Surah an-Nas 114 ~ Tafsir al-Azhar

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

114
Sūrat an-Nās

Sūrat an-Nās, Ayat: 1-6.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلهِ النَّاسِ. مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ. الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

114-1. Katakanlah: “Aku berlindung Pemelihara manusia,

114-2. Penguasa manusia,

114-3. Tuhan bagi manusia,

114-4. Dari kejahatan bisik-bisikan dari si pengintai-peluang,

114-5. Yang membisik-bisikan ke dalam dada manusia.

114-6. Daripada jin dan manusia.”

 

Katakanlah” (pangkal ayat 1). Hai Utusan-Ku, dan ajarkan jugalah kepada mereka yang percaya: “Aku berlindung dengan Pemelihara manusia.” (ujung ayat 1). “Penguasa manusia.” (ayat 2). “Tuhan bagi manusia.” (ayat 3).

Di dalam Surat yang terakhir dalam susunan al-Qur’an yang 114 Surat ini, disebutkanlah ajaran bagaimana caranya manusia berlindung kepada Allah dari sesamanya manusia.

Saya sendiri dan saudara yang membaca karangan ini adalah manusia. Dan kita pun hidup di tengah-tengah manusia. Selain dari hubungan kita dengan Allah, kita pun selalu berhubungan dengan sesama manusia. Tidak ada di antara kita yang dapat membebaskan diri daripada ikatan dengan sesama manusia. Di dalam Surat 3, Āli ‘Imrān ayat 112 dengan tegas Allah memberikan peringatan bahwa kehinaan akan dipikulkan Tuhan kepada kita kecuali dengan berpegang kepada dua tali: tali dari Allah dan tali dari manusia. Agama sendiri pun, selain mengatur tali perhubungan dengan Allah, juga mengatur tali perhubungan dengan sesama manusia. Dan kita pun maklum dan mengalami sendiri, bahwa pergaulan dengan sesama manusia itu bukanlah suatu yang mudah. Yang bagus menurut pendapat kita belum tentu bagus menurut pendapat orang lain. Langkah cita-cita yang baik belum tentu diterima orang lain. Kalau dipandangnya akan merugikannya, niscaya akan dihambatnya.

Di tengah-tengah gelombang kehidupan manusia yang banyak itu, dengan berbagai macam ragam keinginan, kelakuan, cita-cita, lingkungan dan pendidikan terseliplah kita, saya dan saudara, sebagai pribadi. Menyisih dari sesama manusia tidak bisa, dan bergaul terus dengan mereka bukan tak ada pula akibatnya, akibat yang baik ataupun yang buruk.

Manusia bisa menguntungkan kita dan bisa membahayakan kita.

Maka diajarkanlah pada Surat yang terakhir ini bagaimana cara kita menghadapi dan hidup di tengah-tengah manusia. Kita dengan ajaran melalui Nabi s.a.w. disuruh memperlindungkan diri kepada Allah! Karena Allah itulah Rabb-un-Nāsi, Pemelihara Manusia. Malik-un-Nāsi, Penguasa Manusia dan Ilāh-un-Nāsi, Tuhan bagi manusia.

Allah adalah Rabbun, Malikun, Ilāhun.

Allah adalah Pemelihara, Penguasa dan Tuhan.

Allah adalah KHĀLIQ, artinya Pencipta. Di samping menciptakan seluruh alam, Allah pun menciptakan manusia, dan manusia itu mempunyai pergaulan hidup. Manusia diberi akal budi, sehingga manusia hidup di permukaan bumi ini jauh berbeda dengan kehidupan makhluk Allah yang lain. Sebab itu maka manusia dapat merencanakan apa yang akan dikerjakannya di dalam menempuh jalan hidupnya sampai dunia ini akan ditinggalkannya kelak.

Tidaklah Allah membiarkan saja manusia hidup menurut semau-maunya.

Apakah menyangka manusia itu bahwa ia akan dibiarkan saja hidup terlunta-lunta?” (al-Qiyāmah : 36)

Tuhan adalah Rabb-un-Nāsi, Pemelihara manusia. Tidak dibiarkan terlantar, dipelihara-Nya lahirnya dan batinnya, luarnya dan dalamnya, jasmaninya dan rohaninya, makanannya dan minumannya. Yang dipelihara-Nya itu termasuk aku, engkau dan termasuk segala makhluk yang bernama Nās atau Insan dalam dunia ini. Sehingga turun nafas kita, perjalanan dan goyangan jantung siang dan malam yang tidak pernah berhenti, alat-alat pencerna tubuh, telinga alat pendengar, mata alat melihat, hidung alat pembau, semuanya dipelihara terus oleh Maha Pemelihara itu, oleh Rabbun itu.

Dan Dia adalah pula Malik-un-Nāsi, Penguasa dari seluruh manusia.

Kalau kalimat malik itu dibaca tidak dipanjangkan bacaan pada mīm (tidak dengan madd, panjang dua alif menurut ilmu tajwid), berartilah dia Penguasa atau Raja. Pemerintah tertinggi atau Sultan. Tetapi kalau malik dibaca dengan dipanjangkan dua alif pada mīm, berarti dia Yang Empunya.

Dipanjangkan membaca mīm ataupun dibaca tidak dipanjangkan namun pada kedua bacaan itu memang terkandung kedua pengertian Allah itu memang Raja, atau Penguasa yang mutlak atas diri manusia Maha Kuasa Allah itu mentakdirkan dan mentadbirkan, sehingga mau tidak mau, kita manusia mesti menurut peraturan yang telah ditentukan-Nya, yang disebut Sunnatullāh. Kalau kita hendak dilahirkan-Nya ke dunia, hanya berasal dari setetes mani, kita pun lahir. Kalau kita hendak dimatikan-Nya, bagaimanapun bertahan, kita pasti mati. Kita ini Dialah yang empunya. Bahkan nyawa kita sendiri kitalah yang empunya. Namun pada hakikatnya, yang empunya nyawa kita bukanlah kita, melainkan Dia. Jelas dikatakan-Nya dalam Wahyu-Nya, artinya: Nyawa-Nya, bukan Ruhi-iy: Roh atau nyawaku! (Dengan K, huruf kecil).

Kalau sudah jelas bahwa nyawa kita sendiri bukan kita manusia yang empunya, apalah lagi yang kita kuasai dan kita punyai dalam diri kita ini?

Tidak ada!

Maka tidaklah ada artinya mengakui Allah sebagai Rabbun, atau Pemelihara, kalau kita tidak mengakui yang selanjutnya, yaitu bahwa Allah itu sebagai Malikun adalah sebagai Penguasa atas kita manusia, Raja atas kita manusa, yang Memiliki atas diri seluruh manusia, termasuk aku dan engkau!

Oleh sebab hanya Dia Pemelihara dan hanya Dia Penguasa, maka hanya Dia pulalah yang Ilāh, hanya Dia sajalah yang Tuhan, yang wajar buat disembah dan dipuja. Kepada-Nyalah kembali segala persembahan dan segala pemujaan.

Kita perlindungkan diri kepada Allah, Pemelihara, Penguasa dan Tuhan dari Sarwa Sekalian Alam, dan khusus dari seluruh manusia dari segala marabahaya.

Pada Surat yang telah lalu, Surat 113, Al-Falaq kita memperlindungkan diri kepada Allah sebagai Pemelihara dari pergantian malam kepada siang, dari kejahatan segala apa pun yang Dia jadikan. Kita melindungkan diri kepada-Nya, dalam keadaan-Nya sebagai Pemelihara dari kegelapan malam, dan kita pun melindungkan diri dari mantra dan tuju tukang sihir, ataupun dari bujuk rayu perempuan (sebagai ditafsirkan oleh Abu Muslim) dan dari hasad dengkinya orang yang dengki. Namun pada Surat penutup ini, Surat 114 kita berlindung kepada Allah dari satu macam bahaya yang timbul dari sesama manusia. Apakah bahaya itu?

Yaitu: “Dari kejahatan bisik-bisikan dari si pengintai-peluang.” (ayat 4). Ialah orang yang selalu mengintai kalau ada peluang. Yang selalu menunggu moga-moga kita terlengah. Maka saat kita terlengah itulah peluang yang baik baginya untuk membisik-bisikkan suatu!

Yang membisik-bisikkan di dalam dada manusia.” (ayat 5). Dia berbisik-bisik, bukan berterang-terang. Dia masuk ke dalam dada manusia secara halus sekali. Dia menumpang dalam aliran darah, dan darah berpusat ke jantung, dan jantung terletak di dalam dada. Maka dengan tidak disadari bisikan yang dimasukkan melalui jantung yang dibalik benteng dada itu, dengan tidak disadari terpengaruhlah oleh bisik itu. Sedianya kita akan maju, namun karena mendengar bisikan dalam dada itu, kita pun mundur.

Tadinya hati kita telah bulat hendak berjihad fī Sabīlillāh, namun karena bisikan yang menembus hati itu, kita tidak jadi berjihad. Kita menjadi ragu akan maju ke muka. Bisikan dalam hati yang menghasilkan ragu-ragu itu sangatlah menurunkan mutu kita sebagai manusia. Dan perasaan yang dibisikkan oleh sesuatu di dalam dada itu telah diberi nama dalam ayat-ayat ini, yaitu waswas! Dan dia pun telah menjadi bahasa Indonesia kita, waswas.

Siapa yang memasukkan waswas ini ke dalam dada kita? Ditegaskan oleh ayat terakhir. Dia terdiri: “Daripada jin dan manusia.” (ayat 6).

Si pengintai-peluang (ayat 4) disebut si KHANNĀS!

Ada yang halus atau secara halus, itulah yang dari jin. Ada yang kasar secara kasar, itulah yang dari manusia.

Keduanya membujuk, merayu, setelah memperhatikan bahwa kita lengah.

Karena kelengahan kita, timbullah penyakit waswas dalam dada, hilang keberanian menegakkan yang benar dan menangkis yang salah, sehingga rugilah hidup di tengah-tengah pergaulan manusia yang menempuh jalan berliku-liku ini.

Di ayat penghabisan ini telah dijelaskan bahwasanya si pengintai-peluang itu terdiri dari dua jenis, yaitu jin dan manusia. Al-Hasan menegaskan: “Keduanya sama-sama syaithan. Syaithan yang berupa jin memasukkan waswas ke dalam dada manusia. Adapun syaithan yang berupa manusia memasukkan waswas secara kasar.”

Qatadah menjelaskan: “Di keduanya ada syaitannya. Di kalangan jin ada syaithan-syaithan, di kalangan manusia pun ada syaithan-syaithan.”

Tafsir dari Ustazul Imam Syaikh Muhammad ‘Abduh lebih menjelaskan lagi. Kata beliau: “Yang membisik-bisikkan (waswas) ke dalam hati manusia itu adalah dua macam. Pertama ialah yang disebut jin itu, yaitu makhluk yang tak nampak oleh mata dan tidak diketahui mana orangnya tetapi terasa bagaimana dia memasukkan pengaruhnya ke dalam hati, membisikkan, merayukan. Dan semacam lagi ialah perayu yang kasar, yaitu manusia-manusia yang mengajak dan menganjurkan kepada jalan yang salah.”

Imam Ghazali di dalam kitabnya “Iḥyā’ Ulūmuddīn” yang terkenal itu memberikan bimbingan terperinci, bagaimana usaha supaya di dalam kita melakukan sembahyang jangan sampai si Khannās itu dapat memasukkan pengaruhnya ke dalam dada kita. Di antara lain beliau menulis: “Apabila engkau membaca A’ūdzu billāhi minasy-syaithān-ir-rajīm, hendaklah engkau ingat bahwa musuh besarmu itu (syaithan), selalu mengintipmu, dan jika engkau lengah niscaya dipalingkannya hatimu daripada ingat akan Allah. Asal mulanya ialah karena hasad dengkinya kepadamu, melihat engkau munajat menyeru Allah dan engkau bersujud kepada-Nya. Padahal dia dikutuk Tuhan karena sekali bersalah menantang Tuhan, tidak mau sujud kepada Adam.

Dan sesungguhnya engkau memperlindungkan diri kepada Allah daripada perdayaan syaithan itu ialah dengan meninggalkan apa yang disukai syaithan, bukan semata-mata hanya berlindung diucapkan mulut. Karena orang yang telah diintai oleh binatang buas, sedang dia tahu, atau hendak diserang dan dibunuh oleh musuhnya, tidaklah akan menolong kalau hanya diucapkannya “Aku berlindung kepada Allah, bentengku yang kuat,” padahal dia masih tegak juga di tempat. Ucapkanlah ucapan itu, tetapi segeralah tinggalkan tempat yang berbahaya itu. Karena dengan ucapan saja tidaklah akan berfaedah.

Demikian jugalah adanya orang yang masih saja menuruti kehendak syahwatnya, padahal menurut syahwat itulah yang sangat disukai oleh syaithan dan dimurkai oleh Tuhan, tidaklah akan menolong kalau hanya ucapan, kalau hanya bacaan! Tetapi hendaklah di samping berucap dan membaca, ambil cepat tindakan meninggalkan lapangan syaithan itu dan masuk ke dalam benteng yang tidak sedikit pun dapat dimasuki oleh musuh. Benteng yang teguh kokoh itu ialah yang pernah dijelaskan oleh Tuhan ‘azza wa jalla dengan perantaraan lidah Nabi-Nya SAW. Bahwa Tuhan pernah berfirman kepada beliau (Hadis Qudsi):

Lā Ilāha Illallāh”, “Tidak ada Tuhan melainkan Allah adalah benteng-Ku, barang siapa yang masuk melindungkan diri ke dalam benteng-Ku, selamatlah ia daripada azab-Ku.

Orang yang terpelihara dalam benteng itu ialah orang yang benar-benar tidak ada ma’būd-nya, tidak ada yang disembahnya selain Allah. Adapun orang yang mengambil hawa nafsunya menjadi Tuhannya, maka dia itu adalah di tempat permedanan syaithan, bukan berlindung di bentang Tuhan.” – Sekian Ghazali.

Maka banyaklah keterangan dari Rasulullah SAW sendiri tentang bagaimana pentingnya kedua Surat ini yang selalu disebut “Mu’awwidzataini” (dua Surat perlindungan) untuk dijadikan bacaan pengokoh iman, penguat jiwa, penangkis bahaya.

Maka tersebutlah di dalam Hadis yang Shahih, dirawikan oleh Bukhari, yang beliau terima dengan sanadnya daripada Ibu orang yang beriman Siti ‘A’isyah (moga-moga Allah ridha kepadanya), bahwasanya junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. apabila hendak masuk ke dalam tempat tidurnya setiap malam, dikumpulkannya kedua telapak tangannya, kemudian itu dibacanya: mula-mula “Qul Huwallāhu Aḥad”, sesudah itu “Qul A’ūdzu Bi Rabb-il-Falaqi”, sesudah itu “Qul A’ūdzu Bi Rabb-in-nāsi”, yang dirampungkannya sambil membaca itu dengan kedua telapak tangannya itu. Setelah selesai, maka dibarutkannyalah kedua telapak tangannya itu pada bahagian-bahagian yang dapat dicapai oleh kedua telapak tangannya itu, dengan dimulai dari kepalanya dan mukanya, terus kepada seluruh badannya sampai ke bawah. Diperbuatnya demikian sampai tiga kali.”

Selain dari Bukhari, Hadis ini pun dirawikan oleh Ashḥab-us-Sunan.

 

Dan seketika penulis tafsir ini masih lagi kecil, cara pelaksanaan Hadis ini telah diajarkan kepadaku oleh ayahku dan guruku. Dan dalam perjalanan-perjalanan musafir ketika saya mengiringkan beliau, jaranglah aku tidak melihat beliau melakukan demikian. Demikianlah adanya, Amin.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *