Surah an-Nas 114 ~ Tafsir asy-Syanqithi – Bagian 2

Dari Buku:
Tafsir Adhwa’-ul-Bayan
(Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
(Jilid 11, Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh asy-Syanqithi

Penerjemah: Ahmad Affandi, Zubaidah Abdurrauf, Kholid Hidayatulullah, Muhammad Yusuf.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah an-Nas 114 ~ Tafsir asy-Syanqithi

SURAH AN-NĀS

AN- NĀS (Manusia)
Surah ke 114: 6 ayat.

 

Firman Allah s.w.t.:

إِلهِ النَّاسِ.

Tuhan manusia.

(an-Nās [114]: 3)

 

Inilah tingkatan ketiga dalam kesempurnaan ‘ubudiyyah dan pengesaan Allah dengan sifat uluhiyyah.

Inilah nampaknya lansiran yang dimaksud Syaikh raḥimahullāh, karena ketika hamba telah mengakui bahwa Allah adalah Tuhan dan Penciptanya, Pemberi nikmat kepadanya, mengadakannya dari ketiadaan, dan melengkapinya dengan berbagai nikmat, baginya tidak ada tuhan lain selain-Nya, kemudian bertahap melalui pengetahuan dan keyakinannya bahwa Tuhannya adalah satu-satunya Raja dan yang bertindak pada urusannya, dan dia sedikitpun tidak memiliki dirinya dalam kepemilikan Allah, serta tidak ada seorang pun yang memilikinya selain Allah.

Semua kejadian di alam melalui perintah-Nya, maka tidak ada kebaikan sedikit pun yang sampai kepadanya kecuali dengan seizin-Nya dan tidak ada bahaya yang terlepas darinya melainkan atas perintah Allah semata.

Dia tahu dengan yakin bahwa dia adalah hamba yang dimiliki oleh Dzat yang di tangan-Nya kerajaan langit dan bumi. Dengan pengetahuannya ini dia sampai pada keyakinan bahwa Dzat yang begini sifat-sifatNya berhak untuk diesakan dengan ibadah dan sifat ketuhanan, tidak ada tuhan kecuali Dia.

Berarti, di penutup mushhaf yang mulia terdapat penarikan pengakuan dari hamba kepada Allah melalui jalan pemaksaan, dengan makna yang Allah utus rasul-rasulNya membawanya dan Allah turunkan karenanya Kitab-kitabNya, yaitu Allah disembah sendirian-Nya, dan itulah yang dinyatakan Syaikh raḥimahullāh pada lansiran yang lalu.

Jika Syaikh raḥimahullāh telah mengingatkan perlunya menjaga penutup mushhaf, maka jika kita kembali ke awal mushhaf dan akhirnya, tentu kita menemukan sebuah keterkaitan yang indah, sebab sifat-sifat yang tiga dalam surah an-Nās terdapat dalam surah al-Fātiḥah, maka selaraslah penutup dengan pembuka pada makna yang agung ini. Dalam al-Fātiḥah terdapa ayat: (الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ) “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam” (al-Fātiḥah [1]: 2) dan (مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ) “Yang menguasai di Hari Pembalasan.” (al-Fātiḥah [1]: 4). Lalu datang sifat rububiyyah, kerajaan, dan ketuhanan pada lafazh “Allah”.

Kemudian surah ini ditutup menggunakan pola “Kembali awal”, dan al-Qur’an seluruhnya memiliki keterangan dan penjelasan dalam hal itu untuk menyesuaikan makna yang besar ini.

 

Firman Allah s.w.t.:

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ.

Dari kejahatan (bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi

(an-Nās [114]: 4)

 

Kedua-duanya adalah bentuk mubālaghah dari kata (الوسوسة) dan (الخنْس) (dengan nūn berbaris sukūn).

Telah lewat penjelasan Syaikh raḥimahullāh tentang makna (الوسوسة) menurut bahasa dan syara‘ pada pembahasan firman Allah: (فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ: يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ.) “Kemudian syaithan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi?” (Thāhā [20]: 120).

Beliau menjelaskan akar kata keduanya dan asal pengambilan keduanya, bahwa makna (الوسوسة) berputar pada percakapan yang tersembunyi, dan makna (الخنْس) adalah terlambat.

Beliau juga berbicara tentang hal tersebut untuk menolak kesan kacau, yang berkumpul dua makna yang bertolak belakang (kontradiksi).

Itu karena (الوسوسة) artinya yang banyak membisikkan, untuk menyesatkan manusia dengannya. Sedangkan (الخنْس) maknanya yaitu, yang banyak terlambat, dan kembali dari menyesatkan manusia.

Beliau menjawab: Setiap tempat ada perkataannya, dan setiap perkataan ada tempatnya, bahwa syaithan membisikkan ketika hamba lalai dari mengingat Allah dan terlambat mengingat Allah, sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah:

وَ مَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ

Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur’an), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (az-Zukhruf [43]: 36).

 

Firman Allah s.w.t.:

الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ.

Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.

(an-Nās [114]: 5)

 

Terdapat perbedaan pendapat tentang zharaf (keterangan tempat) di sini, apakah itu keterangan tempat untuk waswas (bisikan kejahatan) ketika ia membisikkan, maka bisikan itu berada di dalam dada dan ia membisikkan ke hati? Ataukah itu keterangan tempat bagi waswasah, dan yang dimaksud dengan dada adalah hati, karena tempatnya di dada dengan pola pemutlakkan tempat dan yang dimaksud adalah keadaan sebagaimana yang berlaku pada pola-pola ilmu Balaghah, dan menurut batasan firman Allah: (فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ) “Maka biarlah dia memanggil golonganmu (untuk menolongnya).” (al-‘Alaq [96]: 17), disebutkan (النادي) “tempat perkumpulan” padahal yang dimaksud adalah orang-orang yang berkumpul di sana dari golongannya.

Telah lewat penjelasan Syaikh raḥimahullāh tentang muta‘addi-nya kata (الوسوسة), yang terkadang dengan (إِلَى) dan terkadang dengan huruf (اللام).

Dalam surah al-A‘rāf: (فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ) “Maka syaithan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya.” (al-A‘rāf [7]: 20) dan (فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ) “Kemudian syaithan membisikkan pikiran jahat kepadanya.” (Thāhā [20]: 120).

Kesimpulan yang beliau sebutkan tentang penyatuan di antara keduanya adalah salah satu dari dua perkara; bisa jadi huruf-huruf jarr saling menggantikan, dan beliau menyebutkan bukti-buktinya, dan bisa jadi ia (syaithan) membisikkan karenanya dan membisikkan kepadanya, maksudnya menyampaikan bisikan kepadanya. Akan tetapi, di sini Allah menyatakan: (فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ), tidak mengatakan: (إِلَى صُدُوْرِ النَّاسِ), maka apakah itu termasuk kategori saling mengganti huruf jarr? Atau ia merupakan zharaf (keterangan tempat) semata?

Pastinya, itu keterangan tempat, akan tetapi apakah ia keterangan tempat untuk perbuatan membisikkan ataukah keterangan tempat bisikan itu sendiri?

Dengan melihat perkataan para mufassir, maka perkataan Ibnu Jarir mengandung pertimbangan kedua makna tersebut tanpa ada penentuan yang mana.

Adapun al-Qurthubi dan al-Alusi, menyatakan dengan apa yang jelas bagi keduanya dan apa yang sampai kepada mereka.

Al-Qurthubi berkata: “Muqatil berkata: “Syaithan dalam bentuk babi berlalu dari tempat aliran darah di urat. Allah membuatnya kuasa melakukan hal tersebut.” Dia juga menyebutkan hadits: “Sesungguhnya syaithan berlalu dari anak Adam di tempat aliran darah, maka persempitlah tempat berlalunya.” (194) Dia juga berkata: “Abu Tsa‘labah al-Khasyani berkata: “Aku pernah meminta kepada Tuhanku untuk memperlihatkan syaithan kepadaku dan tempatnya pada manusia, maka aku melihat kedua tangannya pada kedua tangan manusia, kedua kakinya pada kedua kaki manusia, dan rambut kusutnya pada badannya. Hanya saja, ia memiliki moncong seperti moncong anjing. Jika manusia mengingat Allah, maka syaithan pergi, dan jika manusia diam dari mengingat Allah, maka syaithan memegang hatinya.” (195).

Adapun al-Alusi, beliau menjelaskan dengan pembagian yang telah kami utarakan: (الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ) Ada yang berpendapat bahwa maksudnya hati mereka, sebagai bentuk majāz (kiasan). Sebagian mereka mengatakan bahwa syaithan masuk ke dalam dada yang merupakan rongga sempit, lalu dari situ ia membisikkan apa yang hendak dibisikkannya ke hati, dan tidak ada halangan menurut akal ia masuk ke dalam perut manusia.

Beliau juga menyebutkan hadits: “Sesungguhnya syaithan berlalu…..” (196).

Dan yang dimaksud secara majāz (kiasan) adalah seperti yang telah kami jelaskan, yaitu pemutlakkan nama tempat padahal yang dimaksud adalah keadaannya.

Ibnu Katsir menyebutkan dari Ibnu ‘Abbas dan Mujahid, bahwa syaithan mendekam di hati anak Adam. Jika ia (anak Adam) lupa dan lalai, ia membisikkan, namun jika ia mengingat Allah, ia tertinggal. (197).

Dada adalah tempat bagi perbuatan membisikkan, dan syaithan menyampaikan bisikan ke dalam hati, berdasarkan pendapat Ibnu ‘Abbas dan Mujahid.

Pada lafazh (النَّاس) di sini yang di-idhāfah-kan kepadanya kata (الصدور) terdapat perbedaan pendapat tentang maksud darinya.

Ada yang berpendapat: “Maksudnya adalah manusia, menurut pemakaian yang zhahir.”

Ada yang berpendapat: “Maksudnya (الثقلان) yaitu manusia dan jin.”

Pemutlakkan kata (النَّاس) atas jenis terdengar dalam pemakaian orang ‘Arab, sebagaimana diceritakan oleh al-Qurthubi dari sebagian orang ‘Arab, bahwa suatu ketika dia sedang bercerita, kemudian datang sekelompok “jin” dan berhenti, maka dikatakan kepada mereka: “Siapa kalian?” Mereka menjawab: (ناس من الجن) “manusia dari jenis jin.” Ini adalah makna ucapan al-Farra’

Pengusung pendapat tersebut berargumentasi melalui qiyas (analogi dengan pemakaian lafazh (رجال) dan (نفر) dalam firman Allah: (وَ أَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ.) “Dan bahwa ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin.” (al-Jinn [72]: 6).

(وَ إِذَا صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ) “Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombogan jin kepadamu.” (al-Aḥqāf [46]: 29)

Berdasarkan itu, bisikan yang dimohonkan perlindungan darinya adalah bisikan di dada jin dan manusia.

Syaikh-ul-Islam Ibnu Taimiyyah telah menyebutkan pandangan ini, tetapi ia menolak dan menganggapnya lemah, karena lafazh (النَّاس) lebih jelas dan lebih populer menunjukkan makna manusia. Itulah yang populer dalam pemakaian al-Qur’an. Juga karena dengan demikian menjadikan bagian dari sesuatu yang telah terbagi, karena di sini berarti menjadikan manusia bagian dari jin, dan menjadikan jin sabagai jenis dari manusia. (Ringkasan).

Bagaimanapun, sesuai metodologi al-Adhwā’ ini bahwa apabila suatu kata mengandung dua kemungkinan makna, dan kebanyakan pemakaian al-Qur’an pada salah satu dari dua kemungkinan itu, maka makna yang paling dipakai al-Qur’an itulah yang dikuatkan. Seluruh pemakaian al-Qur’an pada lafazh (النَّاس) hanya diperuntukkan khusus untuk manusia, dan tidak pernah digunakan walau satu kali pun untuk makna jin, padahal dalam surat ini saja digunakan sebanyak lima kali, sehingga surah ini juga dinamakan (النَّاس).

Mengenai analogi lafazh (رجال) dan (نفر), Syaikh-ul-Islam Ibnu Taimiyyah telah menolaknya dengan alasan keduanya disebutkan secara terkait: (رجال من الجن) dan (نفرًا مِن الْجن). Adapun yang disebutkan secara mutlak tidak ada. Begitu pula lafazh (الناس), tidak ada halangan pemakaiannya secara terkait, (ناس من الجن). Sedangkan secara mutlak, tidak boleh.

Berdasarkan itu, disebutkan lafazh (الناس) di sini secara mutlak, maka tidak sah memaknainya atas jin dan manusia sekaligus, melainkan khusus manusia dan (فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ) maksudnya pada dada manusia.

Abus-Sa‘ud telah menyebutkan makna lain pada lafazh (الناس), yaitu (الناسي) dari kata (النسيان) “lupa”, dibuang huruf (الياء) supaya memperingan bacaan, karena syaithan tidak membisikkan kecuali pada saat lupa dan lalai.

Berdasarkan itu, membuang huruf (الياء) sama seperti membuangnya dalam firman Allah: (يَوْمَ يَدْعُ الدَّاعِ) “(Ingatlah) hari (ketika) seorang penyeru (malaikat) menyeru.” (al-Qamar [54]: 6).

Akan tetapi, pendapat tersebut tetap harus menjelaskan siapa yang dimaksud dengan (الناسي) “yang lupa” itu, manusia atau jin? Pendapat ini tetap tidak keluar dari dua kemungkinan yang lalu, kendati pendapat ini termasuk esensi makna (الوسواس الخناس).

Pendapat ini ditolak oleh kata (الصدور) yang berbentuk jama‘ dan kata (الناس) yang mufrad (tunggal). Kata jama‘ tidak di-idhāfah-kan kecuali dengan jama‘ (الصدور), karena mufrad tidak memiliki jama‘ dari (الصدور), lalu jama‘ diimbangi dengan jama‘, atau cukup mufrad dengan mufrad.

Ada jama‘ yang di-idhāfah-kan kepada mutsannā dalam firman Allah s.w.t.: (فَقَدْ صَغَتْ قُلُوْبُكُمَا) “Maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan).” (At-Taḥrīm [66]: 4).

Abu Hayyan berkata: “Sebaiknya yang mutsannā jama‘ pada makna, dan jama‘ pada semacam ini lebih banyak pemakaiannya daripada mutsannā dan tasniyah, bukan jama‘.”

Sebagaimana ucapan penyair:

فَتَخَالَسَا نَفْسَيْهِمَا بِنَوافِذٍ كَنَوَافِذِ الْعُبُطِ الَّتِيْ لَا تُرْقَعُ

Maka terampaslah nyawa keduanya dengan tusukan seperti tusukan di kantong pakaian yang belum terbelah.”

Itu adalah analogi. Hal tersebut karena yang mengungkapkan bentuk mutsannā dengan mutsannā, akan tetapi mereka tidak menyukai berkumpulnya dua mutsannā, maka mereka berpaling kepada jama‘ dengan mengatakan bahwa tatsniyah adalah jama‘ pada maknanya, sedangkan mufrad tidak boleh menurut sahabat-sahabat kami kecuali dalam syair:

Perkataannya:

حَمَامَةَ بَطْنِ الْوَادِيَيْنِ تَرَنَّمِيْ

Maksudnya (بطني), dan Ibnu Malik keliru dalam melakukan tasḥīl (kemudahan) ketika ia menyatakan: “Kami telah memilih mufrad atas lafazh tatsniyah.” Anda melihat Ibnu Malik keliru dalam pilihannya membolehkan idhāfah jama‘ kepada mufrad, sebagaimana beliau berkata: “Hal itu tidak boleh kecuali dalam syair,” dan tidak boleh meng-idhāfah-kan yang mutsannā dengan mutsannā karena ketidaksukaan berkumpulnya dua mutsannā. Dengan demikian, jelaslah kekeliruan pendapat Abus-Sa‘ud.

Adapun pendapat yang rājiḥ pada dua pandangan tentang makna (الناس) adalah pendapat pertama, bahwa yang dimaksud adalah manusia, dan firman Allah s.w.t.: (مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ) merupakan penjelasan tentang siapa yang melakukan bisikan, maksudnya penjelasan bagi (الوسواس الخناس), dan bisikan tersebut berasal dari bisikan jin dan manusia.

Hal tersebut jelas terlihat dari beberapa perkara, di antaranya:

  1. Pesan tersebut ditujukan kepada Rasulullah s.a.w. dan umatnya karena mengikut kepadanya, maka maksudnya pada hak manusia lebih jelas.
  1. Jika kita menjadikan manusia lebih utama secara umum, tentu yang membisikkan kepadanya adalah dari jin, dan manusia adalah sumber bisikan, maka di antara manusia ada yang membisikkan ke dalam dada jin, dan ini mustahil.
  1. Jika lafazh (الناس) mencakup jin dan manusia, tentu tidak perlu ada pembagian (الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ) dan cukup pada yang kedua dengan apa yang cukup dengannya pada yang pertama, dan yang membisikkan ke dalam dada manusia berasal dari manusia. Akan tetapi datang penjelasan tentang tempat bisikan, yaitu di dada manusia, dan sumber bisikan tersebut adalah jin dan manusia.

Unduh Rujukan:

  • [download id="12826"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *