Tentang Shalat Jum’at – FIQH Populer Terjemah FATHUL MU’IN (1/4)

FIQH Populer
Terjemah Fath-ul-Mu‘in
Penulis: Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul-‘Aziz al-Malibari
(Judul Asli: Fatḥ-ul-Mu’īni Bi Syarḥi Qurrat-il-‘Aini Bi Muhimmāt-id-Dīn)

Penerjemah: M. Fikril Hakim, S.H.I. dan Abu Sholahuddin.
Penerbit: Lirboyo Press.

Rangkaian Pos: Tentang Shalat Jum'at - FIQH Populer Terjemah FATHUL MU'IN

(فَصْلٌ): فِيْ صَلَاةِ الْجُمْعَةِ

FASAL

TENTANG SHALAH JUM‘AT

 

هِيَ فَرْضُ عَيْنٍ عِنْدَ اجْتِمَاعِ شَرَائِطِهَا. وَ فُرِضَتْ بِمَكَّةَ، وَ لَمْ تَقُمْ بِهَا لِفَقْدِ الْعَدَدِ، أَوْ لِأَنَّ شِعَارَهَا الْإِظْهَارُ، وَ كَانَ مُسْتَخْفِيًا فِيْهَا. وَ أَوَّلُ مَنْ أَقَامَهَا بِالْمَدِيْنَةِ قَبْلَ الْهِجْرَةِ أَسْعَدُ بْنُ زُرَارَةِ، بِقَرْيَةٍ عَلَى مَيْلٍ مِنَ الْمَدِيْنَةِ. وَ صَلَاتُهَا أَفْضَلُ الصَّلَوَاتِ. وَ سُمِّيَتْ بِذلِكَ: لِاجْتِمَاعِ النَّاسِ لَهَا، أَوْ لِأَنَّ آدَمَ اجْتَمَعَ فِيْهَا مَعَ حَوَّاءَ مِنْ مُزْدَلِفَةَ، فَلِذلِكَ سُمِّيَتْ جُمُعًا.

Hukum Shalat Jum‘at.

Mengerjakan shalat Jum‘at hukumnya fardhu ‘ain, jika telah memenuhi syarat-syaratnya. Perintah melakukannya turun di Makkah. Namun di Makkah sendiri tidak diselenggarakan kala itu, karena belum cukup bilangan kaum mu’min, atau karena syi‘arnya harus ditampakkan, sedangkan Nabi Muḥammad s.a.w. di Makkah masih sembunyi-sembunyi. Orang yang pertama kali mendirikan shalat Jum‘at di Madīnah sebelum Nabi s.a.w. hijrah adalah As‘ad bin Zurārah. Yaitu diselenggarakan di desa yang berdekatan dengan kota Madīnah. Shalat Jum‘at itu shalat yang paling utama. Dinamakan dengan shalat Jum‘at, (11
) karena berkumpulnya manusia guna mengerjakan shalat Jum‘at, atau karena Nabi Ādam a.s. berkumpul dengan Ḥawwā’ di Muzdalifah pada hari Jum‘at. Dan karena itu, Muzdalifah dinamakan Jumu‘an.

(تَجِبُ جُمُعَةٌ عَلَى) كُلِّ (مُكَلَّفٍ) أَيْ بَالِغٍ عَاقِلٍ، (ذَكَرٍ، حُرٍّ)، فَلَا تَلْزَمُ عَلَى أُنْثَى، وَ خُنْثَى، وَ مَنْ بِهِ رِقٌّ إِنْ كُوْتِبَ لِنَقْصِهِ، (مُتَوَطِّنٌ) بِمَحَلِّ الْجُمْعَةِ لَا يُسَافِرُ مِنْ مَحَلِّ إِقَامَتِهَا صَيْفًا وَ لَا شِتَاءً إِلَّا لِحَاجَةٍ، كَتِجَارَةٍ، وَ زِيَارَةٍ، (غَيْرَ مَعْذُوْرٍ) بِنَحْوِ مَرَضٍ، مِنَ الْأَعْذَارِ الَّتِيْ مَرَّتْ فِي الْجَمَاعَةِ، فَلَا تَلْزَمُ عَلَى مَرِيْضٍ إِنْ لَمْ يَحْضُرْ بَعْدَ الزَّوَالِ مَحَلَّ إِقَامَتِهَا، وَ تَنْعَقِدُ بِمَعْذُوْرٍ

Shalat Jum‘at itu wajib atas setiap orang mukallaf, yaitu bāligh, berakal sehat, laki-laki dan merdeka. Karena itu, shalat Jum‘at tidak wajib atas wanita, khutsā’ dan budak, sekalipun budak mukātab. Sebab mereka semua dianggap punya kekurangan. Yang bertempat tinggal di tempat diselenggarakannya shalat Jum‘at. (22) Artinya, mereka tidak pergi dari tempat itu di musim kemarau maupun hujan, kecuali ada keperluan semacam berdagang atau ziarah. Mereka tidak sedang ‘udzur, misalnya sakit atau ‘udzur-‘udzur lain, seperti yang ada dalam masalah shalat jamā‘ah. (33) Maka, shalat Jum‘at tidak wajib bagi orang sakit yang tidak bisa hadir di tempat diselenggarakan Jum‘atan setelah matahari tergelincir ke arah barat. Shalat Jum‘at tetap sah, jika dikerjkan oleh orang yang punya ‘udzur.

(وَ) تَجِبُ (عَلَى مُقِيْمٍ) بِمَحَلِّ إِقَامَتِهَا غَيْرِ مُتَوَطِّنٍ، كَمَنْ أَقَامَ بِمَحَلِّ جُمْعَةٍ أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ فَأَكْثَرَ، وَ هُوَ عَلَى عَزْمِ الْعَوْدِ إِلَى وَطْنِهِ، وَ لَوْ بَعْدَ مُدَّةٍ طَوِيْلَةٍ. وَ عَلَى مُقِيْمٍ مُتَوَطِّنٍ بِمَحَلِّ يَسْمَعُ مِنْهُ النِّدَاءَ وَ لَا يَبْلُغُ أَهْلَهُ أَرْبَعِيْنَ، فَتَلْزَمُهُمَا الْجُمْعَةُ (وَ) لكِنْ (لَا تَنْعَقِدُ) الْجُمْعَةُ (بِهِ) أَيْ بِمُقِيْمٍ غَيْرِ مُتَوَطِّنٍ، وَ لَا بِمُتَوَطِّنٍ خَارِجَ بَلَدِ إِقَامَتِهَا، وَ إِنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ بِسَمَاعِهِ النِّدَاءَ مِنْهَا. (وَ لَا بِمَنْ بِهِ رِقٌّ وَصَبَا)، بَلْ تَصِحُّ مِنْهُمْ، لكِنَّ يَنْبَغِيْ تَأَخُّرُ إِحْرَامِهِمْ عَنْ إِحْرَامِ أَرْبَعِيْنَ مِمَّنْ تَنْعَقِدُ بِهِ الْجُمْعَةُ عَلَى مَا اشْتَرَطَهُ جَمْعٌ مُحَقِّقُوْنَ، وَ إِنْ خَالَفَ فِيْهِ كَثِيْرُوْنَ.

Shalat Jum‘at wajib bagi seseorang yang ber-muqīm di daerah diselenggarakannya shalat Jum‘at tanpa ada niat menetap selamanya, seperti seseorang yang ber-muqīm di daerah diselenggarakannya shalat Jum‘at selama 4 hari atau lebih, sedangkan ia bermaksud untuk kembali ke tanah kelahirannya, sekalipun maksud tersebut setelah masa yang lama. Juga wajib dikerjakan oleh orang muqīm mutawaththin (44) di tempat yang panggilan shalat Jum‘at masih terdengar, di mana penduduk tempat terselenggarakan Jum‘atan kurang dari 40 orang, (55) maka wajib mengerjakan shalat Jum‘at. Namun shalat Jum‘at tidak sah dengan golongan orang muqīm yang tidak menetap selamanya dan tidak sah pula dengan muqīm mutawaththin yang berada di luar daerah diselenggarakan shalat Jum‘at, sekalipun shalat Jum‘at wajib baginya bila mendengar panggilan shalat dari tempat diselenggarakannya itu. Shalat Jum‘at juga tidak sah dengan dipenuhi oleh budak atau anak-anak, tetapi shalat mereka sah. Hanya saja mereka sebaiknya menunda takbīrat-ul-iḥrām sampai sesudah takbīr 40 orang yang sah Jum‘atnya atas pendapat yang mensyaratkan hal tersebut ya‘ni dari segolongan ‘ulamā’ muḥaqqiqīn, sekalipun banyak ‘ulamā’ yang menentangnya. (66)

(وَ شُرِطَ) لِصِحَّةِ الْجُمْعَة مَعَ شُرُوْطٍ غَيْرِهَا سِتَّةٌ: أَحَدُهَا: (وُقُوْعُهَا جَمَاعَةً) بِنِيَّةِ إِمَامَةٍ وَ اقْتِدَاءٍ، مُقْتَرِنَةً بِتَحَرُّمٍ (فِي الرَّكْعَةِ الْأُوْلَى)، فَلَا تَصِحُّ الْجُمْعَةُ بِالْعَدَدِ فُرَادَى، وَ لَا تُشْتَرَطُ الْجَمَاعَةُ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ. فَلَوْ صَلَّى الْإِمَامُ بِالْأَرْبَعِيْنَ رَكْعَةً ثُمَّ أَحْدَثَ فَأَتَمَّ كُلٌّ مِنْهُمْ رَكْعَةً وَاحِدَةً، أَوْ لَمْ يُحْدِثْ بَلْ فَارَقُوْهُ فِي الثَّانِيَةِ، وَ أَتَمُّوْا مُنْفَرِدِيْنَ، أَجْزَأَتْهُمُ الْجُمْعَةُ. نَعَمْ، يُشْتَرَطُ بَقَاءُ الْعَدَدِ إِلَى سَلَامِ الْجَمِيْعِ، حَتَّى لَوْ أَحْدَثَ وَاحِدٌ مِنَ الْأَرْبَعِيْنَ قَبْلَ سَلَامِهِ، وَ لَوْ بَعْدَ سَلَامٍ مَنْ عَدَاهُ مِنْهُمْ، بَطَلَتْ جُمْعَةُ الْكُلِّ.

Syarat Sah Jum‘at

Di samping syarat-syarat shalat yang lain, (77) shalat Jum‘at juga disyaratkan atas enam perkara: (1. Harus dilaksanakan secara berjamā‘ah pada raka‘at pertama, imām berniat menjadi imām dan ma’mūm berniat berma’mūm yang bersamaan dengan takbīrat-ul-iḥrām. Karena itu, shalat Jum‘at yang telah terpenuhi bilangan jamā‘ahnya (40 orang) tidak sah, jika dilaksanakan dengan sendiri-sendiri. Pada raka‘at keduanya tidak disyaratkan harus berjamā‘ah. Jika imām pada raka‘at pertama berjamā‘ah dengan ma’mūm 40 orang, lalu imām berhadats, lantas mereka meneruskan shalat sendiri-sendiri, atau imām tidak berhadats, tetapi mereka memisah dari imām (mufāraqah) pada raka‘at kedua dan meneruskan sendiri-sendiri, maka sah Jum‘atannya. Benar sah, namun orang 40 itu disyaratkan harus tetap ada (88) sampai mereka semua salām, sehingga apabila salah satu dari keempat puluh orang tersebut berhadats sebelum salāmnya, sekalipun ma’mūm yang lainnya sudah salām, maka batallah shalat Jum‘at mereka.

وَ لَوْ أَدْرَكَ الْمَسْبُوْقُ رُكُوْعَ الثَّانِيَةِ وَاسْتَمَرَّ مَعَهُ إِلَى أَنْ سَلَّمَ، أَتَى بِرَكْعَةٍ بَعْدَ سَلَامِهِ جَهْرًا وَ تَمَّتْ جُمْعَتُهُ إِنْ صَحَّتْ جُمْعَةُ الْإِمَامِ وَ كَذَا مَنِ اقْتَدَى بِهِ وَ أَدْرَكَ رَكْعَةً مَعَهُ كَمَا قَالَهُ شَيْخُنَا. وَ تَجِبُ عَلَى مَنْ جَاءَ بَعْدَ رُكُوْعِ الثَّانِيَةِ: نِيَّةُ الْجُمْعَةِ عَلَى الْأَصَحِّ وَ إِنْ كَانَتِ الظُّهْرُ هِيَ اللَّازِمَةَ لَهُ. وَ قِيْلَ: تَجُوْزُ نِيَّةُ الظُّهْرِ. وَ أَفْتَى بِهِ الْبُلْقِيْنِيُّ وَ أَطَالَ الْكَلَامَ فِيْهِ.

Apabila ma’mūm masbūq mendapatkan rukū‘ imām pada raka‘at kedua, lalu ia mengikuti terus sampai salām, maka ia harus menambah satu raka‘at dengan bacaan keras dan shalat Jum‘at sudah dianggap sempurna, jika Jum‘atan imām tadi sah (99). Demikian juga sempurna shalat Jum‘at ma’mūm masbūq lainnya, yang berma’mūm kepada masbūq di atas dan ia masih mendapatkan satu raka‘at bersamanya, demikianlah menurut fatwa guru kami. Orang yang baru mengikuti imām setelah rukū‘nya imām raka‘at kedua, menurut pendapat yang ashaḥḥ wajib niat shalat Jum‘at, sekalipun yang harus dikerjakan adalah shalat Zhuhur. Pendapat lain mengatakan bahwa orang tersebut boleh berniat shalat Zhuhur. Seperti ini pula Imām al-Bulqīnī memfatwakan dan menguraikan secara panjang lebar. (1010)

(وَ) ثَانِيْهَا: وُقُوْعُهَا (بِأَرْبَعِيْنَ) مِمَّنْ تَنْعَقِدُ بِهِمُ الْجُمْعَةُ، وَ لَوْ مَرْضَى، وَ مِنْهُمُ الْإِمَامُ. وَ لَوْ كَانُوْا أَرْبَعِيْنَ فَقَطْ وَ فِيْهِمْ أُمِّيٌّ وَاحِدٌ أَوْ أَكْثَرَ قَصُرَ فِي التَّعَلُّمِ، لَمْ تَصِحَّ جُمْعَتُهُمْ، لِبُطْلَانِ صَلَاتِهِ فَيَنْقُصُوْنَ. أَمَّا إِذَا لَمْ يُقَصِّرِ الْأُمِّيُّ فِي التَّعَلُّمِ فَتَصِحُّ الْجُمْعَةُ بِهِ كَمَا جَزَمَ بِهِ شَيْخُنَا فِيْ شَرْحَي الْعُبَابِ وَ الْإِرْشَادِ، تَبْعًا لِمَا جَزَمَ بِهِ شَيْخُهُ فِيْ شَرْحِ الرَّوْضِ ثُمَّ قَالَ فِيْ شَرْحِ الْمِنْهَاجِ: لَا فَرْقَ هُنَا بَيْنَ أَنْ يُقَصِّرَ الْأُمِّيُّ فِي التَّعَلُّمِ، وَ أَنْ لَا يُقَصِّرَ. وَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا غَيْرُ قَوِيٍّ. انْتَهَى. وَ لَوْ نَقَصُوْا فِيْهَا بَطَلَتْ، أَوْ فِيْ خُطْبَةٍ لَمْ يُحْسَبْ رُكْنُ فِعْلٍ حَالَ نَقْصِهِمْ، لِعَدَمِ سِمَاعِهِمْ لَهُ. فَإِنْ عَادُوْا قَرِيْبًا عُرْفًا جَازَ الْبِنَاءُ عَلَى مَا مَضَى، وَ إِلَّا وَجَبَ الْاِسْتِئْنَافُ، كَنَقْصِهِمْ بَيْنَ الْخُطْبَةِ وَ الصَّلَاةِ، لِانْتِفَاءِ الْمُوَالَاةِ فِيْهِمَا.

(2. Shalat Jum‘at harus dikerjakan oleh 40 (1111) orang, termasuk imāmnya dari orang-orang yang dapat mengesahkan Jum‘at, sekalipun sedang menderita sakit. Andaikata orang-orang yang sedang mendirikan shalat Jum‘at itu 40 orang saja dan di antara mereka terdapat seorang atau lebih yang ummī yang ceroboh tidak mau belajar, maka shalat Jum‘at mereka tidak sah, sebab shalat ummī batal, yang berarti bilangan 40 orang menjadi berkurang. Namun jika ummī tidak ceroboh dalam meninggalkan belajar, maka sah shalat Jum‘at mereka, sebagaimana pendapat yang dipegang teguh oleh guru kami dalam kitab Syarḥ-ul-‘Ubāb dan al-Irsyād, dengan mengikuti pendapat yang telah diputuskan oleh gurunya dalam kitab Syarḥ-ur-Raudh. Kemudian dalam Syarḥ-ul-Minhāj guru kita berkata: Tiada perbedaan antara ummī yang ceroboh dalam belajar, ataupun tidak dalam masalah ini. Perbedaan keduanya tidaklah kuat. – Selesai -. Jika bilangan 40 itu berkurang di waktu shalat maka shalat Jum‘at menjadi batal atau di waktu khuthbah, maka rukun khuthbah yang dilakukan waktu bilangan berkurang tidaklah dianggap, karena rukun tersebut tidak didengarkan oleh mereka semua. Jika ia kembali dalam waktu dekat secara umum, (1212) maka boleh meneruskan rukun khuthbah yang telah dikerjakan. Kalau tidak dalam waktu dekat, maka khuthbah harus diulangi dari permulaan. Sebagaimana jika bilangan berkurang antara khuthbah dan shalat, lantaran hilangnya sambung-menyambung antara khuthbah dengan shalat.

[فَرْعٌ]: مَنْ لَهُ مَسْكَنَانِ بِبَلَدَيْنِ، فَالْعِبْرَةُ بِمَا كَثُرَتْ فِيْهِ إِقَامَتُهُ، فِيْمَا فِيْهِ أَهْلُهُ وَ مَالُهُ. وَ إِنْ كَانَ بِوَاحِدٍ أَهْلٌ وَ بِآخَرَ مَالٌ، فَبِمَا فِيْهِ أَهْلُهُ، فَإِنِ اسْتَوَيَا فِي الْكُلِّ، فَبِالْمَحَلِّ الَّذِيْ هُوَ فِيْهِ حَالَةَ إِقَامَةِ الْجُمْعَةِ. وَ لَا تَنْعَقِدُ الْجُمْعَةُ بِأَقَلِّ مِنْ أَرْبَعِيْنَ، خِلَافًا لِأَبِيْ حَنِيْفَةَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى فَتَنْعَقِدُ عِنْدَهُ بِأَرْبَعَةٍ، وَ لَوْ عَبِيْدًا أَوْ مُسَافِرِيْنَ. وَ لَا يُشْتَرَطُ عِنْدَنَا إِذْنُ السُّلْطَانِ لِإِقَامَتِهَا وَ لَا كَوْنُ مَحَلِّهَا مِصْرًا، خِلَافًا لَهُ فِيْهِمَا. وَ سُئِلَ الْبُلْقِيْنِيْ عَنْ أَهْلِ قَرْيَةٍ لَا يَبْلُغُ عَدَدُهُمْ أَرْبَعِيْنَ، هَلْ يُصَلُّوْنَ الْجُمْعَةَ أَوِ الظُّهْرَ؟ فَأَجَابَ رَحِمَهُ اللهُ: يُصَلُّوْنَ الظُّهْرَ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ. وَ قَدْ أَجَازَ جَمْعٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ أَنْ يُصَلُّوا الْجُمْعَةَ، وَ هُوَ قَوِيٌّ، فَإِذَا قَلُّدُوْا أَيْ جَمِيْعُهُمْ مَنْ قَالَ هذِهِ الْمَقَالَةَ، فَإِنَّهُمْ يُصَلُّوْنَ الْجُمْعَةَ. وَ إِنِ احْتَاطُوْا فَصَلُّوا الْجُمْعَةَ ثُمَّ الظُّهْرَ كَانَ حَسَنًا.

(Cabangan Masalah). Seseorang yang mempunyai dua tempat tinggal pada dua daerah, maka yang dipandang sebagai tempatnya adalah yang banyak didiami, kalau keduanya sama, maka yang dipandang sebagai tempat tinggalnya adalah tempat yang didiami oleh keluarga dan harta bendanya. Jika di satu tempat tempat keluarganya, dan di tempat yang satu lagi terdapat harta bendanya, maka yang dipandang sebagai tempat tinggalnya, adalah tempat yang didiami keluarganya. Apabila masing-masing terdapat keluarga dan hartanya, maka yang dianggap sebagai tempat tinggalnya adalah tempat yang didiami di waktu terselenggara shalat Jum‘at. Shalat Jum‘at tidak sah dengan dikerjakan orang yang jumlahnya kurang dari 40. Lain halnya dengan pendapat Imām Abū Ḥanīfah r.a. Menurut beliau shalat Jum‘at tetap sah dengan jumlah empat orang, sekalipun mereka semua adalah hamba sahaya atau orang-orang musāfir. Menurut pendapat kita (Syāfi‘iyyah), penyelenggaraan shalat Jum‘at itu tidak disyaratkan harus mendapat idzin dari penguasa (1313) dan tempatnya tidak harus di mishr (kota). Lain halnya dengan pendapat Imām Abū Ḥanīfah yang mensyaratkan kedua hal di atas. Imam al-Bulqīnī ditanya mengenai penduduk suatu daerah yang jumlahnya kurang dari 40 orang, mereka ini wajib mengerjakan shalat Jum‘at atau Zhuhur? Beliau menjawab: Mereka harus mengerjakan shalat Zhuhur menurut madzhab Syāfi‘ī. Segolongan ‘ulamā’ memperbolehkan mereka melakukan shalat Jum‘at, dan justru pendapat ini yang kuat. Karena itu, jika mereka semuanya mengikuti imam yang berpendapat tersebut, (1414) maka boleh melakukan shalat Jum‘at. Kalau ingin hati-hati, hendaknya mereka melakukan shalat Jum‘at, lalu mengerjakan shalat Zhuhur, maka hal itu baik.

(وَ) ثَالِثُهَا: وُقُوْعُهَا (بِمَحَلٍّ مَعْدُوْدٍ مِنَ الْبَلَدِ) وَ لَوْ بِفَضَاءٍ مَعْدُوْدٍ مِنْهَا، بِأَنْ كَانَ فِيْ مَحَلٍّ لَا تَقْصُرُ فِيْهِ الصَّلَاةُ، وَ إِنْ لَمْ يَتَّصِلْ بِالْأَبْنِيَةِ، بِخِلَافِ مَحَلِّ غَيْرَ مَعْدُوْدٍ مِنْهَا، وَ هُوَ مَا يُجَوِّزُ السَّفَرُ الْقَصْرَ مِنْهُ.

(3. Diselenggarakannya shalat Jum‘at pada tempat yang termasuk balad (1515) sekalipun tempat lapang yang masuk wilayahnya, sekira berada pada jarak yang tidak diperkenankan mengqashar shalat, sekalipun tidak bersambung dengan bangunan. Lain halnya dengan yang sudah tidak termasuk wilayahnya, yaitu tempat jauh yang kalau seseorang pergi ke sana sudah diperbolehkan mengqashar shalat.

[فَرْعٌ]: لَوْ كَانَ فِيْ قَرْيَةٍ أَرْبَعُوْنَ كَامِلُوْنَ لَزِمَتْهُمُ الْجُمْعَةُ، بَلْ يَحْرُمُ عَلَيْهِمْ عَلَى الْمُعْتَمَدِ تَعْطِيْلُ مَحَلِّهِمْ مِنْ إِقَامَتِهَا، وَ الذِّهَابُ إِلَيْهَا فِيْ بَلَدٍ أُخْرَى، وَ إِنْ سَمِعُوا النِّدَاءَ. قَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ وَ غَيْرُهُ: إِنَّهُمْ إِذَا سَمِعُوا النَّدَاءَ مِنْ مِصْرَ، فَهُمْ مُخَيَّرُوْنَ بَيْنَ أَنْ يَحْضَرُوا الْبَلَدَ لِلْجُمْعَةِ، وَ بَيْنَ أَنْ يُقِيْمُوْهَا فِيْ قَرْيَتِهِمْ، وَ إِذَا حَضَرُوا الْبَلَدَ لَا يَكْمُلْ بِهِمِ الْعَدَدُ لِأَنَّهُمْ فِيْ حُكْمِ الْمُسَافِرِيْنَ، وَ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي الْقَرْيَةِ جَمْعُ تَنْعَقِدُ بِهِمُ الْجُمْعَةُ وَ لَوْ بِامْتِنَاعِ بَعْضِهِمْ مِنْهَا يَلْزَمُهُمُ السَّعْيُ إِلَى بَلَدٍ يَسْمَعُوْنَ مِنْ جَانِبِهِ النِّدَاءُ. قَالَ ابْنُ عُجَيْلٍ: وَ لَوْ تَعَدَّدَتْ مَوَاضِعٌ مُتَقَارِبَةٌ وَ تَمَيَّزَ كُلٌّ بِاِسْمٍ، فَلِكُلِّ حُكْمُهُ. قَالَ شَيْخُنَا: إِنَّمَا يُتَّجَهُ ذلِكَ إِنْ عُدَّ كُلٌّ مَعَ ذلِكَ قَرْيَةً مُسْتَقِلَّةً عُرْفًا.

(Cabang Masalah). Apabila sebuah desa berpenduduk 40 orang, maka bagi mereka wajib menyelenggarakan shalat Jum‘at. Bahkan menurut pendapat yang mu‘tamad, mereka haram meniadakannya di desa tersebut dan pergi melakukannya ke lain daerah (1616), yang sekalipun ia masih mendengar panggilan shalat Jum‘at dari daerah lain tersebut. Imām Ibn-ur-Rif‘ah dan lainnya berkata: Jika mereka dapat mendengar panggilan shalat Jum‘at dari Mishr (1717) maka boleh memilih antara pergi ke balad (1818) untuk menunaikan shalat Jum‘at atau menyelenggarakannya di desanya sendiri. Apabila mereka pergi ke desa (dalam masalah di atas), maka mereka tidak bisa menyempurnakan bilangan keabsahan Jum‘at, sebab berkedudukan sebagai musāfir. Jika di desanya sendiri tidak ada golongan yang mendukung keabsahan shalat Jum‘at – sekalipun dengan memperhitungkan di antara mereka ada yang tidak mau pergi shalat Jum‘at – , maka mereka wajib menunaikan shalat Jum‘at di desa sebelahnya – , yang mereka masih mendengar panggilan shalat Jum‘at dari tempat itu. Imām Ibnu ‘Ujail berkata: Apabila ada beberapa tempat (desa) yang berdekataan, serta masing-masing mempunyai nama tersendiri, maka dihukumi sebagai tempat tersendiri. Guru kami berkata: Dihukumi seperti itu, jika masing-masing tempat tersebut berkedudukan sebagai desa tersendiri pula, menurut anggapan umum.

[فَرْعٌ]: لَوْ أَكْرَهَ السُّلْطَانُ أَهْلَ قَرْيَةٍ إِنْ يَنْتَقِلُوْا مِنْهَا وَ يَبْنُوْا فِيْ مَوْضِعٍ آخَرَ، فَسَكَنُوْا فِيْهِ وَ قَصْدُهُمُ الْعَوْدَ إِلَى الْبَلَدِ الْأَوَّلِ إِذَا فَرَّجَ اللهُ عَنْهُمْ، لَا تَلْزَمُهُمُ الْجُمْعَةُ، بَلْ لَا تَصِحُّ مِنْهُمْ، لِعَدَمِ الْاِسْتِيْطَانِ.

(Cabang Masalah). Apabila penguasa memaksa penduduk suatu desa agar berpindah dari desanya dan membangun tempat di daerah yang baru, yang kemudian tinggal di situ, tetapi mereka bermaksud untuk pulang ke tempat tinggal yang pertama, bila Allah s.w.t. telah menghilangkan kesusahannya, maka mereka tidak wajib menunaikan shalat Jum‘at di tempat tersebut (tempat baru). Bahkan belum cukup syarat sah shalat Jum‘at bagi mereka, sebab mereka tidak mutawaththin (penduduk daerah itu). (1919)

Catatan:

  1. 1). Penamaan ini bukanlah untuk penamaan shalat Jum‘at, namun penamaan hari Jum‘at kecuali yang dikehendaki shalat adalah hari dengan pola <em>majaz mursal</em> dengan mengungkapkan keadaan, namun yang dikehendaki adalah tempat. <em>I‘ānat-uth-Thālibīn</em> juz 2 hal. 63. Dār-ul-Fikr.
  2. 2). Syarat bertempat tinggal yang menetap atau mutawaththin bukanlah syarat wajib, namun syarat sah Jum‘at. Oleh karena itu, sebaiknya lafazh ini dibuang. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 63. Dār-ul-Fikr.
  3. 3). Yang mungkin ada dalam Jum‘at sebab ‘udzur, berupa angin di malam hari, tidak mungkin ada paa shalat Jum‘at. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 64. Dār-ul-Fikr.
  4. 4). Sebaiknya, lafazh ini dibuang mutawaththin tidaklah menjadi syarat, maka siapapun yang bermuqīm di sebuah tempat yang mendengar panggilan Jum‘at, maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Jum‘at, baik ia mutawaththin (menetap selamanya) ataupun tidak. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 65. Dār-ul-Fikr.
  5. 5). Jika telah mencapai 40 orang, maka tidak wajib baginya untuk mendatangi tempat panggilan Jum‘at bahkan haram baginya untuk menuju tempat tersebut, bahkan mereka wajib untuk mendirikan Jum‘mat di tempatnya sendiri. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 63. Dār-ul-Fikr.
  6. 6). Pendapat yang unggul adalah pendapat yang tidak mensyaratkan hal tersebut seperti pendapat dari Ibnu Ḥajar, Khathīb dan Imām Ramlī. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 63. Dār-ul-Fikr.
  7. 7). Seperti harus suci, menutup aurat, masuknya waktu shalat dan menghadap qiblat. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 65. Dār-ul-Fikr.
  8. 8). Maksud dari tetap ada adalah mereka tetap dalam keadaan memenuhi persyaratan sah shalat Jum‘at sekira shalat satu orang dari mereka tidak batal dengan sebab hadats atau selainnya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 63. Dār-ul-Fikr.
  9. 9). Sekira jelas bahwa imāmnya suci. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 67. Dār-ul-Fikr.
  10. 10). Perbedaan ‘ulamā’ terjadi ketika ma’mūm benar-benar tahu keadaa imām, jika ma’mūm tidak tahu keadaan imām seperti imām sedang berdiri, namun apakah sedang i‘tidal atau yang lainnya, maka wajib untuk berniat Jum‘at tanpa perselisihan ‘ulamā’.” I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 67. Dār-ul-Fikr.
  11. 11). Dalam permasalahan jumlah jamā‘ah shalat Jum‘at terjadi 14 pendapat, paling sedikit adalah satu orang menurut Ibnu Ḥāzim, dua orang seperti jamā‘ah biasanya menurut Imām an-Nakha‘ī dan Ahlu Zhāhir dan seterusnya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 67. Dār-ul-Fikr.
  12. 12). Imām Rāfi‘ī membatasi dengan batasan waktu di antara dua shalat jama‘ ya‘ni dua raka‘at yang cepat. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 69. Dār-ul-Fikr.
  13. 13). Berbeda dengan memperbanyak tempat didirikan Jum‘at atau ta‘dūd Jum‘at, maka harus minta idzin dari pemerintah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 70. Dār-ul-Fikr.
  14. 14). Boleh juga mengikuti qaul qadīm Imām Syāfi‘ī yang mengatakan bahwa jumlah jamā‘ah Jum‘at cukup 4 orang. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 70. Dār-ul-Fikr.
  15. 15). Maksud dari balad adalah tempat menetapnya orang-orang yang mendirikan shalat Jum‘at baik berupa desa, kota atau yang lainnya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 70. Dār-ul-Fikr.
  16. 16). Berbeda dengan pendapat dari Imām Abū Ḥanīfah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 72. Dār-ul-Fikr.
  17. 17). Adalah daerah yang telah memiliki hakim, polisi dan pasar. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 70. Dār-ul-Fikr.
  18. 18). Memberi kefahaman bahwa mishr yang telah disebutkan bukanlah batasan kecuali yang dimaksud balad adalah khusus untuk mishr. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 71. Dār-ul-Fikr.
  19. 19). Namun mereka mendengar panggilan Jum‘at dari daerah lain, maka wajib bagi mereka untuk menghadirinya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 72 Dār-ul-Fikr.

6 Komentar

  1. Aisyah berkata:

    Bagaimana hukum seorang perempuan sholat jumat

    1. Muslim Administrator berkata:

      Kita tahu dari penjelasan di atas bahwa Shalat Jum’at tidak wajib bagi perempuan. Jika pertanyaannya adalah apakah perempuan boleh ikut menghadiri shalat Jumat, maka jawabannya adalah boleh.

      Silakan baca keterangan yang lebih lanjutnya di sini: https://islam.nu.or.id/jumat/apakah-shalat-jumat-bagi-wanita-menggantikan-shalat-dhuhur-oRU34

      Semoga bermanfaat. Wallāhu a’lam.

  2. Anto berkata:

    Afwan…Bagaimana hukum surat syah ny menjadi imam solat jumat…
    Bagaimana kalau yg jadi imam ny pasek tidak belajr ilmu fiqih

    1. Muslim Administrator berkata:

      Maaf, setahu kami tidak ada syarat khusus untuk menjadi imam shalat Jum’at. Artinya sama saja seperti menjadi imam shalat fardhu lainnya.

      1. Rojul berkata:

        Bagai mana jika di suatu kampung ada 2 masjid tapi penduduk nya hanya pas ada 40 bagaimana cara melaksanakan solat Jum’at nya apakah bergantian dari masjid pertama terus Jum’at depan masjid yang ke dua

  3. Rojul berkata:

    Bagai mana jika di suatu kampung ada 2 masjid tapi penduduk nya hanya pas ada 40 bagaimana cara melaksanakan solat Jum’at nya apakah bergantian dari masjid pertama terus Jum’at depan masjid yang ke dua

Tinggalkan Balasan ke Anto Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *