Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir Ibni Katsir (Bagian 2)

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir Ibni Katsir

Adapun firman Allah s.w.t.:

قُمْ فَأَنْذِرْ.

bangunlah, lalu berilah peringatan! (al-Muddatstsir: 2).

Yakni, berjagalah dengan tekad yang bulat, lalu berilah peringatan kepada manusia. Dengan demikian, berarti dia dilantik sebagai rasul, sebagaimana dalam wahyu sebelumnya dia dilantik menjadi nabi.

وَ رَبَّكَ فَكَبِّرْ.

dan Tuhanmu agungkanlah. (al-Muddatstsir: 3).

Maksudnya, besarkanlah nama Tuhanmu.

Firman Allah s.w.t.:

وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.

dan pakaianmu bersihkanlah. (al-Muddatstsir: 4).

Ibnu ‘Abbās menjawab: “Janganlah kamu mengenakannya untuk maksiat dan jangan pula untuk perbuatan khianat.” Kemudian Ibnu ‘Abbās mengatakan: “Tidakkah engkau pernah mendengar ucapan Ghailān ibnu Salamah ats-Tsaqafī dalam salah satu bait syairnya:

فَإِنِّيْ بِحَمْدِ اللهِ لَا ثَوْبَ فَاجِرٍ لَبِسْتُ وَ لَا مِنْ غَدْرَةٍ أَتَقَنَّعُ

Dengan memuji kepada Allah, sesungguhnya ku kenakan pakaianku bukan untuk kedurhakaan,

Dan bukan pula untuk menutup perbuatan khianat.

Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari ‘Athā’, dari Ibnu ‘Abbās sehubungan dengan makna ayat ini:

وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.

dan pakaianmu bersihkanlah. (al-Muddatstsir: 4).

Bahwa menurut kalam orang-orang ‘Arab, artinya membersihkan pakaian. Tetapi menurut riwayat yang lain dengan sanad yang sama, sucikanlah dirimu dari dosa-dosa. Hal yang sama dikatakan oleh Ibrāhīm, asy-Sya‘bī, dan ‘Athā’. Ats-Tsaurī telah meriwayatkan dari seorang lelaki, dari ‘Athā’, dari Ibnu ‘Abbās sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.

dan pakaianmu bersihkanlah. (al-Muddatstsir: 4).

Dari dosa. Hal yang sama dikatakan oleh Ibrāhīm an-Nakha‘ī. Mujāhid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.

dan pakaianmu bersihkanlah. (al-Muddatstsir: 4).

Yakni, dirimu bukan pakaianmu. Dan menurut riwayat yang lain dari Mujāhid disebutkan bahwa firman-Nya:

وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.

dan pakaianmu bersihkanlah. (al-Muddatstsir: 4).

Artinya, perbaikilah ‘amalmu. Hal yang sama dikatakan oleh Abū Razīn; dan menurut riwayat yang lain, makna firman-Nya:

وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.

dan pakaianmu bersihkanlah. (al-Muddatstsir: 4).

Yakni, kamu bukanlah seorang tukang tenung dan bukan pula seorang penyair, maka berpalinglah kamu dari apa yang mereka katakan. Qatādah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.

dan pakaianmu bersihkanlah. (al-Muddatstsir: 4).

Yaitu, bersihkanlah dari perbuatan-perbuatan durhaka; dahulu orang-orang ‘Arab mengatakan terhadap seorang lelaki yang melanggar janjinya dan tidak memenuhinya, bahwa dia adalah seorang yang kotor pakaiannya. Dan apabila dia menunaikan janjinya, maka dikatakan bahwa sesungguhnya dia benar-benar orang yang bersih pakaiannya. ‘Ikrimah dan adh-Dhaḥḥāk mengatakan, bahwa janganlah kamu mengenakannya untuk berbuat maksiat. Dan seorang penyair telah mengatakan:

إِذَا الْمَرْءُ لَمْ يُدْنَسْ مِنَ اللُّوْمِ عِرْضُهُ فَكُلُّ رِدَاءٍ يَرْتَدِيْهِ جَمِيْلُ

Apabila seseorang itu tidak mengotori kehormatannya dengan sifat yang tercela, maka semua pakaian yang dikenakannya indah.

Al-Aufā telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.

dan pakaianmu bersihkanlah. (al-Muddatstsir: 4).

Maksudnya, janganlah pakaian yang kamu kenakan dihasilkan dari mata pencaharian yang tidak baik. Dikatakan pula: “Janganlah kamu kenakan pakaianmu untuk maksiat.” Muḥammad ibnu Sīrīn telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.

dan pakaianmu bersihkanlah. (al-Muddatstsir: 4).

Yakni, cucilah dengan air. Ibnu Zaid mengatakan bahwa dahulu orang-orang musyrik tidak pernah membersihkan dirinya. Maka Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk bersuci dan membersihkan pakaiannya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarīr. Tetapi makna ayat mencakup semua pendapat yang telah disebutkan, di samping juga kebersihan (kesucian) hati. Karena sesungguhnya orang-orang ‘Arab menyebut hati dengan sebutan pakaian, seperti apa yang dikatakan oleh Umru’-ul-Qais berikut ini:

أَفَاطِمُ مَهْلًا بَعْضَ هذَا التَّدَلُّلِ وَ إِنْ كُنْتِ قَدْ أَزْمَعْتِ هَجْرِيْ فَأَجْمِلِيْ
وَ إِنْ تَكُ قَدْ سَاءَتْكِ مِنِّيْ خَلِيْقَةٌ فَلِيْ ثِيَابِيْ مِنْ ثِيَابِكَ تَنْسُلِ.

Hai kekasihku Fāthimah, sebentar, dengarkanlah kata-kataku yang memohon ini; bahwa jika engkau telah bertekad untuk meninggalkanku, maka lakukanlah dengan baik-baik. Dan jika memang ada sikapku yang kurang berkenan di hatimu, tanyakanlah kepada hatiku dengan mata hatimu, maka engkau akan memahaminya.

Sa‘īd ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.

dan pakaianmu bersihkanlah. (al-Muddatstsir: 4).

Artinya, bersihkanlah hati dan niatmu. Dan Muḥammad ibnu Ka‘b al-Qurazī dan al-Ḥasan al-Bashrī telah mengatakan bahwa perindahlah akhlakmu.

Firman Allah s.w.t.:

وَ الرُّجْزَ فَاهْجُرْ.

dan perbuatan dosa, tinggalkanlah. (al-Muddatstsir: 5).

‘Alī ibnu Abī Thalḥah telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, bahwa yang dimaksud dengan ar-rijza ialah berhala, yakni tinggalkanlah penyembahan berhala. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujāhid, ‘Ikrimah, Qatādah, az-Zuhrī, dan Ibnu Zaid, bahwa sesungguhnya ar-rijzu artinya berhala. Ibrāhīm dan adh-Dhaḥḥāk telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ الرُّجْزَ فَاهْجُرْ.

dan perbuatan dosa, tinggalkanlah. (al-Muddatstsir: 5).

Yakni, tinggalkanlah perbuatan durhaka. Pada garis besarnya atas dasar ta’wil mana pun, makna yang dimaksud bukan berarti Nabi s.a.w. telah melakukan sesuatu dari perbuatan-perbuatan tersebut. Makna yang dimaksud semisal dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللهَ وَ لَا تُطِعِ الْكَافِرِيْنَ وَ الْمُنَافِقِيْنَ.

Hai Nabi, bertaqwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. (al-Aḥzāb: 1).

Adapun firman Allah s.w.t.:

وَ لَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ.

dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. (al-Muddatstsir: 6).

Ibnu ‘Abbās mengatakan bahwa janganlah kamu memberikan suatu pemberian dengan maksud agar memperoleh balasan yang lebih banyak darinya. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah, Mujāhid, ‘Athā’, Thāwus, Abul-Aḥwash, Ibrāhīm an-Nakha‘ī, adh-Dhaḥḥāk, Qatādah, dan as-Suddī serta lain-lainnya. Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Mas‘ūd, bahwa dia membaca firman-Nya dengan bacaan berikut: “Dan janganlah kamu merasa memberi dengan banyak.” Al-Ḥasan al-Bashrī mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa janganlah kamu merasa ber-‘amal banyak kepada Tuhanmu. Hal yang sama dikatakan oleh ar-Rabī‘ ibnu Anas. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarīr.

Khashīf telah meriwayatkan dari Mujāhid sehubungan dengan makna firman Allah s.w.t.:

وَ لَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ.

dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. (al-Muddatstsir: 6).

Yakni, janganlah kamu merasa lemah diri untuk berbuat banyak kebaikan. Mujāhid mengatakan bahwa orang ‘Arab mengatakan tamannana, artinya merasa lemah diri. Ibnu Zaid mengatakan, janganlah kamu merasa berjasa dengan kenabianmu terhadap manusia dengan maksud ingin memperbanyak dari mereka imbalan jasa berupa duniawi. Keempat pendapat ini yang paling kuat di antaranya adalah yang pertama; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Firman Allah s.w.t.:

وَ لِرَبِّكَ فَاصْبِرْ.

Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah. (al-Muddatstsir: 7).

Yaitu, gunakanlah kesabaranmu dalam menghadapi gangguan mereka sebagai ‘amalmu karena Allah s.w.t. Ini menurut Mujāhid, Ibrāhīm an-Nakha‘ī berpendapat bahwa bersabarlah kamu terhadap nasibmu karena Allah s.w.t.

Firman Allah s.w.t.:

فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُوْرِ. فَذلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيْرٌ. عَلَى الْكَافِرِيْنَ غَيْرُ يَسِيْرٍ.

Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah. (al-Muddatstsir: 8-10).

Ibnu ‘Abbās, Mujāhid, asy-Sya‘bī, Zaid ibnu Aslam, al-Ḥasan, Qatādah, adh-Dhaḥḥāk, ar-Rabī‘ ibnu Anas, dari Ibnu Zaid telah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan naqur ialah sangkakala. Mujāhid mengatakan bahwa bentuk sangkakala itu sama dengan tunduk.

Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abū Sa‘īd al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Asbath ibnu Muḥammad, dari Mutharrif, dari ‘Athiyyah al-Aufī, dari Ibnu ‘Abbās, sehubungan dengan makna firman-Nya:

فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُوْرِ.

Apabila sangkakala ditiup. (al-Muddatstsir: 8).

Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

كَيْفَ أَنْعُمُ وَ صَاحِبُ الْقَرْنِ قَدِ الْتَقَمَ الْقَرْنُ وَ حَنَّى جَبْهَتُهُ يَنْتَظِرُ مَتَى يُؤْمَرُ فَيَنْفَخُ؟

Bagaimana aku bisa hidup senang sedangkan malaikat Isrāfīl telah mengulum sangkakalanya dan mengernyitkan dahinya mengunggu bila diperintahkan untuk meniup?

Maka para sahabat Rasūlullāh s.a.w. bertanya: “Apakah yang engkau anjurkan kepada kami untuk melakukannya, ya Rasūlullāh?” Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

قُوْلُوْا: حَسْبُنَا اللهُ وَ نِعْمَ الْوَكِيْلُ عَلَى اللهِ تَوَكَّلْنَا.

Ucapkanlah: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung, dan hanya kepada-Nya kami bertawakkal.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imām Aḥmad dari Asbath dengan sanad yang sama. Ibnu Jarīr meriwayatkannya dari Abū Kuraib, dari Ibnu Fudhail dan Asbath; keduanya dari Mutharrif dengan sanad yang sama. Ibnu Jarīr telah meriwayatkannya pula melalui jalur lain dari al-Aufī, dari Ibnu ‘Abbās dengan sanad yang sama.

Firman Allah s.w.t.:

فَذلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيْرٌ.

maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit.(al-Muddatstsir: 9).

Yakni hari yang sangat keras lagi sangat sulit.

عَلَى الْكَافِرِيْنَ غَيْرُ يَسِيْرٍ.

bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah. (al-Muddatstsir: 10).

Yaitu tidak mudah bagi mereka menjalaninya. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:

يَقُوْلُ الْكَافِرُوْنَ هذَا يَوْمٌ عَسِيْرٌ.

Orang-orang kafir berkata: “Ini adalah hari yang berat.” (al-Qamar: 8).

Telah diriwayatkan kepada kami dari Zurārah ibnu Aufā (qādhī kota Bashrah) bahwa ia mengimami mereka shalat Shubuh, lalu membaca surat ini. Ketika bacaannya sampai kepada firman-Nya:

فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُوْرِ. فَذلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيْرٌ. عَلَى الْكَافِرِيْنَ غَيْرُ يَسِيْرٍ.

Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah. (al-Muddatstsir: 8-10).

Tiba-tiba ia merintih sekali rintih, lalu terjungkal dalam keadaan tidak bernyawa lagi; semoga rahmat Allah tercurahkan kepadanya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *