Surah ath-Thariq 86 ~ Tafsir Ibni ‘Arabi

Dari Buku:
Isyarat Ilahi
(Tafsir Juz ‘Amma Ibn ‘Arabi)
Oleh: Muhyiddin Ibn ‘Arabi

Penerjemah: Cecep Ramli Bihar Anwar
Penerbit: Iiman
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU)

الطَّارِقُ

ATH-THĀRIQ

Surah Ke-86: 17 Ayat

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

وَ السَّمَاءِ وَ الطَّارِقِ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ. النَّجْمُ الثَّاقِبُ. إِنْ كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ. فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ. خُلِقَ مِنْ مَّاءٍ دَافِقٍ. يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَ التَّرَائِبِ. إِنَّهُ عَلَى رَجْعِهِ لَقَادِرٌ. يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ. فَمَا لَهُ مِنْ قُوَّةٍ وَ لَا نَاصِرٍ. وَ السَّمَاءِ ذَاتِ الرَّجْعِ. وَ الْأَرْضِ ذَاتِ الصَّدْعِ. إِنَّهُ لَقَوْلٌ فَصْلٌ. وَ مَا هُوَ بِالْهَزْلِ. إِنَّهُمْ يَكِيْدُوْنَ كَيْدًا. وَ أَكِيْدُ كَيْدًا. فَمَهِّلِ الْكَافِرِيْنَ أَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًا

086: 1. Demi langit dan yang datang pada malam hari,

086: 2. tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari,

086: 3. (yaitu) bintang yang cahayanya menembus,

086: 4. tidak ada suatu jiwa pun (diri) melainkan ada penjaganya.

086: 5. Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?

086: 6. Dia diciptakan dari air yang terpancar,

086: 7. yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.

086: 8. Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati).

086: 9. Pada hari dinampakkan segala rahasia,

086: 10. maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatan pun dan tidak (pula) seorang penolong.

086: 11. Demi langit yang mengandung hujan,

086: 12. dan bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan,

086: 13. sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang batil,

086: 14. dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau.

086: 15. Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya.

086: 16. Dan Aku pun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.

086: 17. Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar.

Was-samā’i wath-thāriq (Demi langit dan [bintang] yang datang pada malam hari – ayat 1). Maksudnya, demi “langit” ruh insani, dan demi akal yang tampak di dalam kegelapan jiwa. Akal itulah yang juga disebut “bintang” yang menembus (yatsqubu, seakar kata ats-tsāqib dalam ayat 3) kegelapan jiwa, menyinarkan cahaya dan memberikan petunjuk-petunjuk jalan. Ini seperti difirmankan-Nya: Dan [Dia ciptakan] tanda-tanda [petunjuk jalan]. Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk. (an-Nahl [16]: 16).

In kullu nafsin lammā ‘alaihā hāfizh (Tidak ada suatu jiwapun [nafsu –diri] melainkan ada penjaganya – ayat 4). Jika yang dimaksud jiwa di sini adalah seluruh manusia, maka yang dimaksud penjaga dalam ayat ini adalah Allah. Sementara itu, jika yang dimaksud adalah jiwa, yang berarti daya-daya hewani, maka penjaganya adalah ruh insani.

Innahu ‘alā raj‘hi laqādir, yauma tublas-sarā’ir, fa mā lahu min quwwatin wa lā nāshir. (Sesungguhnya Allah benar-benar berkuasa untuk mengembalikannya [hidup setelah mati]. Pada hari ditampakkan segala rahasia, maka sekali-kali tidak ada lagi manusia suatu kekuatan pun dan tidak [pula] seorang penolong. – 8-10). Sesungguhnya Allah berkuasa untuk menghidupkan kembali manusia seperti halnya. Dia berkuasa menciptakannya sejak semula. Dia menghidupkan kembali di hari ketika seluruh rahasia batin tampak jelas, karena berbagai rahasia itu telah lepas dari tubuh, dan rahasia-rahasia batin itu telah berbalik bentuk menjadi lahir. Maka, pada hari itu, tidak ada kekuatanpun bagi diri manusia, yang mampu mencegah kekuasaan-Nya, dan tidak pula ada seorang penolong yang bisa mencegah-Nya dan menolong orang-orang untuk menentang.

Was-samā’i dzāt-ir-raj‘, wal-ardhi dzāt-ish-shad‘ (Demi langit yang mengandung hujan [raj‘], dan demi bumi yang mempunyai tumbuhan-tumbuhan [ash-shad‘] – ayat 11-12). Maksudnya, demi “langit” ruh yang akan kembali pada Hari Kebangkitan dan demi “bumi” tubuh yang akan terbelah ketika ruh lepas darinya atau akan pecah ketika ruh kembali pada-Nya (11).

Innahu laqaulun fasl, wa mā huwa bil-hazl. (Sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar memisahkan antara yang hak dan yang batil. Dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau – ayat 13-14). Sesungguhnya al-Qur’ān itu membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Tegasnya, sesungguhnya al-Qur’ān itu menampakkan akal (etis) yang bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan (aql furqānī). Akal (etis) ini ditampakkan dalam bentuk bacaan al-Qur’ān (22). Dan sekali-kali al-Qur’ān itu bukanlah seda gurau yang tak memiliki dasar di dalam fitrah manusia dan tidak pula memiliki makna di dalam hati. Allah jua Yang Maha Kuasa. Wallāhu a‘lam.

Catatan:


  1. 1). Kata ar-raj‘ dalam ayat 11, yang dalam terjemahan Depag berarti hujan, bisa pula berarti kembali. Bahkan secara harfiah kata raj‘ memang berarti kembali. Hujan dinamakan raj‘ (kembali) karena hujan berasal dari uap yang naik dari bumi ke udara, kemudian turun ke bumi, naik kembali ke atas dan dari atas turun lagi ke bumi. Begitulah seterusnya siklus air atau hujan itu. Lihat al-Qur’ān dan Terjemahnya terbitan Departemen Agama, 1984, h. 1049, catatan kaki nomor 1571. Sementara itu, kata ash-shad‘ dalam ayat 12, yang dalam terjemahan Depag diartikan sebagai tumbuh-tumbuhan – seiring dengan raj‘ yang diartikan hujan – oleh Ibn ‘Arabi diartikan sebagai belah atau keterpecahan. Kenapa? Karena setelah turunnya hujan, biasanya tumbuh-tumbuhan muncul membelah-tanah dari bawah. Memang, sekali lagi, secara harfiah kata ash-shad‘ itu berarti pecah. Dikatakan: “bumi yang memiliki keterbelahan” karena bumi seolah terbelah oleh tumbuh-tumbuhan yagn tumbuh darinya. Lihat misalnya, Muhammad Husein Thabathaba’i, al-Mīzānu fi Tafsīr-il-Qur’ān, Muassasah al-A‘lami, Beirut, 1991. 20, h. 292 – pen. 
  2. 2). Agaknya, dengan pernyataan itu Ibn ‘Arabi ingin menyatakan bahwa seluruh kandungan al-Qur’ān pada dasarnya secara implisit telah terkandung dalam akal-fitrah. Karenanya seluruh kandungan al-Qur’ān akan selalu selaras dengan akal-fitrah itu. Sebab, agama Islam pada dasarnya dibangun di atas atau sesuai dengan fitrah insani itu: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama [Allah]; [tetaplah atas] fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah [Itulah] agama yang lurus, tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (ar-Rūm [30]: 30). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *