Surah an-Nas 114 ~ Tafsir ath-Thabari

Dari Buku:
Tafsir ath-Thabari
(Jilid 26, Juz ‘Amma)
(Oleh: Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir ath-Thabari)
(Judul Asli: Jāmi‘-ul-Bayāni ‘an Ta’wīli Āy-il-Qur’ān)

Penerjemah: Amir Hamzah
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

SŪRAH AN-NĀS

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلهِ النَّاسِ. مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ. الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

114:1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (Yang memelihara dan menguasai) manusia.
114:2. Raja manusia.
114:3. Sembahan manusia.
114:4. Dari kejahatan (bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi,
114:5. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
114:6. Dari (golongan) jin dan manusia.
(Sūrat-un-Nās [114]: 1-6).

Allah ta‘ala berkata kepada Nabi Muhammad s.a.w.: “Katakanlah, hai Muhammad (أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ) “Aku berlindung kepada Tuhan (Yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia.” Yaitu raja semua makhluk; jin, manusia, dan lainnya. Ini merupakan bentuk pemberitahuan dari Allah bagi orang yang mengagungkan manusia seperti kaum mu’min mengagungkan Tuhan mereka, bahwa Dialah rajanya orang yang diagungkan itu, dan itu berada di dalam kerajaan serta kekuasaan-Nya. Berlaku padanya segala ketentuan-Nya, dan Dia lebih layak untuk diagungkan dan lebih berhak untuk disembah daripada yang diagungkan, serta lebih berhak untuk disembah daripada selain-Nya dari kalangan manusia (atau yang lainnya).

Firman-Nya: (إِلهِ النَّاسِ) “Sembahan manusia,” maksudnya adalah Sesembahan manusia yang berhak diibadahi tanpa disertai sesuatu pun selain-Nya.

Firman-Nya: (مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ.) “Dari kejahatan (bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi,” maksudnya adalah “min syarr-isy-syaithān dari kejahatan syaithan”. Bersembunyinya dia adalah ketika seorang hamba mengingat Tuhannya. Riwayat-riwayat yang sesuai dengan pendapat ini adalah:

  1. Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Yahya bin ‘Isa menceritakan kepada kami dari Sufyan, dari Hakim bin Jubair, dari Sa‘id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Tidak ada bayi yang dilahirkan kecuali pada hatinya ada bisikan (syaithan) yang tersembunyi. Bila ia sadar dan mengingat Allah, maka (syaithan) itu bersembunyi, dan bila ia lengah maka syaithan menggoda. Itulah firman-Nya: (الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ) “(bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi”.” (25831).
  2. Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Jarir menceritakan kepada kami dari Manshur, dari Sufyan, dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman-Nya: (الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ) “(bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi,” ia berkata: “(Maksudnya adalah) syaithan yang bersemayam di dalam hati manusia. Bila lupa dan lengah, maka syaithan menggoda, dan bila mengingat Allah, maka syaithan bersembunyi.” (25842).
  3. Ia berkata: Mahran menceritakan kepada kami dari Utsman bin al-Aswad, dari Mujahid, mengenai firman-Nya: (الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ) “(bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi,” ia berkata: “(Maksudnya adalah) melebar, apabila mengingat Allah, ia bersembunyi dan menciut, namun apabila lengah maka ia melebar.” (25853).
  4. Muhammad bin ‘Amr menceritakan kepadaku, ia berkata: Abu ‘Ashim menceritakan kepada kami, ia berkata: “Isa menceritakan kepada kami, Al-Harits menceritakan kepadaku, ia berkata: Al-Hasan menceritakan kepada kamu, ia bekata: Warqa menceritakan kepada kami, semuanya dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, mengenai firman-Nya: (الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ) “(bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi,” ia berkata: “(Maksudnya adalah) syaithan di dalam hati manusia. Bila mengingat Allah maka syaithan itu bersembunyi.” (25864).
  5. Ibnu ‘Abd-il-A‘la menceritakan kepada kami, ia bekata: Ibnu Tsaur menceritakan kepada kami dari Ma‘mar, dari Qatadah, mengenai firman-Nya: (الْوَسْوَاسِ), ia berkata: “Maksudnya adalah syaithan, dan itu juga yang bersembunyi. Bila seorang hamba mengingat Tuhannya, maka ia bersembunyi. Jadi, syaithan kadang mengganggu (membisik) dan kadang bersembunyi.” (25875).
  6. Bisyr menceritakan kepada kami, ia bekata: Yazid menceritakan kepada kamu, ia bekata: Sa‘id menceritakan kepada kami dari Qatadah, tentang ayat: (مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ.) “Dari kejahatan (bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi,” ia berkata: “Maksudnya adalah syaithan, ia membisiki di dalam dada manusia, dan ia bersembunyi bila manusia mengingat Allah.” (25886).
  7. Ibnu ‘Abd-il-A‘la menceritakan kepada kami, ia bekata: Ibnu Tsaur menceritakan kepada kami dari ayahnya, ia bekata: “Diceritakan kepadaku, bahwa syaithan – atau ia berkata: al-waswas – membisiki hati manusia ketika sedih dan gembira. Apabila manusia itu mengingat Allah, maka ia bersembunyi.” (25897).
  8. Yunus menceritakan kepadaku, ia berkata: Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami, ia berkata: “Ibnu Zaid berkata mengenai firman-Nya: (الْخَنَّاسِ) “Yang biasa bersembunyi,” ia berkata: “Al-khannas adalah yang kadang mengganggu dan kadang bersembunyi, baik jin maupun manusia. Dikatakan bahwa syaithan manusia lebih jahat terhadap manusia daripada syaithan jin. Syaithan jin bisa mengganggu (membisiki) tanpa bisa anda lihat, namun ia dapat melihat anda dengan jelas.” (25908).

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a., ia berkata tentang itu, “Ayat (مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ) “Dari kejahatan (bisikan) syaithan”, maksudnya adalah yang mengganggu (membisiki) dada manusia, yang mengajak untuk mematuhinya, sampai ajakan untuk mematuhinya itu dipenuhi. Bila telah dipenuhi, ia pun bersembunyi. Riwayat yang sesuai dengan ini adalah:

  1. Muhammad bin Sa‘d menceritakan kepadaku, ia berkata: Ayahku menceritakan kepadaku, ia berkata: Pamanku menceritakan kepadaku, ia berkata: Ayahku menceritakan kepadaku dari ayahnya, dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman-Nya: (الْوَسْوَاسِ) ia berkata: “Maksudnya adalah syaithan yang memerintahnya. Bila telah dipatuhi maka ia bersembunyi.” (25919).

Menurut saya, pendapat yang benar mengenai ini adalah, Allah memerintahkan Nabi Muhammad s.a.w. untuk memohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan syaithan yang kadang mengganggu (membisikkan gangguan) dan kadang bersembunyi. Allah tidak mengkhususkan jenis gangguannya (bisikannya) dengan bisikan (gangguan) tertentu dan mengesampingkan yang lain, juga tidak mengkhususkan cara bersembunyinya dengan cara tertentu dan mengesampingkan yang lain. Jadi, syaithan kadang membisiki untuk mengajak bermaksiat terhadap Allah, dan bila ajakannya telah dipenuhi, ia pun bersembunyi. Kadang juga membisiki untuk tidak menaati Allah. Bila seorang hamba teringat untuk menaati Allah, syaithan memerintahkan untuk mengikuti ajakannya (yakni tidak menaati Allah), dan bila sang hamba tetap menaati Allah dan menyelisihi syaithan, maka syaithan pun bersembunyi. Jadi, syaithan dalam semua kondisinya adalah membisiki dan bersembunyi. Sifat ini (membisiki dan bersembunyi) memang sifat syaithan.

Firman-Nya: (الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ.) “Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,” maksudnya adalah, syaithan adalah pembisik yang selalu membisiki sesuatu ke dalam dada manusia, baik syaithan jin maupun syaithan manusia.

Jika ada yang berkata: “Jadi, jin itu manusia, sehingga dikatakan: (الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ.) “Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia?”

Dikatakan bahwa di tempat ini Allah memang menyebut mereka manusia, sebagaimana di tempat lain Allah menyebut mereka rijāl (laki-laki) (وَ أَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ) “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (al-Jinn [72]: 6). Di sini Allah menyebut jin dengan sebutan rijāl (laki-laki), demikian juga ketika Allah menyebut mereka nās (manusia).

Diceritakan dari sebagian orang ‘Arab, bahwa ketika datang suatu kaum dari golongan jin, lalu berhenti, kemudian dikatakan: “Siapa kalian?” Mereka menjawab: “Nāsun min-al-jinn “manusia dari golongan jin”.” Mereka menetapkan diri mereka nās “manusia”, maka demikian juga pada ayat ini.

 

Alḥamdulillāh, segala puji bagi Allah, berkat taufik dan karunia-Nya jua-lah, penerbitan Tafsīr ath-Thabarī edisi Indonesia ini dapat diselesaikan. Semoga limpahan rahmat senantiasa tercurahkan bagi pengarang, dan kitab ini dapat bermanfaat bagi seluruh umat manusia sepanjang masa.

Āmīn, ya mujības-sā’ilīn.

 

Akhir kitab tafsir, alḥamdulillāh-il-‘aliyy-il-kabīr.

Catatan:


  1. 2583). Al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/590), ‘Abd-ur-Razzaq dalam tafsirnya (2/478), dan as-Suyuthi dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/694).
  2. 2584). Al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/590), ia berkata: “Hadits ini shaḥīḥ berdasarkan syarat kedua syaikh.” Serta Ibnu Hajar dalam Fatḥ-ul-Bārī (8/742).
  3. 2585). Mujahid dalam tafsirnya (hal. 762) menyerupainya.
  4. 2586). Mujahid dalam tafsirnya (1/762).
  5. 2587). ‘Abd-ur-Razzaq dalam tafsirnya (2/478).
  6. 2588). ‘Abd-ur-Razzaq dalam tafsirnya (2/478) dan al-Baghawi dalam Ma‘ālim-ut-Tanzīl (4/548).
  7. 2589). Lihat al-Baghawi dalam Ma‘ālim-ut-Tanzīl (4/548), mencantumkan riwayat yang menyerupainya.
  8. 2590). As-Suyuthi dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/694).
  9. 2591). Al-Mawardi dalam an-Nukatu wal-‘Uyūn (6/379).

Unduh Rujukan:

  • [download id="12728"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *