Surah al-Muzzammil 73 – Tafsir Ayat (Bagian 3) ~ Tafsir ash-Shabuni

Dari Buku: SHAFWATUT TAFASIR
(Tafsir-tafsir Pilihan)
Jilid 5 (al-Fath – an-Nas)
Oleh: Syaikh Muhammad ‘Ali ash-Shabuni
Penerjemah: KH.Yasin
Penerbit: PUSTAKA AL-KAUTSAR.

Rangkaian Pos: Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir ash-Shabuni

Setelah menuturkan siksa-Nya kepada Fir‘aun dan bahwa kerajaan serta kekejamannya tidak bisa menolak siksa darinya, Allah kembali mengingatkan hari kiamat kepada kaum Quraisy dan praharanya. Ini untuk menjelaskan bahwa mereka tidak akan lepas dari siksa sebagaimana Fir‘aun tidak bisa lepas dari siksa. “Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban”; hai kaum kafir Quraisy, bagaimana kalian menghindar dari siksa hari kiamat jika kalian kafir Allah dan tidak beriman kepada-Nya? Bagaimana kalian merasa aman pada hari yang mengerikan itu hingga anak beruban karena dahsyatnya prahara? Ath-Thabrānī berkata: “Anak beruban karena dahsyatnya prahara dan kesedihan. Ketika Allah berfirman kepada Ādam: “Keluarkanlah dari anak cucumu utusan ke neraka, dari tiap seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan. Maka saat itulah setiap anak beruban.” (7721).

Kemudian Allah menambahkan sifat hari kiamat dan praharanya. “Langit(pun) menjadi pecah belah pada hari itu”; langit terbelah karena prahara hari yang mengerikan dan berat itu. “Adalah janji-Nya itu pasti terlaksana”; janji Allah yaitu terjadinya kiamat, pasti terjadi, sebab Allah tidak akan menyalahi janji. “Sesungguhnya ini adalah suatu peringatan”; ayat-ayat yang menakutkan dan berisi larangan serta mengetuk hati, adalah nasihat dan pelajaran bagi umat manusia. “Maka barang siapa yang menghendaki niscaya ia menempuh jalan (yang menyampaikannya) kepada Tuhannya”; barang siapa di antara orang yang lupa ingin memperoleh pelajaran dari peringatan ini sebelum waktunya habis, maka hendaknya dia menempuh jalan menuju Allah, yaitu keimanan dan ketaatan. Ulama tafsir berkata: “Tujuan ayat mendorong beriman dan taat kepada Allah serta berbuat amal saleh agar menjadi simpanan di akhirat.”

Kemudian ayat-ayat kembali membicarakan apa yang dibicarakan pada awal surat, yaitu shalat malam. “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu diri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu”; hai Muḥammad, Tuhanmu tahu, bahwa kamu bersama sahabat-sahabatmu (7732) bangun untuk tahajjud dan ibadah kurang dari dua pertiga malam. Ini semakna dengan ayat: “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (adz-Dzāriyāt: 17-18) “Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang”; Allah-lah yang tahu kadar malam dan siang, bagian-bagian dan waktunya. Apa yang kalian lakukan tidak lepas dari Allah. Terutama di sini maksudnya adalah bangun pada jam-jam malam yang gelap demi meraih ridha-Nya. Allah-lah yang mengatur urusan malam dan siang.

Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu”; Allah tahu bahwa kalian tidak akan bisa bangun semalam penuh maupun sebagian besarnya. Itulah sebabnya Allah merahmati kalian dan memberikan keringanan kepada kalian. Ath-Thabrānī berkata: “Yakni Tuhan kalian tahu, bahwa kalian tidak akan mampu bangun semalam suntuk. Maka Allah menerima taubat kalian dengan meringankan kalian.” (7743) “karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’ān”; maka lakukanlah shalat malam semampu kalian. Yang dimaksud bacalah di sini adalah shalatlah, sebab bacaan al-Qur’ān termasuk rukun shalat. Ibnu ‘Abbās berkata: “Qiyām-ul-Lail gugur kewajibannya dari para sahabat Nabi s.a.w. dan berubah menjadi sunnah. Sementara bagi Nabi s.a.w. sendiri tetap fardhu.” (7754).

Kemudian Allah menjelaskan hikmah dari pemberian keringanan tersebut: “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit.” Allah tahu, bahwa di antara kalian akan ada yang lemah karena sakit sehingga tidak mampu shalat malam. Karena itu, Allah meringankan kalian sebagai rahmat kepada kalian. “dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah”; dan kelompok lain yang bepergian di negeri-negeri untuk berdagang mencari uang dan menginginkan rezeki yang halal. “dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah”; dan kelompok lain yaitu para pejuang yang berperang di jalan Allah untuk meninggikan kalimat Allah dan menyebarluaskan agama-Nya. Masing-masing dari ketiga kelompok ini berat untuk melakukan shalat malam dan karena itu Allah memberi mereka keringanan. Dalam ayat ini Allah menuturkan alasan-alasan yang menyebabkan hamba tidak mampu malakukan Qiyām-ul-Lail. Di antaranya sakit, bepergian untuk berdagang dan jihad fī sabīlillāh. Kemudian Allah mengulangi perintah untuk membaca apa yang mudah dari al-Qur’ān untuk menguatkan keringanan tersebut. Imām ar-Rāzī berkata: “Orang sakit tidak mampu melakukan shalat tahajjud karena sakitnya. Sedangkan musafir dan orang yang berperang, mereka pada siang hari sibuk melakukan tugas yang berat. Seandainya di malam hari mereka tidak tidur, maka tugas-tugas terkumpul pada mereka. Itulah sebabnya Allah memberi mereka keringanan dan wajibnya tahajud dihapus dari mereka.” (7765).

Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’ān”; maka lakukan shalat malam semampumu dan baca al-Qur’ān dalam shalatmu semampu kalian. “dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat”; tunaikanlah shalat fardhu dengan cara paling sempurna dan zakat yang wajib atas kalian kepada mereka yang berhak menerimanya. Ulama tafsir berkata: “Tidaklah disebutkan perintah shalat dalam al-Qur’ān, kecuali disertai dengan perintah zakat. Sebab, shalat adalah tiang agama yang menghubungkan hamba dan Allah. Sedangkan zakat juga tiang agama yang menghubungkan antara hamba dan saudaranya. Shalat adalah ibadah fisik paling tinggi dan zakat adalah ibadah harta paling tinggi. “dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik”; bersedekahlah kalian dalam kebaikan demi meraih ridha Allah. Ibnu ‘Abbās berkata: “Yang dimaksudkan adalah sedekah sunnah, silaturahmi, menjamu tamu dan lainnya.” (7776).

Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu, niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah”; apapun kebaikan yang kalian lakukan wahai umat manusia, kalian akan menjumpai balasan dan pahalanya di sisi Tuhan kalian. “sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya”; kalian menjumpai pahala itu pada hari kiamat lebih baik bagi kalian daripada amal saleh yang kalian lakukan di dunia. Sebab dunia fanā’ dan akhirat kekal. Apa yang di sisi Allah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti: “Dan mohonlah ampunan kepada Allah”; mintalah ampunan kepada Allah dalam segala sesuatu dan kondisi kalian. Sebab, manusia sedikit sekali luput dari kesalahan atau kecerobohan. “sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”; Allah Maha Besar ampuanan-Nya dan Maha Halus rahmat-Nya.

Allah menutup surat ini dengan membimbing orang-orang yang berbuat infak dan kebaikan agar mereka meminta ampunan. Sebab, kadang mereka tidak ikhlas niatnya dalam berinfak. Atau, mereka tidak tepat dalam bersedekah. Sehingga mereka meletakkan sedekah tidak pada tempatnya atau bersedekah karena ada pamrih dan keinginan duniawi. Inilah penutupan yang sesuai dengan masalah infak. Maha Suci Allah yang menurunkan dengan penjelasan paling terang.

 

Catatan:


  1. 772). Tafsīr-uth-Thabarī, 29/86 dan Mukhtasharu Ibni Katsīr, 3/565. 
  2. 773). Ayat ini adalah nash yang menjelaskan, bahwa qiyām-ul-lail pernah wajib atas Nabi s.a.w. dan para sahabat. Mereka dibebani untuk bangun lama pada malam hari yang tidak kurang dari sepertiga malam dan tidak lebih dari dua pertiga malam. Shalat malam dan ibadah malam berupa dzikir, shalat, membaca al-Qur’ān menguatkan fisik mereka, mensucikan jiwa mereka, membiasakan mereka untuk hidup keras dan menjauhi apa yang dilakukan orang yang hidup enak, yaitu istirahat dan tenggelam dalam kenikmatan. Allah membebani para sahabat untuk qiyām-ul-lail agar jiwa mereka siap menunaikan tugas-tugas dakwah yang baru dan menanggung beban berat dalam menyebarkan agama Islam. Betapa ini merupakan pendidikan yang mulia dan tinggi yang menghasilkan para pahlawan dan perwira yang gagah. 
  3. 774). Tafsīr-uth-Thabarī, 29/88. 
  4. 775). At-Tafsīr-ul-Kabīr, 30/187. 
  5. 776). Idem. 
  6. 777). Tafsīr-ul-Khāzin, 4/171. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *