Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir asy-Syaukani – Bagian 7

Dari Buku:
TAFSIR FATHUL-QADIR
(Jilid 12, Juz ‘Amma)
Oleh: Imam asy-Syaukani

Penerjemah: Amir Hamzah, Besus Hidayat Amin
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir asy-Syaukani

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Kewajiban kita adalah mencari dalil dengan Sunnah untuk salah satu makna dari kedua makna ini, maka menemukan Sunnah Rasūlullāh s.a.w. yang menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban shalat selain shalat lima waktu. Sebagian kaum menyatakan bahwa qiyām-ul-lail telah di-nasakh dari kewajiban Rasūlullāh s.a.w. dan kewajiban umat beliau. Ada yang mengatakan yang di-nasakh adalah ukuran lamanya, dan asal kewajibannya tetap. Ada pula yang mengatakan di-nasakh dari kewajiban umat, dan tetap wajib bagi Rasūlullāh s.a.w.

Pendapat yang benar adalah bahwa kewajiban qiyām-ul-lail telah di-nasakh secara umum, dari kewajiban Rasūlullāh s.a.w. dan kewajiban umat beliau, dan tidak ada dalam firman Allah: (فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ) “maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’ān” yang menunjukkan sama sekali tetapnya kewajiban tersebut, karena jika yang dimaksud itu adalah bacaan al-Qur’ān, maka bacaan al-Qur’ān itu ada dalam shalat maghrib, ‘isyā’, dan shalat-shalat sunnah mu’akkadah yang mengikuti keduanya. Dan, jika yang dimaksud adalah shalat di malam hari, maka shalat di malam hari itu termasuk shalat maghrib, ‘isyā’, dan shalat-shalat sunnah mu’akkadah yang mengikuti keduanya. Juga, hadits-hadits shaḥīḥ yang menerangkan perkataan seseorang yang bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Apakah ada kewajiban lain atasku selainnya, yakni selain shalat lima waktu?” maka beliau menjawab: (لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ) “Tidak, kecuali jika kau ingin melaksanakan yang sunah.” Menunjukkan tidak wajibnya shalat selainnya, maka dengan ini pula kewajiban shalat malam ditiadakan atas umat. Sebagaimana kewajiban itu telah ditiadakan pula dari Nabi s.a.w. melalui firman-Nya: (وَ مِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ.) “Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu.” (Qs. Al-Isrā’ [17]: 79).

Al-Wāḥidī berkata: Para ahli tafsir menyatakan tentang firman Allah: (فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ) “maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’ān” ini berlaku pada masa awal Islam, kemudian di-nasakh dengan kewajiban shalat lima waktu, dari kaum mu’minin, dan tetap (kewajiban itu) atas Nabi s.a.w. Itu adalah firman Allah: (وَ أَقِيْمُوا الصَّلَاةَ) “dan dirikanlah sembahyang”, kemudian Allah s.w.t. menyebutkan ketidak-mampuan mereka, dan berfirman: (عَلِمَ أَنْ سَيَكُوْنُ مِنْكُمْ مَّرْضَى) “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit” sehingga mereka tidak mampu melaksanakan qiyām-ul-lail.

(وَ آخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللهِ) “dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” Yakni, bepergian untuk berniaga dan mencari keuntungan dalam mencari rejeki Allah yang mereka butuhkan dalam kehidupan mereka, sehingga tidak mampu melaksanakan kewajiban qiyām-ul-lail.

(وَ آخَرُوْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ) “dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah.” Yakni, para mujahiddin, maka mereka tidak mampu melaksanakan qiyām-ul-lail. Allah s.w.t. menyebutkan di sini tiga alasan yang menyebabkan adanya keringanan dan dicabutnya kembali kewajiban shalat malam, maka Allah meniadakannya dari semua umat ini lantaran tiga sebab yang mewakili sebagiannya ini. Kemudian Allah menyebutkan apa yang hendaknya mereka lakukan setelah adanya keringanan ini, Dia berfirman: (فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ) “maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’ān”. Penafsirannya baru saja disebutkan, dan di sini diulang kembali penyebutannya untuk penegasan.

(وَ أَقِيْمُوا الصَّلَاةَ) “dan dirikanlah sembahyang”, yaitu shalat wajib lima waktu.

(وَ آتُوا الزَّكَاةَ) “tunaikanlah zakat.” Yakni, zakat harta yang diwajibkan. Al-Ḥārits al-Aklī berkata: “Itu adalah zakat fitri, karena zakat harta baru diwajibkan setelah itu.” Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sedekah sunnah, ada pula yang lain mengatakan maksudnya adalah semua amal kebajikan.

(وَ أَقْرِضُوا اللهَ قَرْضًا حَسَنًا) “dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.” Yakni, berinfaklah di jalan kebaikan dengan hartamu secara baik. Penafsiran masalah ini telah dijelaskan dalam surah al-Ḥadīd. Zaid bin Aslam berkata: “Pinjaman yang baik adalah nafkah kepada keluarga.” Ada yang mengatakan: “Nafkah (biaya) untuk jihad.” Ada yang lain mengatakan: “Mengeluarkan zakat yang wajib dengan cara yang baik”, maka ini menjadi penafsiran untuk firman-Nya: (وَ آتُوا الزَّكَاةَ) “tunaikanlah zakat.

Namun pendapat yang pertama lebih tepat berdasarkan firman Allah: (وَ مَا تُقَدِّمُوْا لِأَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللهِ) “Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu, niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah” secara zhahir ini bersifat umum, yakni: kebaikan apa saja dari yang telah disebutkan dan yang tidak disebutkan.

(هُوَ خَيْرًا وَ أَعْظَمَ أَجْرًا) “sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.” Daripada engkau menundanya hingga ketika diinfakkan setelah kematian kalian. Manshūb-nya lafazh (خَيْرًا) “kebaikan” karena sebagai maf‘ūl yang kedua dari (تَجِدُوْهُ) “niscaya kamu memperoleh (balasan)nya”, dan dhamīr (هُوَ) adalah dhamīr fashl (terpisah), jumhur ulama membacanya dengan nashab. Sementara Abus-Simāk dan Ibnu Sumaifi‘ membacanya dengan rafa‘ dengan asumsi (هُوَ) sebagai mubtada’ dan (خَيْر) khabar-nya, dan susunan kalimat ini dalam kedudukan nashab karena sebagai maf‘ūl yang kedua dari (تَجِدُوْهُ). Abū Zaid berkata: “Ini adalah ketentuan bahasa suku Tamīm yang me-rafa‘-kan lafazh setelah dhamīr fashl. Sibawaih bersenandung:

تَحِنُّ إلَى لَيْلَى وَ أَنْتَ تَرَكْتَهَا وَ كُنْتَ عَلَيْهَا بِالْمَلَاءِ أَنْتَ أَقْدَرُ.

Bagaimana bisa kau mencinta Lailā dan engkau meninggalkannya….dan engkau setelah kematian akan lebih bisa.”

Jumhur ulama juga membaca (وَ أَعْظَمَ) “dan yang paling besar” dengan nashab sebagai ‘athaf kepada (خَيْرًا), sementara Abus-Simāk dan Sumaifi‘ membacanya dengan rafa‘ sebagaimana membaca (خَيْر) dengan rafa‘, dan membaca (أَجْرًا) karena sebagai tamyīz.

(وَ اسْتَغْفِرُوا اللهَ) “Dan mohonlah ampunan kepada Allah”. Yakni, mohonlah ampunan dari Allah untuk dosa-dosa kalian, karena kalian tidak terlepas dari dosa yang kalian lakukan. (إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ) “Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Yakni, banyak memberi ampunan kepada yang memohon ampunan kepada-Nya, dan banyak mengasihi kepada yang memohon dikasihi-Nya.

Telah diriwayatkan oleh Ibnu Abī Ḥātim, Ibnu Mardawaih, dan ath-Thabrānī dari Ibnu ‘Abbās, dari Nabi s.a.w. tentang: (فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ) “maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’ān”, ia berkata: “Seratus ayat.” Diriwayatkan oleh ad-Dāraquthnī, al-Baihaqī di dalam Sunan-nya, dan Ḥasnā dari Qais bin Abī Ḥāzim, ia berkata: “Aku pernah shalat di belakang Ibnu ‘Abbās, lalu ia membaca pada rakaat pertama dengan al-ḥamdulillāhi rabb-il-‘ālamīn (al-Fātiḥah) dan ayat pertama dari surah al-Baqarah, kemudian ruku‘, maka tatkala kami telah selesai, ia mendatangi kami dan berkata: Sesungguhnya Allah berfirman: (فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ) “maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’ān”. Ibnu Katsīr berkomentar: “Hadits ini sangat janggal, aku tidak menemukannya kecuali di dalam Mu‘jam ath-Thabrānī.” Aḥmad dan al-Baihaqī di dalam Sunan-nya meriwayatkan dari Abū Sa‘d, ia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan kami untuk membaca al-Fātiḥah dan surah yang mudah.”

Kami telah paparkan dalam pembahasan awal dari surah ini riwayat yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang disebutkan di sini adalah untuk me-nasakh kewajiban shalat malam (qiyām-ul-lail), maka perhatikanlah kembali.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *