Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir asy-Syaukani – Bagian 3

Dari Buku:
TAFSIR FATHUL-QADIR
(Jilid 12, Juz ‘Amma)
Oleh: Imam asy-Syaukani

Penerjemah: Amir Hamzah, Besus Hidayat Amin
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Muzzammil 73 ~ Tafsir asy-Syaukani

(إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيْلًا.) “Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak)”. Jumhur ulama membaca (سَبْحًا) “urusan” dengan huruf ḥā’ yang dibiarkan (tanpa titik), yakni banyak mengerjakan keperluan-keperluanmu, pulang-pergi dan hilir-mudik. Kata (السبح) berarti berlari dan berputar, di antaranya adalah berenang di air, karena berputar balik dengan badan, kaki dan tangan. Kata (سَابح) berarti berlari kuat. Ada yang mengatakan bahwa (السبح) berarti (الفراغ) “kosong”, yakni sesungguhnya kamu memiliki waktu kosong di siang hari untuk melakukan berbagai aktivitas, maka shalatlah pada malam hari.

Ibnu Qutaidah berkata: Yakni, kesibukan, hilir-mudik melakukan berbagai kebutuhanmu dan kesibukanmu. Al-Khalīl mengatakan: (إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا.) “Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan”. Yakni tidur. (التسبح) berarti (التمدد) “pengembangan”. Az-Zajjāj berkata: Maknanya, jika ada sesuatu yang tidak sempat kau lakukan pada malam hari, maka pada siang hari kau memiliki waktu luang untuk mendapatkannya (menggantikannya).

Adapun Yaḥyā bin Ya‘mūr, Abū Wā’il, dan Ibnu Abī Ablā membaca (سَبْخًا) dengan huruf khā’. Ada yang mengatakan bahwa maknanya berdasarkan cara baca ini adalah, keringanan, kelonggaran, dan istirahat. Al-Asma‘ī mengatakan: Dikatakan (سَبَخَ اللهُ عَنْكَ الْحمى) yakni semoga Allah meringankan demam darimu. Perkata: (سبخ الحر) berarti panasnya menjadi ringan dan jarang. Di antara contoh penggunaan istilah ini adalah perkataan seorang penyair:

فَسَبِّخْ عَلَيْكَ الْهَمَّ وَ اعْلَمْ بِأَنَّهُ إِذَا قَدَّرَ الرَّحْمنُ شَيْئًا فَكَائِنُ.

Ringankanlah keinginan darimu, dan ketahuilah…. jika Allah yang Maha Pemurah telah menentukan sesuatu, maka itu akan terjadi.”

Yakni keinginan itu menjadi ringan darimu.

Tsa‘lab berkata: (السبخ) dengan khā’ berarti keraguan dan kegundahan. (السبخ) juga bisa diartikan (السكون) “ketenangan”. Abū ‘Amr berkata: (السبخ) adalah tidur dan kekosongan.

 

(وَ اذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ) “Sebutlah nama Tuhanmu” Yakni serulah Dia dengan nama-nama mulia-Nya (asmā’-ul-ḥusnā). Ada yang berpendapat maksudnya adalah: “Bacaan dengan menyebut Nama Tuhanmu di permulaan shalatmu.” Pendapat lain menyatakan: “Sebutlah nama Tuhanmu, dalam janji-Nya dan ancaman-Nya supaya engkau senantiasa menaati-Nya dan menjauhi maksiat kepada-Nya.” Ada yang mengatakan bahwa maknanya: “Senantiasalah menyebut nama-Nya siang dan malam, dan perbanyaklah penyebutannya.” Al-Kalbī berkata: Maknanya: “Shalatlah untuk Tuhanmu.”

(وَ تَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيْلًا.) “Dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan”. Yakni, berhentilah dari segala kesibukanmu untuk beribadah kepada-Nya. (التبتل) berarti (الانقطاع) “terputus”, dikatakan (بتلتُ الشيءَ) yakni aku memutusnya dan memisahkannya dari yang lainnya. Sedekah disebut juga (بتلة) yakni harta yang terputus dari pemiliknya, seorang rahib/biksu disebut (متبتل) karena terputus hubungannya dengan manusia. Di antara contoh penggunaan kata ini adalah perkataan seorang penyair:

تُضِيْءُ الظَّلَامَ بِالْعِشَاءِ كَأَنَّهَا مَنَارَةُ مُمْسَى رَاهِبٍ مُتَبَتَّلِ

Menerangi kegelapan pada waktu ‘Isya’, seakan-akan ia menara yang membujang.”

Penggunaan lafazh (تَبْتِيْلًا) menggantikan (تبتلًا) untuk tujuan menjaga keselarasan di setiap akhir kalimat.

Al-Wāḥidī mengatakan (التبتل) adalah menolak dunia dan kesenangan di dalamnya serta mencari apa yang ada di sisi Allah.

 

(رَبُّ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ) “(Dia-lah) Tuhan masyriq dan maghrib”. Ḥamzah, al-Kisā’ī, Abū Bakar, dan Ibnu ‘Āmir membaca dengan harakat jarr pada (رَبُّ) sebagai sifat untuk (ربك), atau sebagai badal (pengganti) darinya, atau sebagai bayān (penjelas) untuknya. Adapun ulama yang lain membaca dengan rafa sebagai mubtada’ dan khabar-nya adalah kalimat (لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ) “tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia”, atau ia berkedudukan sebagai khabar dari mubtada’ yang dihilangkan (maḥdzūf). Yakni, (هُوَ رَبُّ الْمَشْرِقِ) “Dialah Tuhan Masyriq”. Sementara Zaid bin ‘Alī membaca dengan nashab sebagai madaḥ (pujian).

Jumhur ulama membaca (الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ) dengan bentuk tunggal (mufrad), sedangkan Ibnu Mas‘ūd dan Ibnu ‘Abbās membaca (الْمَشَارِقِ وَ الْمَغَارِبِ) dengan bentuk jama‘ (plural).

Kami telah menjelaskan sebelumnya penafsiran mengenai kata-kata (الْمَشْرِقُ وَ الْمَغْرِبُ وَ الْمَشْرِقَيْنِ وَ الْمَغْرِبَيْنِ وَ الْمَشَارِقُ وَ الْمَغَارِبُ)

(فَاتَّخِذْهُ وَكِيْلًا.) “maka ambillah Dia sebagai pelindung”. Yakni jika engkau telah mengetahui dan menyadari bahwa hanya Dia-lah yang dikhususkan dengan rubūbiyyah (ketuhanan), maka dijadikan Dia sebagai Pelindung. Yakni laksanakanlah segala urusanmu, dan serahkanlah seluruhnya kepada-Nya. Ada pendapat yang menyatakan, yakni Penjamin dengan apa yang Dia janjikan kepadamu, berupa balasan kebaikan dan kemenangan.

 

(وَ اصْبِرْ عَلَى مَا يَقُوْلُوْنَ) “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan”. Dari berbagai hal yang menyakitimu, ejekan, dan hinaan, dan jangankah engkau merasa sedih karenanya.

 

(وَ اهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيْلًا.) “dan jauhilah mereka dengan cara yang baik”. Yakni, jangan memperbanyak urusan dengan mereka, jangan menyinggung mereka, dan janganlah engkau sibuk mengharapkan hadiah mereka.

Ada yang mengatakan: “menjauhi dengan cara yang baik” adalah yang tidak ada kekhawatiran dan kesedihan padanya, dan ini berlaku sebelum adanya perintah perang

 

(وَ ذَرْنِيْ وَ الْمُكَذِّبِيْنَ) “Dan biarkanlah Aku (saja) bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu”. Yakni, biarlah Aku yang mengurus mereka, dan janganlah engkau mempedulikan tentang mereka. Aku yang akan mewakilimu “mengurus” mereka dan membalas mereka untukmu. Ada yang mengatakan ayat ini turun mengenai orang-orang yang menjadi incaran pada peristiwa perang Badar, dan mereka berjumlah sepuluh orang, kami telah menyebutkan sebelumnya tentang nama-namanya. Yaḥyā bin Salam berkata: “Mereka adalah anak-anak keturunan Bani al-Mughīrah.” Sa‘īd bin Jubair menyatakan: “Saya sudah memberitahu bahwa mereka berjumlah duabelas orang.”

(أُوْلِي النَّعْمَةِ) “orang-orang yang mempunyai kemewahan”. Yakni orang-orang kaya, yang memiliki keluasan, kemewahan, dan kenikmatan di dunia. (وَ مَهِّلْهُمْ قَلِيْلًا.) “dan beri tangguhlah mereka barang sebentar”. Yakni (تَمْهِيْلًا قَلِيْلًا.) “penangguhan sebentar) berdasar pada kedudukannya sebagai sifat untuk mashdar yang dihilangkan, atau (زَمَانًا قَلِيْلًا) berdasar pada keduduakannya sebagai sifat untuk zaman yang dihilangkan, dan maknanya: beri tangguhlah mereka sampai datangnya ajal mereka. Ada pendapat yang mengatakan sampai turunnya hukuman di dunia kepada mereka, seperti pada peristiwa perang Badar.

Pendapat pertama belih tepat, berdasarkan firman Allah: (إِنَّ لَدَيْنَا أَنْكَالًا) “Karena sesungguhnya pada sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat” dan yang berikutnya, karena itu merupakan ancaman atas mereka dengan adzab di akhirat kelak. (الأنكال) adalah bentuk jama‘ dari (نكل), yaitu (القيد) “ikatan”, demikianlah yang dikatakan oleh al-Ḥasan, Mujāhid, dan selain keduanya. Al-Kalbī berkata: (الأنكال) berarti (الأغلال) “belenggu”, dan makna yang pertama lebih dikenal secara bahasa.

Muqātil mengatakan: “Itu adalah jenis-jenis adzab yang keras.” Abū ‘Imrān al-Jaunī berkata: “Itu adalah ikatan-ikatan yang tidak bisa dibuka.”

(وَ جَحِيْمًا.) “dan neraka yang bernyala-nyala”. Yakni api yang bergejolak dengan kobarannya.

 

(وَ طَعَامًا ذَا غُصَّةٍ) “dan makanan yang menyumbat di kerongkongan”. Yakni tidak turun dari kerongkongan, melainkan tetap (menyangkut) di situ, tidak bisa turun dan tidak bisa keluar. Mujāhid berkata: “Itu adalah Zaqqūm.” Az-Zujjāj berkomentar: “Itu adalah pohon yang berduri, sebagaimana firman Allah: (لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا مِنْ ضَرِيْعٍ.) “Mereka tiada meperoleh makanan selain dari pohon yang berduri.” (Qs. al-Ghāsiyah [88]: 6). Ia berkata: “Duri pohon.” ‘Ikrimah berkomentar: “Itu adalah duri yang menancap di tenggorokan, tidak masuk dan tidak keluar.” (الغصة) adalah tersedak di tenggorokan, yaitu adanya sesuatu yang menyangkut di sana, berupa tulang atau yang lainnya, dan bentuk jama‘-nya adalah (غصص). (وَ عَذَابًا أَلِيْمًا.) “dan adzab yang pedih”. Yakni, jenis adzab yang lain, selain yang telah disebutkan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *