Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir Nur-ul-Qur’an

TAFSIR NUR-UL-QUR’AN
(Diterjemahkan dari: Nur-ul-Qur’an: An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur’an).
Oleh: Allamah Kamal Faqih Imani
Penerjemah Inggris: Sayyid Abbas Shadr Amili
Penerjemah Indonesia: Rahadian M.S.
Penerbit: Penerbit al-Huda

Rangkaian Pos: Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir Nur-ul-Qur'an

SURAH AL-MUZZAMMIL

(ORANG YANG BERSELIMUT)

 

(SURAH NO. 73; MAKKIYYAH; 20 AYAT)

 

Tinjauan Umum

Surah mulia ini turun di Makkah, memiliki 20 ayat dan termasuk juz ke-29. Surat al-Muzzammil memperlihatkan kesamaannya dengan surah Makkiyyah lainnya. Kebanyakan ayat dari surah ini mengisyaratkan bahwa ketika Nabi s.a.w. mengumumkan seruan kenabiannya, para penentangnya bangkit untuk melakukan perlawanan dan mendustakan beliau. Karenanya, Nabi s.a.w. diperintahkan oleh Allah untuk menunjukkan toleransi kepada mereka.

Sebab turunnya surah ini dijelaskan dalam sejumlah hadits. Ketika menerima wahyu paling awal, beliau berada dalam kondisi ketakutan. Beliau mendatangi Khadījah, mengeluhkan badan yang tidak nyaman dan beristighfar sebentar. Beliau menyuruh istrinya untuk menyelimutinya ketika Jibrīl a.s. membawa turun ayat yang berbunyi: Wahai orang yang berselimut! Kepada beliau. (2391).

Keutamaan Membaca

Menurut hadits Nabi s.a.w.: “Barang siapa yang membaca surah al-Muzzammil, niscaya dia tidak akan menghadapi kesulitan di dunia dan akhirat.” (2402) Dia akan memperoleh keutamaan dan berkah selama dia menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya.

 

SURAH AL-MUZZAMMIL

 

AYAT 1-5

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

 

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيْلًا. نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيْلًا. أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَ رَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا. إِنَّا سَنُلْقِيْ عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا.

73: 1. Wahai orang yang berselimut!

73: 2. Bangunlah (untuk shalat) di sepanjang malam, kecuali sedikit darinya.

73: 3. Separo dari malam atau kurangilah sedikit dari separo itu.

73: 4. Atau lebih dari separo itu, dan bacalah al-Qur’ān itu dengan perlahan-lahan (tartil).

73: 5. Sesungguhnya, Kami akan memberikan kepadamu perkataan yang berbobot.

 

TAFSIR

Ayat pembuka surah al-Muzzammil ini menjelaskan bahwa Nabi s.a.w. diseru oleh Allah untuk bersabar dan bersiap-siaga untuk melaksanakan kewajiban yang sangat besar. Ayat tersebut berbunyi: Wahai orang yang berselimut! Bangunlah (untuk shalat) di sepanjang malam, kecuali sedikit darinya. Separo dari malam atau kurangilah sedikit dari separo itu. Atau lebih dari separo itu, dan bacalah al-Qur’ān itu dengan perlahan-lahan (tartil).

Nabi s.a.w. di sini disapa sebagai: Wahai orang yang berselimut! bukan Wahai Rasūl! Atau Wahai Nabi! Sapaan itu menjelaskan makna bangun, tumbuh secara spiritual dan menyiapkan diri untuk melaksanakan misi yang besar. Beliau didesak untuk bangun di malam hari karena para musuhnya tertidur pada waktu itu. Manusia pun berhenti dari rutinitas harian mereka. Di saat inilah waktu yang kondusif untuk merenung dan memupuk pertumbuhan spiritual.

Beliau didesak untuk membaca ayat al-Qur’ān karena ayat al-Qur’ān meliputi segala pelajaran. Membaca ayat-ayat al-Qur’ān merupakan sarana terbaik untuk menguatkan keimanan seseorang, kesabaran, ketaqwaan kepada Allah s.w.t. dan pertumbuhan spiritual.

Beliau didesak untuk membaca ayat al-Qur’ān karena ayat al-Qur’ān meliputi segala pelajaran. Membaca ayat-ayat al-Qur’ān merupakan sarana terbaik untuk menguatkan keimanan seseorang, kesabaran, ketaqwaan kepada Allah s.w.t. dan pertumbuhan spiritual. Frase ‘Arab tartil bermakna “Sesuai ketentuan, pelafalan yang benar dan teratur”. Akan tetapi, kata tersebut di sini menyiratkan bacaan ayat-ayat al-Qur’ān yang dilafalkan dengan benar, fasih dan meditatif, sehingga renungan atas maknanya berdampak atas kehidupan seseorang. Sudah jelas bahwa membaca ayat al-Qur’ān dapat menuntun manusia menuju pertumbuhan spiritual, kemuliaan akhlak dan ketaqwaan kepada Allah s.w.t. Sebagian mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud di sini karena bagian utama dari shalat wajib adalah membaca ayat al-Qur’ān.

Kalimat “bangun di malam hari” (qum al-layl) dibedakan dengan “tidur”, tetapi kalimat itu tidak semata-mata bermakna bangun. Intinya adalah berbagai ungkapan yang bermakna rentang waktu yang dihabiskan dalam keterjagaan di malam hari, yang sesungguhnya menyiratkan “pilihan”. Nabi s.a.w. bebas memilih untuk tetap terjaga separo malam dan meluangkan malam harinya untuk membaca al-Qur’ān. Pertama, disebutkan tentang seluruh malam, kecuali sedikit darinya, kemudian rentang waktunya dikurangi hingga separo malam dan kemudian kurang dari separo. Sebagian mufassir berpendapat bahwa memilih di antara dua pertiga, separo dan sepertiga dari malam sebagaimana yang dimaksud dalam ayat penutup: Tuhanmu mengetahui bahwa engkau berdiri (untuk shalat di malam hari) sedikit kurang dari dua pertiga malam, atau separo malam atau sepertiga malam adalah pernyataan yang sama. Ayat terakhir tersebut secara gamblangnya menjelaskan bahwa Nabi s.a.w. tidak sendirian dalam “bangun di malam hari”, tapi sekelompok orang mu’min menemaninya dan mengakuinya sebagai teladan mereka dalam hal ini.

Sebagian mufassir berpendapat bahwa: “berdiri (dalam shalat) di sepanjang malam, kecuali sedikit darinya” artinya menyuruh Nabi s.a.w. untuk shalat sambil berdiri di sepanjang malam, kecuali untuk malam-malam tertentu. Menurut pandangan ini, tidak ada pengecualian berkenaan dengan rentang waktu malam, hanya sebagian malam. Penafsiran seperti itu tampaknya tidak akurat, jika kita melihat bentuk nomina tunggal “malam” (layl) dan kalimat “separo atau kurang dari itu.”

Berbagai mufassir mengemukakan penafsiran yang berbeda bagi “perkataan yang berbobot” karena mereka melihat berbagai aspek yang berbeda dari persoalan tersebut. Ayat al-Qur’ān berbobot berkenaan dengan kandungannya, makna dan dampaknya terhadap hati kaum beriman. Tema yang sama dijelaskan di tempat lain dalam al-Qur’ān (59: 21): “Seandainya Kami turunkan al-Qur’ān ini di atas gunung-gunung, sungguh kamu akan melihat gunung-gunung itu tunduk merendah dan menjadi terpecah belah (karenanya).” “Bobot” demikian bermakna peringatan, janji, kewajiban, kesulitan yang diakibatkan dari penyebaran seruan kenabian. “Bobot” tersebut menyangkut beratnya kebaikan dan dosa dalam neraca amal dan perhitungannya pada Hari Kiamat.

Membaca al-Qur’ān itu mudah dan menyenangkan, tetapi mengamalkan kandungannya merupakan hal yang sulit. Ketika lingkungan Rasūl s.a.w. penuh dengan awan gelap Jahiliyyah, penyembahan berhala dan tahayyul, pada masa itulah para musuh beliau yang pembangkang dan kejam bergandengan tangan menentang beliau dan para sahabatnya. Akan tetapi, Rasūl s.a.w. dan sahabatnya mencari petunjuk di dalam al-Qur’ān, mendirikan shalat malam dan mencari kedekatan dengan hakikat suci Allah. Karenanya, mereka berhasil dalam mengatasi segala kesulitan dan beban berat tersebut.

Menurut karya tafsir, Athyab al-Bayān: “perkataan berbobot” menyiratkan pengumuman kekhalifahan dan imamah Imām ‘Alī bin Abī Thālib a.s. yang membuat beliau menghadapi banyak musuh. Dengang demikian, bukan al-Qur’ān yang dimaksud di sini, karena dikatakan: “Bacalah al-Qur’ān agar kamu dapat menerima perkataan yang berbobot di waktu akan datang.” Dengan demikian, al-Qur’ān lebih dahulu adanya daripada perkataan yang berbobot.”

Sejumlah hadits telah diriwayatkan dari Imām ma‘shūm a.s. mengenai kata tartīl. Masing-masing darinya menunjukkan salah satu aspek dari persoalan tersebut. Diriwayatkan dari Amīrul Mu’minīn ‘Alī a.s., bahwa tartīl menerangkan bacaan yang jelas, tidak seperti bacaan syair yang tergesa-gesa dan membuat kalimat hancur-lebur seperti pasir. Seseorang seharusnya membaca al-Qur’ān dengan baik sehingga dapat menggoyahkan hati yang membantu. Penting juga bagi kita untuk memahami makna dari ayat al-Qur’ān. (2423).

Diriwayatkan dari Imām Shādiq a.s.: “Ayat al-Qur’ān seharusnya tidak dibaca tergesa-gesa, tapi dibaca secara tartil. Apabila kamu sampai pada ayat yang membahas neraka, hentikanlah bacaanmu dan mohonlah ampunan Allah s.w.t. Namun, apabila kamu sampai pada ayat yang membahas surga, hentikanlah bacaanmu dan mohonlah kepada Allah s.w.t. untuk menganugerahkan surga [dan siapkanlah dirimu untuk meraih surga itu].” (2434) Juga diriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. membaca ayat al-Qur’ān secara jelas, tenang dan dengan suara yang indah. (2445).

Ayat al-Qur’ān dan hadits (2456) menjelaskan bahwa ayat al-Qur’ān seharusnya tidak dibaca seolah-olah ayat-ayat itu tidak memiliki makna. Ketika membaca al-Qur’ān, curahkan perhatian khusus kepada maknanya hingga memberikan dampak terhadap pembaca dan pendengar. Harus dicamkan bahwa ayat al-Qur’ān merupakan pesan Allah dan kaum beriman wajib mengamalkan kandungannya.

Sayangnya, banyak muslim melalaikan kebenaran itu dan memuaskan diri dengan sekadar membaca ayat-ayatNya tanpa memberikan perhatian terhadap pesan Allah. Ayat al-Qur’ān pantas mendapat perhatian dan membacanya menghasilkan berkah-berkah Ilahi. Tapi harus dicamkan bahwa membaca ayat al-Qur’ān merupakan pendahuluan untuk memahami kandungannya.

Ayat ini menjelaskan pentingnya terjaga di malam hari, mendirikan shalat malam dan membaca ayat al-Qur’ān ketika orang lain lalai. Sebagaimana disebutkan di atas, mendirikan shalat di malam hari dan terutama di waktu fajar sangat berdampak terhadap kesucian jiwa. Dapat menghasilkan pertumbuhan spiritual, kesucian dan kesadaran hati, memperkuat keimanan dan tekad, serta mengokohkan pilar-pilar ketaqwaan kepada Allah s.w.t.

Imām Shādiq a.s. berkata: “Ada tiga hal yang mendatangkan berkah khusus dari Allah: shalat malam, memberi makan orang yang berpuasa pada waktu berbukanya dan mengunjungi saudara sesama muslim.” (2467) Menurut hadits lain yang diriwayatkan dari Imām Shādiq a.s. mengenai ayat al-Qur’ān: “Perbuatan-perbuatan saleh dapat menghapus perbuatan-perbuatan jahat.” Beliau a.s. berkata: “Shalat malam dapat menghapus dosa-dosa yang dilakukan pada siang hari.” (2478)

Pembahasan detail yang membahas topik yang sama dapat ditemukan pada pembahsan 17: 79. Dibahas juga mengenai sepuluh hadits penting.

Catatan:


  1. 239). Rūḥ-ul-Ma‘ānī, jil. 28, hal. 101; Tafsīru Nūr-its-Tsaqalain, jil. 6, hal. 276. 
  2. 240). Tafsīru Majma‘-il-Bayān, jil. 10, hal. 375. 
  3. 242). Majma‘-il-Bayān, tentang ayat ini; Ushūl-ul-Kāfī, Bab Membaca al-Qur’ān secara Tartīl (Bab Tartīl-ul-Qur’ān). 
  4. 243). Ibid., Ushūl-ul-Kāfī, Nūr-its-Tsaqalain; tentang ayat ini. 
  5. 244). Majma‘-il-Bayān, tentang ayat ini. 
  6. 245). Sebagai contoh, Ushūl-ul-Kāfī, Nūr-its-Tsaqalain; ad-Durr-ul-Mantsūr; serta sumber-sumber hadits dan tafsir lainnya. 
  7. 246). Biḥār-ul-Anwār, juz 87, hal. 143. 
  8. 247). Ibid

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *