Surah an-Nas 114 ~ Tafsir al-Munir (az-Zuhaili)

Dari Buku:
Tafsir al-Munir
(Jilid 15 Juz 29-30)
Oleh: Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili

Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk.
Penerbit: GEMA INSANI

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

SURAH AN-NĀS
MADANIYYAH, ENAM AYAT

Penamaan Surah

Surah ini dinamakan surah an-Nās, karena dimulai dengan firman Allah s.w.t. (قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ.). Kata an-Nās dalam surah ini diulang sebanyak lima kali. Surah ini turun bersamaan dengan surah sebelumnya dan merupakan surah Makkiyyah menurut kebanyakan ulama. Ada yang berpendapat bahwa surah ini adalah Madaniyyah, sebagaimana keterangan sebelumnya. Sebab turunnya juga dapat kita ketahui sebagaimana surah sebelumnya.

Surah ini adalah surah terakhir dalam al-Qur’an. Al-Qur’an dimulai dengan surah al-Fātiḥah yang merupakan permintaan pertolongan kepada Allah dan memuji-Nya. Dan al-Qur’an diakhiri dengang dua surah al-Mu‘awwidzatain yang bertujuan untuk meminta pertolongan kepada Allah juga.

Kandungan Surah

Surah ini mengandung isti‘ādzah (permintaan perlindungan) kepada Allah s.w.t. Tuhan seluruh manusia dari segala kejahatan Iblis dan bala tentaranya yang dapat melalaikan manusia dengan cara menebarkan rasa waswas pada diri mereka.

Kita telah mengetahui bahwa surah ini, al-Falaq dan al-Ikhlāsh adalah surah-surah yang digunakan oleh Rasulullah s.a.w. untuk meminta perlindungan kepada Allah dari sihir orang-orang Yahudi. Ada yang mengatakan bahwa kedua surah al-Mu‘awwidzatain dinamakan juga al-Muqasyqasyatān, yakni dua surah yang dapat membebaskan dari sifat munafik.

Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir dari Nabi s.a.w., beliau bersabda:

لَقَدْ أَنْزَلَ اللهُ عَلَيَّ آيَاتٍ لَمْ يُرَ مِثْلُهُنَّ: قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ إِلَى آخِرِ السُّوْرَةِ، وَ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ إِلَى آخِرِ السُّوْرَةِ.

Allah telah menurunkan ayat-ayat kepadaku yang tidak ada tandingannya, yaitu surah an-Nās dan surah al-Falaq.

Tirmidzi berkata: “Hadits ini ḥasan shaḥīḥ.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Berlindung Dari Berbagai Kejahatan Setan.

Surah an-Nās. Ayat 1-6.

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلهِ النَّاسِ. مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ. الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

114-1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia,

114-2. Raja manusia,

114-3. Sembahan manusia,

114-4. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,

114-5. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.

114-6. Dari (golongan) jin dan manusia.”


I‘rāb

(مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ) kalimat ini bisa jadi badal (pengganti) dari (شَرِّ الْوَسْوَاسِ), perkiraan kalimatnya (أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ مِنْ شَرِّ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ.). Bisa juga berkaitan dengan kata yang dibuang, perkiraannya (الكَائِنُ مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ.), yang memberikan rasa waswas di diri manusia. Dalam kata (يُوَسْوِسُ) terdapat dhamīr al-jinnah. Dhamīr tersebut merupakan dhamīr mudzakkar karena mengandung makna Jin. Kata tersebut diungkapkan secara metaforis dan mengakhirkan kata al-Jinnah karena kata tersebut diperkirakan ada di bagian depan. Itu seperti firman Allah s.w.t. dalam surah Thāhā ayat 67 (فَأَوْجَسَ فِيْ نَفْسِهِ خِيْفَةً مُوْسَى.). Dalam ayat tersebut dhamīr berada lebih dahulu dalam susunannya karena lafal Musa diperkirakan ada di bagian depan dan dhamīr-nya berada setelahnya.


Balāghah

(أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ) kalimat ini dan setelahnya merupakan idhāfah (penyandaran) yang bertujuan untuk memuliakan dan meminta bantuan. Lafal Rabb disandarkan pada lafal an-Nās karena isti‘ādzah (permintaan pertolongan) dari kejahatan yang memberi rasa waswas pada hati mereka. Mereka meminta pertolongan kepada Tuhan mereka, sebagaimana seorang hamba sahaya meminta pertolongan kepada tuannya jika ada masalah. Abu Hayyan berkata: “Yang tampak bahwa kalimat (مَلِكِ النَّاسِ.) dan (إِلهِ النَّاسِ.) adalah dua sifat Allah.” Zamakhsyari berkata: “Ada ‘athaf bayān pada kata Rabb karena Rabb terkadang bukan merupakan Malik dan Malik terkadang bukan merupakan Ilāh.”

(بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلهِ النَّاسِ.) merupakan ithnāb dengan mengulang-ulang kata an-Nās, yang bertujuan untuk menambah makna takrīm (pemuliaan) dan ‘aun (pertolongan) juga memberi tambahan keterangan dan menunjukkan kemuliaan manusia.

Antara kata (الْجِنَّةِ) dan (النَّاسِ) terdapat Thibāq (antonim). Antara kata (يُوَسْوِسُ) dan (الْوَسْوَاسِ) terdapat jinās isytiqāq (sinonim pecahan kata). Tiap kata akhir dalam surah tersebut berakhir dengan huruf sīn yang mengandung bunyi nyaring dan mengena dalam jiwa.


Mufradāt Lughawiyyah

(أَعُوْذُ) aku berlindung (بِرَبِّ النَّاسِ) kepada Tuhan manusia yang mengatur dan memerhatikan urusan mereka. Al-Baidhawi berkata: “Ketikan surah sebelumnya berisi mengenai permintaan perlindungan dari bahaya fisik, yang mencakup manusia dan lainnya, surah ini permintaan pertolongan tersebut dari bahaya yang mengancam jiwa manusia secara khusus. Di sana idhāfah dimaksudkan secara umum sedangkan di sini dikhususkan kepada manusia, seakan-akan dikatakan (أَعُوْذُ مِنْ شَرِّ الْمُوَسْوِسُ إِلَى النَّاس بِرَبِّهِمْ الَّذِيْ يَمْلِكُ أُمُوْرَهُمْ، وَ يَسْتَحِقُّ عِبَادَتِهِمْ.) aku berlindung dari yang menebarkan rasa waswas kepada manusia dengan Tuhan mereka yang menguasai perkara mereka dan berhak untuk mereka sembah.

(مَلِكِ النَّاسِ. إِلهِ النَّاسِ) dua sifat yang menunjukkan bahwa Allah s.w.t. mampu untuk memberikan perlindungan dan tiada yang dapat mencegah-Nya. (الْوَسْوَاسِ) rasa waswas yang menebarkan di dalam hati bahaya kejahatan dan keburukan. Kata tersebut boleh dimaksudkan sebagai bentuk mashdar, yakni (الوسوسة), seperti (الزلزال) dengan makna (الزلزلة). (الْخَنَّاسِ) shīghat mubālaghah, yakni termasuk adat kebiasaannya adalah lambat mengingat Allah. Al-Khunūs adalah kembali dan terlambat. (مِنَ الْجِنَّةِ) ini adalah penjelasan bagi kata (وسواس), kata (مِنَ الْجِنَّةِ) merupakan bentuk jamak dari kata (جني), seperti kata (إِنسي) dan (إِنس). Jin merupakan makhluk halus yang hanya diketahui oleh Allah s.w.t.


Tafsir dan Penjelasan

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhannya manusia, Raja manusia, Sembahan manusia.” (an-Nās: 1-3).

Katakanlah wahai Rasul: “Aku berlindung dan meminta pertolongan kepada Allah Zat yang memelihara dan menjaga seluruh manusia, serta menciptakan dan mengatur seluruh perkara mereka. Dialah Zat yang mempunyai kepemilikan dan kekuasaan yang sempurna. Dia adalah Tuhan yang disembah oleh seluruh manusia. Nama al-Ilāh khusus untuk Allah dan tiada sekutu bagi-Nya. Adapun nama al-Malik terkadang dipakai oleh Zat yang benar-benar Tuhan, terkadang tidak.

Inilah tiga sifat bagi Allah s.w.t., ar-Rubūbiyyah, al-Milku, dan al-Ulūhiyyah. Dia adalah Tuhan dan pemilik segala sesuatu. Semua makhluk diciptakan oleh-Nya dan menjadi milik-Nya. Sifat ar-Rubūbiyyah didahulukan karena cocok untuk al-Isti‘ādzah (permintaan pertolongan). Sifat ini mengandung kenikmatan penjagaan dan pemeliharaan. Kemudian Allah s.w.t. menyebutkan sifat Milkiyyah (kepemilikan) karena orang yang meminta pertolongan tidak mendapati pertolongan melainkan dari pemiliknya. Setelah itu Allah menyebutkan sifat Ulūhiyyah untuk menjelaskan bahwa Dialah Zat yang berhak untuk disyukuri dan disembah, bukan yang selain-Nya.

Sebab pengulangan lafal an-Nās adalah untuk menambah penjelasan dan keterangan, serta menunjukkan kemuliaan manusia di antara makhluk-makhluk Allah s.w.t. Allah berfirman (رَبِّ النَّاسِ) Tuhan manusia, padahal Allah adalah Tuhan seluruh makhluk. Manusia disebutkan secara khusus untuk tujuan memuliakan eksistensi mereka, karena al-Isti‘ādzah (permintaan pertolongan) tersebut adalah karena mereka.

Dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi.” (an-Nās: 4).

Aku berlindung kepada Allah dari kejahatan setan yang menebarkan rasa waswas yang sering bersembunyi dan terlambat mengingat Allah. Jika manusia mengingat Allah s.w.t., setan akan bersembunyi. Namun jika ia tidak mengingat-Nya setan akan menyebar dalam hatinya. Ibnu ‘Abbas berkomentar tentang ayat ini: “Setan bertengger di hati anak Adam. Jika ia lupa (berzikir), setan akan memberinya rasa waswas, dan jika ia mengingat Allah, setan akan bersembunyi.”

Allah s.w.t. telah memberi kekuatan kepada setan untuk menguasai manusia kecuali orang-orang yang telah dijaga oleh Allah s.w.t. Itu semua bertujuan untuk ber-mujāhadah, fitnah (bencana) dan ujian. Dalam hadits shaḥīḥ, Nabi s.a.w. bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وُكِّلَ بِهِ قَرِيْنُهُ. قَالُوْا: وَ أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ نَعَمْ إِلَّا أَنَّ اللهَ أَعَانَنِيْ عَلَيْهِ، فَأَسْلَمَ، فَلَا يَأْمُرُنِيْ إِلَّا بِخَيْرٍ.

Tiada seorang pun dari kalian melainkan diberi qarinnya (teman). Para sahabat bertanya: “Engkau juga wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Iya, hanya saja Allah telah membantuku atasnya sehingga dia masuk Islam dan tidak menyuruhku melainkan dalam kebaikan.

Dalam Shaḥīḥ Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Anas tentang kisah Shafiyyah yang mengunjungi Nabi s.a.w. saat beliau beri‘tikaf dan keluarnya beliau dengannya di waktu malam untuk mengantarnya pulang ke rumahnya. Kemudian ada dua orang lelaki dari kaum Anshar berpapasan dengan beliau. Saat keduanya melihat Nabi s.a.w., mereka menpercepat jalan, lantas Rasulullah s.a.w. bersabda: “Kalian berdua jangan berjalan tergesa-gesa, sesungguhnya ini adalah Shafiyyah binti Huyay.” Mereka berdua berkata: “Maha Suci Allah, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya setan mengalir pada diri manusia dalam aliran darah. Sesungguhnya aku khawatir setan menebarkan sesuatu – atau keburukan – dalam hati kalian berdua.”

Diriwayatkan oleh al-Hadizh Abu Ya‘la al-Maushili dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah s.a.w. bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ وَاضِعٌ خَطْمَهُ عَلَى قَلْبِ ابْنِ آدَمَ، فَإِنْ ذَكَرَ اللهَ خَنَسَ، وَ إِنْ نَسِيَ الْتَقَمَ قَلْبَهُ، فَذلِكَ الْوَسْوَاسُ الْخَنَّاسُ.

Sesungguhnya setan telah meletakkan hidungnya di hati anak Adam. Jika ia mengingat Allah, maka setan akan bersembunyi. Jika ia lupa, maka setan akan menguasai hatinya, dan itulah “al-waswās-ul-khannās” waswas yang bersembunyi.

Ahmad meriwayatkan dari Abu Tamimah yang menyampaikan dari orang yang berjalan di belakang Rasulullah s.a.w.:

عَثَرَ بِالنَّبِيِّ (ص) حِمَارُهُ، فَقُلْتُ: تَعِسَ الشَّيْطَانُ، فَقَالَ النَّبِيُّ (ص) لَا تَقُلْ: تَعِسَ الشَّيْطَانُ، فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ: تَعِسَ الشَّيْطَانُ، تَعَاظَمَ، وَ قَالَ: بِقُوَّتِيْ صَرَعْتُهُ، وَ إِذَا قُلْتَ: بِاسْمِ اللهِ، تَصَاغَرَ حَتَّى يَصِيْرَ مِثْلَ الذُّبَابِ.

Unta Nabi s.a.w. tersungkur, lantas aku berkata: “Hancurlah setan.” Lantas Nabi s.a.w. bersabda: “Janganlah kamu berkata: “Hancurlah setan, karena jika kamu berkata demikian, maka setan akan semakin besar dan berkata: “Dengan kekuatanku maka aku akan melemparnya.” Dan jika kamu berkata: “Dengan menyebut nama Allah” maka setan akan mengecil hingga menjadi seperti lalat.

Hadits di atas menunjukkan bahwa ketika hati berdzikir (mengingat) kepada Allah, setan akan mengecil dan kalah. Akan tetapi jika hati tidak berdzikir kepada Allah, setan akan membesar dan mengalahkan.

Kemudian, Allah s.w.t. menjelaskan tempat waswas setan, Allah berfirman:

Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” (an-Nās: 5).

Yang menebarkan pikiran-pikiran buruk dan jahat di dalam hati. Dalam ayat tersebut disebutkan kata ash-Shudūr (dada) karena dada adalah tempat hati. Pikiran-pikiran itu tempat di hati, sebagaimana dikenal dalam dialektika orang-orang ‘Arab.

Kemudian Allah s.w.t. menjelaskan bahwa yang melakukan waswas itu ada dua macam: jin dan manusia. Allah berfirman:

Dari (golongan) jin dan manusia.” (an-Nās: 6).

Yang menebarkan rasa waswas itu adakalanya setan dari kalangan jin yang menebarkan waswas di hati manusia, sebagaimana telah dijelaskan. Adakalanya juga setan dari kalangan manusia. Waswas setan dari kalangan manusia di hati manusia adalah ia melihat dirinya layaknya orang yang menasihat. Kemudian nasihatnya tersebut mengena dalam hati dan menjadikannya mangsa waswas setan dari kalangan jin. Ini merupakan dalil bahwa waswas itu terkadang dari kalangan jin dan terkadang dari kalangan manusia, sebagaimana dalam firman Allah:

Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan.” (al-An‘ām: 112).

Yakni bukan permusuhan, pemaksaan dan penguasaan, tetapi Allah s.w.t. meletakkan pada diri mereka kekuasaan untuk memilih. Di antara mereka memilih untuk mendengarkan waswas setan dan di antara mereka ada yang menghindari permusuhan dan waswas setan.


Fiqih Kehidupan atau Hukum-hukum

Karena sifat kasih Allah s.w.t. kepada kita Allah mengajari kita tentang tata cara untuk berlindung dari setan menusia dan jin. Dia memberitahu kita tentang tiga sifat-Nya; rububiyyah, milkiyyah, dan uluhiyyah. Dengan sifat-sifatNya tersebut, Allah akan menjaga hamba yang meminta perlindungan dari kejahatan setan-setan dalam agama, dunia dan akhirat. Makna sifat rububiyyah menunjukkan perhatian yang lebih dan keinginan kuat untuk memelihara. Allah menyebutkan bahwa Dia adalah Tuhan seluruh manusia, meskipun sebenarnya adalah Tuhan seluruh makhluk. Hal ini karena dua alasan; (1) kerana manusia adalah makhluk yang diagungkan. Dengan menyebut mereka, Allah memberitahu bahwa Dia adalah Tuhan yang memelihara mereka meskipun derajat mereka agung, (2) Karena Allah s.w.t. memerintahkan untuk meminta perlindungan dari kejahatan manusia. Dengan menyebut mereka, Allah memberitahu bahwa Dialah yang memberi perlindungan kepada mereka. (2881).

Kemudian, Allah s.w.t. menyebutkan dua sifat-Nya; al-Milk, dan Uluhiyyah untuk menjelaskan kepada manusia bahwa Dialah pemilik mereka yang sebenarnya meskipun mereka mempunyai raja-raja. Allah juga memberitahu bahwa Dialah Tuhan dan sesembahan mereka, tiada Tuhan melainkan Dia. Dialah yang wajib untuk dimintai perlindungan, bukan raja-raja dan para pembesar dari kalangan makhluk.

Surah ini menjelaskan bahwa waswas, adakalanya dari jin dan adakalanya dari manusia. Hasan berkata: “Itu adalah dua setan. Setan dari kalangan jin akan menebarkan rasa waswas di hati manusia. Sementara itu, setan dari kalangan manusia, ia akan datang secara terang-terangan.” Qatadah berkata: “Sesungguhnya dari kalangan jin ada setan-setan dan dari kalangan manusia juga ada setan-setan, maka berlindunglah kepada Allah dari setan manusia dan jin.”

Kita dapat memerhatikan bahwa Zat yang dimintai perlindungan dalam surah al-Falaq, disebutkan dengan satu sifat, yaitu bahwa dia adalah Rabb-ul-Falaq (Tuhan yang menguasai Shubuh). Hal yang dihindari di dalam surah tersebut ada tiga macam keburukan, yaitu al-Ghāsiq (gelap malam), an-Naffātsāt (tukang sihir perempuan), dan al-Hāsid (orang dengki). Adapun di dalam surah ini, Zat yang dimintai perlindungan disebutkan dengan tiga sifat, yaitu Rabb (pemelihara), Malik (penguasa/pemilik) dan Ilāh (Tuhan sesembahan), sedangkan yang dihindari adalah satu keburukan, yaitu waswas. Sebab perbedaan pada dua surah ini adalah bahwa pada surah pertama yang diminta adalah keselamatan jiwa dan badan, sedangkan dalam surah ini adalah keselamatan agama. Kecelakaan agama meskipun sedikit, lebih besar daripada kecelakaan dunia meskipun banyak.” (2892).

Selanjutnya, Saya bersujud syukur kepada Allah s.w.t. atas segala kesempurnaan dan kenikmatan yang telah dikaruniakan kepadaku dengan selesainya tafsir yang mencakup ma’tsur (riwayat) dan ma‘qul (logika) serta mencakup seluruh macam penjelasan dan hukum-hukum dalam al-Qur’an yang merupakan tafsir kontemporer. Saya selesai menulis tafsir ini tepat pada pukul 08.00 di pagi yang penuh berkah pada 13 Dzulqa‘dah 1408 H, yang bertepatan dengan tanggal 27 Juni 1988 M. Pada saat itu, umur saya telah mencapa 56 tahun. Aku telah konsentrasi untuk menyelesaikan misi ini bertahun-tahun. Demi menyelesaikannya, aku berhijrah ke daerah Imārat-ul-‘ain, meninggalkan anak dan keluarga, tenggelam dalam lautan kalam ilahi sehingga keimanan saya semakin bertambah.

Kitab ini adalah karangku pertama di daerahku Der ‘Athiyyah di pinggir kota Damaskus yang luas, tempat kelahiranku tahun 1932 M. Daerah ini adalah daerah bekas peperangan pada tahun 1962 M. Kemudian, saya terus melanjutkan aktivitas menulis saya setelah itu. Karya-karyaku yang telah saya tulis selama tiga puluh tahun, sebagian besar saya tulis di Riyadh, Damaskus dan ‘Ain. Segala puji dan syukur hanya bagi-Mu Ya Allah. Jadikanlah setiap huruf dari kitab-Mu dan tafsirannya serta seluruh yang saya tulis hanya semata-mata ikhlas karena-Mu. Berilah kemanfaatan dan kebaikan. Dengan semua itu, kelak di akhirat bebaskanlah setiap jengkal dari raga, ruh, rambut, kulit, tulang, daging, pendengaran, penglihatan, otak dan darah saya dari api neraka. Masukkanlah saya ke dalam surga dengan penuh keselamatan.

Maha Suci Engkau Ya Allah, saya tidak dapat menghitung pujian atas-Mu sebagaimana Engkau memuji diri-Mu. Ya Allah Yang Maha Lembut di atas segala kelembutan, berlaku lembutlah dalam segala perkara saya sebagaimana saya inginkan. Ridhailah aku di dunia dan akhirat. Ampunilah dosa-dosa saya, orang tua saya serta kaum Muslimin dan Muslimat.

Catatan:


  1. 288). Tafsir al-Qurthubi: 20/260.
  2. 289). Tafsir ar-Razi: 32/199.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *