Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir al-Munir – Marah Labid

TAFSĪR AL-MUNĪR
(MARĀḤ LABĪD)
(Judul Asli: At-Tafsīr-ul-Munīru Lima‘ālim-it-Tanzīl)
Penyusun: Al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi (Banten).

(Jilid ke 6 dari Surah al-Aḥqāf s.d. an-Nās)

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar, L.C.
Dibantu oleh: H. Anwar Abu Baka, L.C.

Penerbit: Penerbit Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir al-Munir - Marah Labid

سُوْرَةُ الْمُدَّثِّرِ

SURAH AL-MUDDATSTSIR

Surah al-Muddatstsir termasuk ke dalam kelompok surah Makkiyyah, terdiri atas lima puluh enam ayat, dua ratus lima puluh lima kalimat, dan seribu sepuluh huruf.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang

 

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ.

1. Wahai orang yang berselimut! (al-Muddatstsir: 1)

(يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ.) “Wahai orang yang berselimut!” yakni wahai orang yang mengenakan selimut, yang dimaksud dengan ditsār ialah kain selimut.

Jābir ibnu ‘Abdillāh telah meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda:

كُنْتُ عَلَى جَبَلٍ حِرَاءِ، فَنُوْدِيْتُ يَا مُحَمَّدُ إِنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ، فَنَظَرْتُ عَنْ يَمِيْنِيْ وَ يَسَارِيْ فَلَمْ أَرَ شَيْئًا فَنَظَرْنُ فَوْقِيْ، فَرَأَيْتُ الْمَلَكَ قَاعِدًا عَلَى عَرْشٍ بَيْنَ السَّمَاءِ وَ الْأَرْضِ، فَخِفْتُ وَ رَجَعْتُ إِلَى خَدِيْجَةَ، فَقُلْتُ: دَثِّرُوْنِيْ دَثِّرُوْنِيْ وَ صَبُّوْا عَلَىَّ مَاءً بَارِدًا فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَقَالَ: يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ.

Ketika aku sedang berada di Gua Hirā’, maka aku diseru: “Wahai Muḥammad, sesungguhnya engkau adalah utusan Allah.” Lalu, aku memandang ke arah kanan dan ke arah kiriku ternyata aku tidak melihat apa pun. Ketika aku memandang ke atas, maka aku melihat malaikat sedang duduk di atas singgasana di antara langit dan bumi. Aku meraka takut, lalu aku pulang ke rumah Khadījah, dan kukatakan (kepadanya): “Selimutilah aku, selimutilah aku!”, dan mereka mengucurkan air yang sejuk kepadaku, lalu turunlah Jibrīl a.s. dan berkata: “Hai orang yang berselimut.

Diriwayatkan dari az-Zuhrī bahwa permulaan surah yang diturunkan adalah surah al-‘Alaq yang dimulai dari firman-Nya:

اِقْرَأْ

Bacalah! (al-‘Alaq: 1)

sampai dengan firman-Nya:

مَا لَمْ يَعْلَمْ

apa yang tidak diketahuinya. (al-‘Alaq: 5).

Kemudian wahyu terhenti, maka Rasūlullāh s.a.w. merasa bersedih hati dan mendaki puncak gunung yang tinggi, kemudian Jibrīl datang kepadanya dan mengatakan: “Sesungguhnya engkau adalah Nabi Allah.” Lalu, Nabi s.a.w. pulang ke rumah Khadījah dan bersabda:

دَثِّرُوْنِيْ وَ صَبُّوْا عَلَىَّ مَاءً بَارِدًا فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَقَالَ: يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ.

“Selimutilah aku!”, dan mereka menuangkan air yang sejuk kepada diriku, dan Jibrīl a.s. turun lalu berkata: “Wahai orang yang berselimut!”.

قُمْ فَأَنْذِرْ.

1. bangunlah, lalu berilah peringatan! (al-Muddatstsir: 2)

(قُمْ فَأَنْذِرْ.) “bangunlah, lalu berilah peringatan!” yakni bangunlah kamu dari pembaringanmu, dan berilah peringatan kepada kaummu akan adzab Allah jika mereka tidak mau beriman.

وَ رَبَّكَ فَكَبِّرْ.

3. dan agungkanlah Tuhanmu. (al-Muddatstsir: 3).

(وَ رَبَّكَ فَكَبِّرْ.) “dan agungkanlah Tuhanmu” yakni agungkanlah Tuhanmu dari apa yang dikatakan oleh para penyembah berhala.

وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.

4. dan bersihkanlah pakaianmu. (al-Muddatstsir: 4).

(وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.) “dan bersihkanlah pakaianmu” dari najis. Menurut pendapat lain disebutkan bahwa pendekkanlah kainmu, karena dahulu orang-orang ‘Arab selalu memanjangkan kain mereka dan menyeret ujung kain mereka sehingga ujung kain mereka selalu terkena najis. Sesungguhnya memanjangkan ujung kain itu termasuk cara berpakaian yang hanya dilakukan oleh orang untuk menyombongkan diri, oleh karena itu Rasūlullāh s.a.w. melarang hal tersebut.

Pada umumnya ulama tafsir mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa sucikanlah hatimu dari sifat-sifat yang tercela. Sedangkan menurut al-Ḥasan disebutkan bahwa perbaikilah akhlakmu.

وَ الرُّجْزَ فَاهْجُرْ.

5. dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji. (al-Muddatstsir: 5).

(وَ الرُّجْزَ فَاهْجُرْ.) “dan tinggalkanlah segala perbuatan dosa” ‘Āshim dalam riwayat Ḥafsh membacanya dengan rā’ yang di-dhammah-kan dalam surah ini, sedangkan ulama yang lain dan ‘Āshim dalam riwayat Abū Bakar membacanya dengan rā’ yang di-kasrah-kan menjadi ar-rijza.

Abul-‘Āliyah mengatakan bahwa ar-rujza dengan rā’ yang di-dhammah-kan berarti berhala, dan ar-rijza dengan rā’ yang di-kasrah-kan berarti najis dan kedurhakaan. Menurut Ibnu ‘Abbās berarti dosa, yakni tinggalkanlah perbuatan dosa dan jangan kamu dekati, yakni tetaplah kamu dalam keadaan meninggalkannya.

وَ لَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ.

6. dan janganlah engkau (Muḥammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak (al-Muddatstsir: 6).

(وَ لَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ.) “dan janganlah engkau (Muḥammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak” lafal tastaktsīr dibaca rafa‘ tetapi dalam kedudukan nashab karena sebagai ḥāl, yakni janganlah kamu memberi, sedangkan kamu menginginkan balasan yang lebih banyak.

وَ لِرَبِّكَ فَاصْبِرْ.

7. Untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah. (al-Muddatstsir: 7).

(وَ لِرَبِّكَ فَاصْبِرْ.) “Untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.” Diriwayatkan bahwa orang-orang kafir ketika mengadakan pertemuan membahas tentang keadaan Muḥammad s.a.w., al-Walīd ibn-ul-Mughīrah bangkit dan masuk ke dalam rumah Nabi s.a.w.. Maka kaum kafir mengatakan: “Sesungguhnya al-Walīd telah masuk agama Islam.” Lalu, Abū Jahal menemui al-Walīd dan mengatakan kepadanya: “Sesungguhnya orang-orang Quraisy telah mengumpulkan harta yang banyak untukmu agar kamu tidak meninggalkan agama nenek moyangmu.” Karena harta itu al-Walīd tetap dalam kekafirannya.

Kemudian, dikatakan kepada Muḥammad s.a.w. bahwa sesungguhnya al-Walīd tetap pada agamanya yang batil karena materi, adapun engkau maka bersabarlah pada agamamu yang hak demi meraih rida Allah bukan karena sesuatu selain-Nya. Perintah ini merupakan sindiran yang ditujukan kepada orang-orang musyrik.

Seakan-akan dikatakan kepada Rasūlullāh: “Agungkanlah Tuhanmu, bukan berhala-berhala itu, dan sucikanlah pakaianmu, jangan seperti orang-orang musyrik, tubuh dan pakaian mereka najis. Jauhilah perbuatan dosa, janganlah kamu mendekatinya seperti yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Jangan pula kamu memberi dengan harapan mendapat imbalan yang banyak, seperti yang dilakukan oleh orang-orang kafir saat memberi al-Walīd sejumlah materi. Mereka mengharapkan hal yang lebih banyak dari pemberian yang sedikit. Dengan kata lain mereka memamerkan apa yang telah mereka berikan seakan-akan berjumlah banyak. Dalam menjalankan perintah Tuhanmu bersabarlah dan tetaplah dalam ketaatan, bukan karena tujuan duniawi berupa harta dan kedudukan.

فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُوْرِ.

8. Apabila ditiup sangkakala, (al-Muddatstsir: 8).

فَذلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيْرٌ.

9. maka itulah hari yang serba sulit, (al-Muddatstsir: 9).

(فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُوْرِ. فَذلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيْرٌ.) “Apabila ditiup sangkakala, maka itulah hari yang serba sulit” yakni apabila sangkakala ditiup untuk tiupan berbangkit, maka pada waktu terjadinya tiupan itu merupakan hari yang sangat sulit bagi semua orang baik yang mu’min maupun yang kafir. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa para nabi pada hari itu terkejut, dan anak-anak bisa menjadi beruban karena susahnya, hanya ketakutan yang melanda orang-orang kafir lebih keras. Yang demikian itu disebutkan melalui firman selanjutnya:

عَلَى الْكَافِرِيْنَ غَيْرُ يَسِيْرٍ.

10. bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah (al-Muddatstsir: 10).

(عَلَى الْكَافِرِيْنَ غَيْرُ يَسِيْرٍ.) “bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah” tetapi bagi orang-orang mu’min sangat mudah.

Unduh Rujukan:

  • [download id="18120"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *