Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir Nur-ul-Qur’an (Bagian 6)

TAFSIR NUR-UL-QUR’AN
(Diterjemahkan dari: Nur-ul-Qur’an: An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur’an).
Oleh: Allamah Kamal Faqih Imani
Penerjemah Inggris: Sayyid Abbas Shadr Amili
Penerjemah Indonesia: Rahadian M.S.
Penerbit: Penerbit al-Huda

Rangkaian Pos: Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir Nur-ul-Qur'an

AYAT 32-34.

كَلَّا وَ الْقَمَرِ. وَ اللَّيْلِ إِذْ أَدْبَرَ. وَ الصُّبْحِ إِذَا أَسْفَرَ.

74: 32. Sekali-kali tidak! Demi bulan!

74: 33. Dan malam apabila telah berlalu,

74: 34. dan shubuh apabila mulai terang.

 

TAFSIR

Berbagai sumpah telah dibuat pada ayat-ayat ini untuk memberikan penekanan atas bangkitnya orang yang sudah mati pada Hari Kiamat, neraka dan siksaan-siksaan yang menunggu orang-orang yang kafir di sana, yang bunyinya: Sekali-kali tidak! Demi bulan! Kata penekanan negatif ‘Arab kallā digunakan untuk menolak kata-kata yang diucapkan oleh pihak lain. Kata keterangan tersebut kadang digunakan juga untuk menyangkal kata-kata berikutnya. Kata tersebut di sini, digunakan untuk menyangkal klaim tidak berdasar orang-orang kafir yang mendustakan neraka dan siksaan-siksaannya, serta ejekan mereka tentang jumlah para malaikat yang menjaga neraka, sebagaimana disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya. Sumpah dibuat dengan bulan, karena ia merupakan salah satu dari tanda-tanda kekuasaan terbesar Allah, dan sangat signifikan berkenaan dengan penciptaan, keteraturan rotasi, cahaya terangnya, keindahan dan fase-fase bulan yang digunakan sebagai standar untuk menyiapkan penanggalan.

Ayat ke-33 dan 34 menyatakan: Dan malam apabila telah berlalu, dan shubuh apabila mulai terang! Tiga sumpah ini berkaitan dan saling melengkapi, karena diketahui umum bahwa bulan bersinar di malam hari dan cahayanya terkalahkan oleh cahaya matahari sedemikian rupa hingga hampir tidak kelihatan di siang hari. Malam hari adalah tenang dan damai, ketika para pencinta kebenaran dapat memohon kepada Kekasih mereka dan berbagi rahasia-rahasia mereka dengan-Nya. Namun, malam yang gelap akan menarik ketika berlalu dan fajar yang terang mulai mendekat. Fajar mempersembahkan lentera dari akhir malam yang gelap. Merupakan pengalaman yang sangat menyenangkan dan sangat indah apabila hati dipenuhi dengan cahaya dan kesucian. Patut diperhatikan bahwa tiga sumpah tersebut selaras dengan cahaya petunjuk (al-Qur’ān), redupnya kegelapan-kegelapan kemusyrikan dan penyembahan berhala, dan terbitnya fajar tauhid.

 

AYAT 35-37.

إِنَّهَا لِإِحْدَى الْكُبَرِ. نَذِيْرًا لِّلْبَشَرِ. لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ.

74: 35. Sesungguhnya itu [peristiwa-peristiwa yang menakutkan pada Hari Kiamat] termasuk salah satu bencana yang amat besar.

74: 36. Sebagai peringatan bagi manusia.

74: 37. Bagi siapa pun di antara kamu yang memilih untuk maju atau mundur [yaitu mau atau tidak mau menerima petunjuk].

 

TAFSIR

Ayat-ayat ini membahas tentang tujuan-tujuan dari sumpah-sumpah tersebut dan peristiwa-peristiwa yang menakutkan pada Hari Kiamat, neraka dan para malaikat adzab yang sudah pasti hadir membawa masalah besar bagi mereka. Bentuk kata sifat ‘Arab kubar bermakna “besar, punya dampak jelas”. Anteseden dari kata ganti innahā bisa saqar (“neraka”) atau junūd (“para tentara Allah”), maupun seluruh peristiwa yang terjadi pada Hari Kiamat. Intinya, kesan kuat yang dihasilkan oleh masing-masing kata ini sama-sama sangat jelasnya.

Ayat ke-36 selanjutnya menyatakan bahwa tujuan di balik pengungkapan tentang neraka adalah bukan untuk menakut-nakuti, tapi berfungsi sebagai peringatan bagi manusia terhadap siksaan menakutkan yang disediakan bagi orang-orang yang kafir, para pendosa dan para musuh kebenaran.

Ayat ke-37 lebih memberikan penekanan tenang hal itu, dengan menyatakan bahwa peringatan tersebut tidak khusus bagi kelompok tertentu saja tapi ditujukan bagi semua manusia, bagi siapa pun yang memilih untuk maju dengan melakukan perbuatan saleh dan ketaatan kepada Allah, dan bagi orang-orang yang memilih mundur dari mengikuti jalan petunjuk. Berbahagialah orang-orang yang memilih maju dan celakalah orang-orang yang memilih mundur. Sebagian mufassir juga berpendapat bahwa maju dan mundur di sini menjelaskan tentang bergerak maju atau tidak bergerak maju menuju api neraka. Sebagian lainnya juga berpendapat bahwa bergerak maju ini mengisyaratkan diri manusia serta perkembangan dan pertumbuhannya atau kemerosotan dan kemundurannya.

 

 

AYAT 38-45.

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ. إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِيْنِ. فِيْ جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُوْنَ. عَنِ الْمُجْرِمِيْنَ. مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ. قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ. وَ لَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِيْنَ. وَ كُنَّا نَخُوْضُ مَعَ الْخَائِضِيْنَ.

74: 38. Setiap diri bertanggungjawab atas apa yang dia telah perbuat.

74: 39. Kecuali golongan kanan [yang catatan-catatan amal mereka diberikan pada tangan kanan mereka sebagai tanda keimanan dan ketaqwaan mereka kepada Allah sw.t.].

74: 40. Di dalam taman-taman surga, mereka saling bertanya.

74: 41. Tentang keadaan para pendosa.

74: 42. “Apa yang menyebabkan kamu masuk neraka Saqar?”

74: 43. Mereka akan menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat.”

74: 44. “Kami dahulu tidak memberi makan orang-orang miskin.”

74: 45. “Dan kami dahulu suka membicarakan kebatilan bersama orang-orang yang membicarakannya.”

 

TAFSIR

Berlanjut dengan pembahasan yang dilakukan pada ayat-ayat sebelumnya mengenai neraka dan para penghuninya, aya ke-38 menyatakan: Setiap diri bertanggungjawab atas apa yang dia telah perbuat. Frase ‘Arab rahīnah, berasal dari rahana (“barang gadaian”) bermakna barang gadaian yang diberikan sebagai jaminan terhadap pinjaman. Kedengarannya, seolah-olah seluruh eksistensi manusia adalah barang gadaian untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, sedemikian rupa hingga apabila dia memenuhinya, dia akan terbebaskan; jika tidak, dia akan tetap dalam perbudakan. Karenanya, ayat ke-39 menambahkan: Kecuali golongan kanan [yang catatan-catatan amal mereka diberikan pada tangan kanan mereka sebagai tanda keimanan dan ketaqwaan mereka kepada Allah sw.t.], yang bebas dari perbudakan seperti itu adalah karena mereka telah menghancurkan belenggu perbudakan melalui keimanan dan melakukan amal-amal saleh, dan akibatnya mereka dengan bebas masuk surga.

Para mufassir tidak sepakat tentang makna “golongan kanan”. Sebagian mufassir berpendapat bahwa makna tersebut menunjukkan orang-orang yang catatan-catatan amalnya diberika pada tangan kanan mereka. Sebagian mufassir juga berpendapat bahwa mereka adalah kaum mu’min yang sama sekali tidak melakukan dosa-dosa. Sebagian mufassir lainnya percaya bahwa makna tersebut berkenaan dengan para malaikat. Namun, dalil al-Qur’ān mencerminkan pernyataan pertama, yaitu kaum beriman yang melakukan amal saleh dan dosa mereka terhapuskan oleh amal perbuatan saleh mereka, sebagaimana dijelaskan di tempat lain dalam al-Qur’ān (11: 114): Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan baik dapat menghapus perbuatan-perbuatan buruk.

Perbuatan-perbuatan baik mereka menghapus perbuatan-perbuatan buruk mereka, atau mereka dengan bebas masuk surga, atau perhitungan perbuatan-perbuatan mereka akan dimudahkan, sebagaimana dijelaskan di tempat lain dalam al-Qur’ān (84: 7-8): Adapun orang yang diberikan catatannya pada tangan kanannya, maka dia akan menerima perhitungan yang mudah.

Qurthubī, mufassir terkenal dari kalangan Sunnī meriwayatkan dari Imām Bāqir a.s. yang berkata: “Kami dan para pengikut kami adalah: “golongan kanan” dan siapa pun yang menganggap Ahlulbait kami sebagai musuh-musuhnya, maka ‘amal-‘amalnya tidak akan bermanfaat baginya.” (269).

Ayat ke-40-42 menyatakan: Di dalam taman-taman surga, mereka saling bertanya, tentang keadaan para pendosa [dengan bertanya]. “Apa yang menyebabkan kamu masuk neraka [Saqar]?” Ayat-ayat ini dengan gamblang menjelaskan bahwa hubungan-hubungan di antara para penghuni surga dan para penghuni neraka sama sekali tidak akan terputus, karena para penghuni surga dapat menyaksikan nasib buruk para penghuni neraka dan bercakap-cakap dengan mereka.

Pada ayat ke-43-45, para pendosa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh golongan kanan dengan mengakui empat dosa berat mereka: Mereka akan menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat.” “Kami dahulu tidak memberi makan orang-orang miskin.” “Dan kami dahulu suka membicarakan kebatilan bersama orang-orang yang membicarakannya.” Seandainya mereka dahulu melaksanakan shalat, berarti mereka telah mengingat Allah s.w.t. yang melarang mereka melakukan perbuatan buruk, dan yang menyeru mereka menuju jalan Allah yang lurus. Mereka mengakui tidak memberi makan orang-orang miskin. Ini menyiratkan bahwa mereka tidak mau membantu kebutuhan yang mendesak dari orang-orang miskin, berkenaan dengan pakaian dan tempat tinggal.

Para mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud di sini adalah sedekah wajib, karena tidak memberikan sedekah sunnah tidak mungkin mengakibatkan pelakunya masuk neraka. Sejumlah ayat al-Qur’ān yang turun di Makkah membahas pemberian sedekah, tetapi detail dan spesifikasi sedekah, terutama pemusatannya dalam perbendaharaan kaum muslim (bait-ul-māl) ditetapkan dalam ayat-ayat Madaniyyah.

Mereka juga mengakui bahwa mereka dahulu bergaul dengan para pengikut kebatilan. Setiap kali mereka mendengar perkataan yang menentang kebenaran, atau ketika diberitahu tentang pertemuan yang bertujuan untuk menyebarkan kebatilan, mereka justru bergabung dengan orang-orang yang menolak kebenaran. Mereka bahkan memperoleh kesenangan dari mengejek kalimat-kalimat kebenaran.

Bentuk kata kerja nakhūdhu (“kami masuk”), berasal dari khawadha, aslinya bermakna memasuki air dan bergerak di dalamnya, tetapi kata tersebut juga bermakna “memperoleh” yang bercampur dengan kenajisan. Kata tersebut digunakan dalam al-Qur’ān dalam pengertian menyibukkan diri dalam perbuatan yang tidak berdasar dan batil. Kata tersebut di sini berkenaan dengan menghadiri pertemuan yang diadakan untuk mengejek ayat-ayat Allah, propaganda anti-Islam, penyebarluasan bid‘ah, canda-canda amoral, serta berbangga diri, memperoleh kesenangan dari melakukan dosa, fitnah dan pembicaraan batil. Ayat ini terutama berkenaan dengan menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan untuk menggoyahkan keimanan kepada Allah s.w.t., penodaan tempat suci dan penyebaran kekufuran.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *