Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir Ibni Katsir (Bagian 4)

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir Ibni Katsir

Firman Allah s.w.t.:

إِنَّهُ فَكَّرَ وَ قَدَّرَ.

Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya). (al-Muddatstsir: 18).

Yaitu sesungguhnya Aku akan membebaninya mendaki pendakian yang memayahkan. Yakni Kami mendekatkan adzab yang berat kepadanya karena dahulu ia jauh dari iman, sebab ia telah memikirkan dan menetapkan. Dengan kata lain, dia menangguhkan pendapatnya tentang al-Qur’ān ketika ditanya mengenainya, dan ia memikirkan pendapat apa yang akan dibuat-buatnya terhadap al-Qur’ān, dan dia merekayasanya dengan merenungkannya terlebih dahulu.

فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ. ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ.

maka celakalah dia! Bagimana dia menetapkan? Kemudian celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? (al-Muddatstsri: 19-20).

Ini merupakan kutukan terhadapnya.

ثُمَّ نَظَرَ.

Kemudian dia memikirkan. (al-Muddatstsir: 21).

Maksudnya, kembali memikirkan dan merenungkannya.

ثُمَّ عَبَسَ

sesudah itu dia bermasam muka. (al-Muddatstsir: 22).

Yakni bermuka kecut dan menatapkan pandangannya.

وَ بَسَرَ.

dan merengut. (al-Muddatstsir: 22)

Yaitu, mukanya menjadi hitam dan menggambarkan rasa benci; termasuk ke dalam pengertian ini ucapan seorang penyair yang bernama Taubah ibnu Ḥimyar:

وَ قَدْ رَابَنِيْ مِنْهَا صُدُوْدٌ رَأَيْتُهُ وَ إِعْرَاضُهَا عَنْ حَاجَتِيْ وَ بُسُوْرِهَا

Sesungguhnya sangat mencurigakan diriku sikapnya yang kulihat selalu menghambatku dan dia selalu berpaling dari keperluanku dengan muka yang merengut.

Firman Allah s.w.t.:

ثُمَّ أَدْبَرَ وَ اسْتَكْبَرَ.

kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. (al-Muddatstsir: 23).

Yakni berpaling dari perkara hak dan mundur dengan rasa sombong, tidak mau tunduk kepada al-Qur’ān.

فَقَالَ إِنْ هذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ.

lalu dia berkata: “(al-Qur’ān) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). (al-Muddatstsir: 24).

Artinya, ini merupakan sihir yang dinukil oleh Muḥammad dari orang lain yang sebelumnya, lalu ia mempelajarinya. Karena itulah disebutkan dalam firman berikutnya:

إِنْ هذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ.

ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.”. (al-Muddatstsir: 25).

Yakni, bukan kalam Allah. Dan orang yang berkata demikian seperti yang disebutkan dalam konteks ayat adalah al-Walīd ibn-ul-Mughīrah al-Makhzūmī, salah seorang pemimpin dari Quraisy, la‘natullāh. Dan tersebutlah di antara berita mengenai dirinya tentang hal ini diriwayatkan oleh al-Aufi, dari Ibnu ‘Abbās, bahwa al-Walīd menemui Abū Bakar ibnu Abī Quḥāfah, lalu bertanya kepadanya tentang al-Qur’ān. Setelah mendapat jawaban dari Abū Bakar, lalu ia keluar dan menemui orang-orang Quraisy, dan berkatalah ia kepada mereka: “Sungguh menakjubkan dengan apa yang yang diucapkan oleh Ibnu Abī Kabsyah. Demi Allah, apa yang dikatakannya bukanlah syair, bukan sihir, bukan pula kerasukan penyakit gila, tetapi sesungguhnya ucapannya itu benar-benar Kalāmullāh.”

Ketika segolongan orang-orang Quraisy mendengar ucapan al-Walīd ibn-ul-Mughīrah itu, maka mereka menebar hasutan dan mengatakan kepada orang-orang Quraisy: “Demi Allah, jika al-Walīd masuk agama baru, benar-benar orang-orang Quraisy pun akan mengikuti jejaknya.” Ketika berita itu terdengar oleh Abū Jahal ibnu Hisyām, maka ia berkata: “Akulah yang akan menanganinya sebagai ganti kalian,” lalu ia pergi dan masuk ke dalam rumah al-Walīd ibn-ul-Mughīrah. Dan berkatalah ia kepada al-Walīd: “Tidakkah engkau perhatikan kaummu, sesungguhnya mereka telah mengumpulkan dana untuk diberikan kepadamu?” al-Walīd ibn-ul-Mughīrah balik bertanya: “Bukankah aku ini orang yang terkaya di antara mereka dan juga paling banyak memiliki anak?”

Abū Jahal mengatakan kepadanya: “Mereka membicarakan bahwa engkau masuk ke dalam rumah Ibnu Abī Quḥāfah hanyalah untuk mendapatkan makan darinya.” Al-Walīd bertanya: “Apakah betul mereka (kaumku) menggunjing aku demikian? Demi Allah, sekarang aku tidak akan mendekati Abū Quḥāfah lagi, juga ‘Umar dan Ibnu Abī Kabsyah, dan tiadalah apa yang dikatakannya melainkan sihir yang dipelajari.” Maka Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya:

ذَرْنِيْ وَ مَنْ خَلَقْتُ وَحِيْدًا.

Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian. (al-Muddatstsir: 11).

Sampai dengan firman-Nya:

لَا تُبْقِيْ وَ لَا تَذَرُ.

Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. (al-Muddatstsir: 28).

Qatādah mengatakan bahwa mereka mengira al-Walīd ibn-ul-Mughīrah mengatakan: “Demi Allah, sesungguhnya aku perhatikan apa yang dikatakan oleh lelaki itu, ternyata perkataannya itu bukanlah syair, dan sesungguhnya perkataannya itu benar-benar sangat manis dan benar-benar sangat indah. Dan sesungguhnya kata-katanya itu benar-benar tinggi dan tiada yang lebih tinggi daripadanya, dan aku tidak meragukan lagi bahwa kata-katanya itu mempunyai pengaruh yang sangat memukau bagaikan pengaruh sihir.” Maka Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya:

فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ.

maka celakalah dia! Bagimana dia menetapkan? (al-Muddatstsri: 19).

Hingga firman-Nya:

ثُمَّ عَبَسَ وَ بَسَرَ.

sesudah itu dia bermasam muka dan merengut. (al-Muddatstsir: 22)

Yakni, mengernyitkan keningnya dan mukanya berubah menjadi merengut.

Ibnu Jarīr mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Abd-il-A‘lā, telah menceritakan kepada kami Muḥammad ibnu Tsaur, dari Ma‘mar, dari ‘Abbād ibnu Manshūr, dari ‘Ikrimah, bahwa al-Walīd ibn-ul-Mughīrah datang kepada Nabi s.a.w. Maka beliau membacakan kepadanya al-Qur’ān, kemudian seakan-akan al-Walīd menjadi lunak hatinya kepada Nabi s.a.w. Ketika hal tersebut terdengar oleh Abū Jahal, maka Abū Jahal ibnu Hisyām datang menemuinya dan berkata: “Hai Paman, sesungguhnya kaummu telah menghimpun dana untukmu.” Al-Walīd balik bertanya: “Mengapa?” Abū Jahal menjawab: “Mereka akan memberikannya kepadamu, karena sesungguhnya engkau telah datang kepada Muḥammad berbeda dengan sikapmu yang sebelumnya.” Al-Walīd berkata: “Orang-orang Quraisy telah mengetahui bahwa diriku adalah orang yang paling banyak hartanya.” Abū Jahal berkata: “Kalau begitu, berikanlah tanggapanmu tentang dia, agar kaummu mengetahui bahwa engkau mengingkari apa yang dikatakannya (Muḥammad), dan bahwa engkau benci kepadanya.”

Al-Walīd bertanya: “Lalu apakah yang harus ku katakan? Demi Allah, tiada seorang pun dari kalian yang lebih mengetahui daripada aku tentang syair, dan tiada pula yang lebih mengetahui tentang puisi dan sajak selain dariku, dan tiada pula yang lebih mengetahui tentang syair jin selain dariku. Demi Allah, apa yang dikatakan Muḥammad itu tidak mirip dengan sesuaut pun dari itu. Demi Allah, sesungguhnya dalam ucapan yang dikatakannya benar-benar terkandung keindahan yang tiada taranya. Dan sesungguhnya ucapannya itu benar-benar dapat menghancurkan (mengalahkan) semua yang ada di bawahnya, dan sesungguhnya ia benar-benar tinggi dan tiada yang lebih tinggi daripada dia.” Abū Jahal berkata: “Demi Allah, kalau begitu kaummu tidak akan senang sebelum engkau mengatakan sesuatu yang tidak enak terhadapnya.” Al-Walīd menjawab: “Kalau begitu biarkanlah aku berpikir terlebih dahulu.”

Setelah ia berpikir, lalu berkata: “Sesungguhnya al-Qur’ān yang dikatakannya itu tiada lain merupakan sihir yang dipelajari dari orang lain.” Maka turunlah firman Allah s.w.t.:

ذَرْنِيْ وَ مَنْ خَلَقْتُ وَحِيْدًا.

Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian. (al-Muddatstsir: 11).

Sampai dengan firman-Nya:

عَلَيْهَا تِسْعَةَ عَشَرَ.

Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga). (al-Muddatstsir: 30).

Muḥammad ibnu Isḥāq dan yang lain yang bukan hanya seorang telah meriwayatkan hal yang semisal. As-Suddī mengira bahwa mereka (orang-orang Quraisy) ketika berkumpul di Dār-un-Nudwah, mereka telah sepakat untuk menyatukan pendapat mereka tentang Nabi Muḥammad dengan pendapat yang mendiskerditkannya, sebelum datang kepada mereka delegasi orang-orang ‘Arab untuk menunaikan ibadah haji. Tujuannya ialah agar mereka terhalang dan tidak mengikutinya serta tidak tertarik kepadanya. Maka sebagian dari mereka ada yang mengatakannya seorang penyair, sebagian yang lain mengatakannya seorang tukang sihir, dan yang lainnya lagi mengatakan tukang tenung, sedangkan yang lainnya lagi mengatakannya orang gila. Hal ini diceritakan oleh Allah s.w.t. melalui firman-Nya yang mengatakan:

اُنْظُرْ كَيْفَ ضَرَبُوْا لَكَ الْأَمْثَالَ فَضَلُّوْا فَلَا يَسْتَطِيْعُوْنَ سَبِيْلًا.

Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu). (al-Furqān: 9).

Dengan adanya semua itu al-Walīd berpikir untuk mengada-adakan pendapat dari dirinya sendiri tentang Nabi s.a.w., dan dia terus berpikir dan berpikir, sesudah itu dia bermasam muka dan merengut, lalu menenutkan sikap dan berkata: “Al-Qur’ān ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari dari orang-orang dahulu, ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.” Maka Allah s.w.t. berfirman:

سَأُصْلِيْهِ سَقَرَ.

Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar. (al-Muddatstsir: 26).

Yakni, Aku akan mengepung dia dengan api neraka dari segala penjurunya. Kemudian Allah s.w.t. berfirman:

وَ مَا أَدْرَاكَ مَا سَقَرُ.

Tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu? (al-Muddatstsir: 27).

Ini menggambarkan tentang keadaannya yang sangat menakutkan dan amat mengerikan, lalu ditafsirkan oleh firman selanjutnya:

لَا تُبْقِيْ وَ لَا تَذَرُ.

Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. (al-Muddatstsir: 28).

Yakni, yang memakan daging mereka, urat dan otot serta kulit mereka habis dibakar, kemudian diganti lagi dengan yang lainnya, sedangkan mereka tetap menjalani siksaan itu; tidaklah mereka mati dan tidak pula hidup. Demikianlah menurut Ibnu Buraidah dan Abū Sinān serta selain keduanya:

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *