengenai kebaikan terhadap anak karena hal itu telah tercukupi dengan adanya dorongan tabiat manusia untuk melakukannya itu, dan itu lebih kuar daripada dorongan syariat. Berbeda dengan kebaikan terhadap orang tua yang wajib atas anak, syariat sangat memberi dorongan. Tetapi keduanya sama-sama wajib.”
Al-Imam Ali Krw. berkata, “Sesungguhnya seorang ayah memiliki hak atas anaknya, dan sesungguhnya seorang anak memiliki hak atas ayahnya. Hak ayah atas anak adalah ditaati dalam segala hal kecuali dalam maksiat kepada Allah yang Mahasuci. Sedangkan hak anak atas ayah adalah diberi nama yang baik, diajarkan adab yang baik, dan diajarkan Al-Qur’an,”
Al-Imam al-Habib Abdullah bin Husain bin Thahir mengatakan dalam risalahnya yang bernama Shilah al-Ahl wa al-Aqrabin bi Ta’lim ad-Din, “Wajib atas bapak, ibu, dan wali, untuk mengajar anak-anak, keluarga, hamba sahaya, dan setiap orang yang berada dalam tanggungan mereka tentang sesuatu yang wajib atas mereka, seperti iman, shalat, zakat, dan haji, dan memerintahkan mereka untuk mempelajarinya. Juga mengajar mereka tentang hal-hal yang diharamkan seperti zina, membuka aurat, mencuri, khianat, berbohong, ghibah (membicarakan orang lain meskipun yang dibicarakan benar), namimah (mengadu domba), sombong, dengki, riya, dan sebagainya, serta mencegah mereka dari hal-hal tersebut. Jika mengabaikan hal itu berarti mereka menipu, mengkhianati, dan menzalimi orang-orang yang berada dalam tanggungan mereka.”
Imam al-Ghazali mengatakan dalam al-Ihya, “Dikatakan bahwa yang pertama terkait dengan seseorang pada hari Kiamat adalah istri dan anaknya, lalu mereka berdiri di hadapan Allah kemudian mengatakan, “Wahai Tuhan kami, ambillah hak kami darinya, sesungguhnya ia tidak mengajari kami apa yang tidak kami ketahui dan ia memberi kami makanan yang haram dan kami tidak mengetahuinya. Maka Allah mengambil balasan untuk mereka darinya.”
Nabi Saw bersabda, “Mengapa beberapa kaum tidak memberikan pemahaman kepada tetangga-tetangga mereka, tidak mengajari, tidak mengingatkan, tidak menganjurkan (kepada kebaikan), dan tidak pula mencegah mereka (dari keburukan)? Mengapa beberapa kaum tidak belajar dari tetangga-tetangga mereka, tidak mencari pemahaman, dan tidak mengambil peringatan? Demi Allah, hendaklah suatu kaum mengajar tetangga tetangga mereka, memberikan pemahaman, mengingatkan, menganjurkan (kepada kebaikan), dan mencegah mereka (dari keburukan)? Dan hendaklah suatu kaum belajar dari tetangga tetangga mereka, mencari pemahaman, dan mengambil peringatan. Atau, akan aku segerakan hukuman untuk mereka di dunia?“5
Jika antara tetangga dan tetangga mendapat perhatian seperti di atas, lalu bagaimana dengan antara anggota keluarga dan anggota keluarga lainnya? Dalam hadits lain dari Rasulullah Saw. disebutkan “Hak seorang anak dari ayahnya adalah membaguskan namanya membaguskan penyusuannya, dan membaguskan adabnya,“6
Sayyidina al-Imam Thâhir bin Husain bin Thahir dalam qashidahnya tentang anjuran mengajar dan mendidik anak mengatakan,
Dalam ilmu cahaya tuk penjaganya
Dan mengalir kepada yang lain, jin dan manusia
Belajar di waktu kecil bak mengukir di atas batu
Kokoh dan menetap di hati selalu
Hati anak bagai batu tulis yang bersih
Yang pertama dijumpa tampak nyata
Maka selama jernih hatinya
Tanamkan yang membawa ke surga
Jika tidak, tentara nafsu kan menguasai
Dan akan menduduki tempatnya
Setelah itu akan sulit mengusirnya
Dan akan panjang penderitaannya,
jika membiarkan anak dengan hawa nafsunya
Di kala masih kecil oleh kedua orang tua
Tak lama pasti mereka kan melihat
Kedurhakaan dan sesuatu yang tak mereka suka
Di hari Kiamat akan mengajukan orang tuanya
Kepada Hakim yang adil, lalu bertengkarlah keduanya
Karena mereka lalai memenuhi hak anaknya
Yang diperintahkan saat tujuh atau delapan usianya
Jika mereka mendidik dan memenuhi kewajiban
Maka kebaktiannya akan membuat mereka gembira
Dan kebahagiaan mereka sempurna dan melimpah pula
Dari perbuatan anak yang baik dan bagus
Aduhai kasihan yang melalaikan anaknya
Membiarkan mereka bagai binatang tak berharga
Mereka akan tetap bingung dalam kejahilannya
Dan tak ada yang mereka pahami kecuali meja makan
Tabiat yang keras senang dengan keadaan sia-sia
Dan kesia-siaan menjadi ganti dari surga
Alangkah merugi dan meruginya mereka
Di hari saling merugikan, hari yang nyata segalanya
Dan sungguh beruntung yang telah mendidik mereka
Dan mengajarkan semua perbuatan bagus.
la beroleh pahala dan terpelihara dari siksa
Serta penyejuk mata baginya kapan saja
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan dalam Risalah al-Mudzakarah, “Sesungguhnya ketaatan yang dilakukan anak sebelum baligh akan tercatat dalam lembaran- lembaran amal kedua orang tuanya yang muslim. Jika mereka mendidiknya dengan bagus dan melaksanakan kewajiban terhadapnya sebagaimana mestinya, maka anugerah Allah yang diharapkan adalah mereka tak akan disia-siakan dari amal-amal saleh dan ketaatan anaknya setelah baligh. Bahkan mereka akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala yang diperoleh anaknya. Hal itu dinyatakan oleh hadits-hadits mengenai ajakan menuju hidayah dan petunjuk kepada kebaikan. Maka sesungguhnya mereka telah mengajak kepada hidayah dan menunjukkan kepada kebaikan, bagaimanapun mereka telah memenuhi hak anak, sebagaimana yang telah kami sebutkan dengan mendidiknya dengan baik, menyuruh dan mendorongnya melakukan kebaikan, serta melarang dan memperingatkannya dari kejahatan.“