Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir al-Azhar (1/7)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir al-Azhar

Sūrat-ul-Muddatstsir (Yang berselubung)

Surat ke-74, 56 Ayat. Diturunkan di Makkah.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

PENDAHULUAN

 

Jumhūr atau golongan terbesar dari ahli-ahli tafsir dan ahli Sīrah (Penulis riwayat hidup Nabi s.a.w.) sama pendapat bahwa ayat yang mula-mula turun kepada beliau ialah lima ayat yang permulaan dari Sūrat-ul-‘Alaq, Surat ke-96, yang dimulai dengan:

Iqra’ bismi rabbikal-ladzī khalaq.”

Sesudah turun ayat-ayat yang mula-mula itu maka beberapa lamanya pula terhentilah turun wahyu, artinya bahwa Jibrīl tidak datang-datang lagi kembali. Ada riwayat mengatakan bahwa jarak itu hampir dua tahun lamanya.

Maka dirawikan oleh Muslim dari jalan ‘Uqail dari Ibnu Syihāb dan Abū ‘Abdillāh r.a. bahwa beliau ini mendengar langsung dari Rasūlullāh s.a.w. sendiri tentang yang kejadian dalam masa fatrah, yaitu wahyu terhenti datang itu. Beliau menceritakan: “Sedang saya berjalan terdengarlah olehku satu suara dari langit; tiba-tiba malaikat yang pernah mendatangiku di Gua Hirā’ dahulu itu. Dia duduk di atas sebuah kursi di antara langit dengan bumi. Aku merunduk sehingga nyaris aku jatuh ke bumi. Lalu aku pulang ke rumah. Sampai di rumah, aku suruh ahliku menyelimuti aku, maka akupun diselimutilah. Waktu itu datang wahyu: “Yā ayyuh-al-muddatstsir.... sampai kepada war-rujza fahjur” Sesudah itu menurunlah wahyu berikutnya.

Ada juga hadits lain yang sama maknanya dengan itu dirawikan oleh Imām Aḥmad. Dengan mengumpulkan hadits-hadits yang sama maknanya itu diambil oranglah kesimpulan bahwa Surat yang kedua kali turun disertai wahyu kedua kali turun ialah sūrat-ul-Muddatstsir ini. Dia lebih dahulu turun dari al-Muzzammil. Dan di antara ayat-ayat yang pertama yang lima ayat itu dengan turunnya al-Muddatstsir agak lama juga, sehingga ada riwayat mengatakan hampir dua tahun jaraknya. Sehingga nyarislah Nabi s.a.w. bingung memikirkannya.

Menurut satu hadits lagi yang dirawikan oleh ath-Thabrānī, yang diterima dengan sanad-nya dari Ibnu ‘Abbās bahwa sebab turunnya ayat ini ialah karena pada suatu hari, seorang di antara mereka yang terkemuka dalam kalangan kaum Quraisy, yang bernama al-Walīd bin al-Mughīrah menjamu beberapa orang terkemuka Quraisy makan di rumahnya. Sedang makan-makan itu sampailah pembicaraan memperkatakan tentang Nabi Muḥammad, siapa dia ini sebenarnya. Setengah mengatakan bahwa dia itu Tukang Sihir! Yang lain membantah, bukan tukang sihir. Yang lain mengatakan dia Tukang Tenung (Kahin), tetapi sebahagian lagi membantah, macam dia itu bukan tukang tenung. Lalu yang lain mengatakan bahwa dia itu seorang penyair. Tetapi yang lain membantah lagi, dia itu bukan ahli sya‘ir. Lalu yang setengah lagi mengatakan bahwa dia itu memang mempunyai sihir yang diajarkan orang kepadanya turun-temurun. Akhirnya samlah pendapat bahwa dia itu adalah menjalankan suatu sihir yang diajarkan oleh orang lain.

Berita perbincangan tentang dirinya itu sampai kepada Nabi s.a.w. Kata riwayat itu, sedihlah hati Rasūlullāh s.a.w. mendengar penilaian kaumnya yang demikian, lalu ditekurkannya kepalanya dan dia berselubung dengan kainnya (atau serbanya). Maka turunlah ayat ini: “Yā ayyuh-al-muddatstsir.... sampai kepada wa li rabbika fashbir”.

Pada ayat kedua terdapat kata: “Qum fa andzir”, tegaklah, maka berilah peringatan.

Dapatlah kita menyusun fikiran kita sendiri jika kita ingat susunan wahyu.

Ayat-ayat yang pertama turun yang kedua kali: “Yā ayyuh-al-muddatstsir ini, karena ayat kedua menyuruh tegak untuk menyampaikan peringatan, dengan itulah beliau telah diangkat sesudah jadi Nabi, menjadi Rasūl. Dengan “Sūrat-ul-Muzzammil” beliau disuruh memperkuat jiwa dengan melakukan sembahyang malam.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang

I

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ. وَ رَبَّكَ فَكَبِّرْ. وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ. وَ الرُّجْزَ فَاهْجُرْ. وَ لَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ. وَ لِرَبِّكَ فَاصْبِرْ. فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُوْرِ. فَذلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيْرٌ. عَلَى الْكَافِرِيْنَ غَيْرُ يَسِيْرٍ.

74: 1. Wahai orang yang berselubung,
74: 2. Bangunlah, lalu peringatkanlah!
74: 3. Dan Tuhan engkau hendaklah engkau agungkan.
74: 4. Dan pakaian engkau bersihkan.
74: 5. Dan perbuatan dosa hendaklah engkau jauhi.
74: 6. Dan janganlah engkau menyebut-nyebut, karena ingin balasan lebih banyak.
74: 7. Dan untuk Tuhan engkau, bersabarlah engkau.
74: 8. Maka apabila telah ditiup sangkakala,
74: 9. Maka itulah dia, di hari itu, hari yang sulit,
74: 10. Bagi orang-orang yang kafir lagi tidak mudah.

 

Wahai orang yang berselubung!” (Ayat: 1). Tidaklah perlu lagi kita uraikan panjang lebar apa yang jadi arti dari kata berselubung dan apa sebab disebut demikian. Karena artinya sama juga dengan “al-Muzzammil”, yang berselimut dan telah diuraikan pada surat yang terdahulu. Dia boleh diartikan menurut harfiyyahnya, yaitu bahwa Nabi kita ketika ayat turun menyelubungi dirinya dengan kain selimut. Memakai kain selimut adalah karena kedinginan, atau bukan karena demam ataupun sakit. Dan boleh pula diartikan bahwa yang dimaksud ialah jabatan yang begitu mulia, menjadi Nabi Allah adalah laksana suatu selubung yang terletak di atas dirinya yang musti dilaksanakannya dengan baik. Tetapi sepakat semua ahli tafsir bahwa al-Muddatstsir sama juga dengan al-Muzzammil adalah gelar-gelar kemuliaan yang dilekatkan Tuhan ke atas diri Nabi kita s.a.w.

Setelah beliau dipanggil dengan gelar kehormatannya itu, datanglah perintah utama dan pertama kepada beliau: “Bangunlah, lalu peringatkanlah!” (Ayat 2). Bangunlah dan mulailah lancarkan tugas yang dipikulkan ke atas dirimu. Sejak ini engkau tidak dapat berdiam diri lagi. Jalan sudah terentang di hadapanmu, lalu peringatkanlah! Sampaikanlah peringatan itu kepada kaum engkau.

Apakah yang akan diperingatkan itu? Isi peringatan akan dijelaskan kelak pada ayat ke-8.

Sekarang yang terpenting lebih dahulu ialah mempersiapkan diri, bangun dan tegak untuk menyampaikan peringatan apa yang harus diketahui oleh manusia. Sebelum peringtan itu disampaikan, ingatlah: “Dan Tuhan engkau hendaklah engkau agungkan” (Ayat: 3).

Jelaslah dalam ayat ini bahwa sebelum Nabi s.a.w. meneruskan langkah, bangun dan memberikan peringatan kepada kaumnya, hendaklah terlebih dahulu dia mengingat akan Tuhannya. Hendaklah Tuhan itu diagungkan dan dibesarkan. Karena perintah untuk bangun dan tegak untuk menyampaikan jadi atas kehendak-Nya. Manusia-manusia yang hendak diberi peringatan adalah makhluk Tuhan, dan Nabi yang diutus adalah Utusan Tuhan. Karena perintah datang dari Tuhan, supaya pekerjaan berhasil dan berjaya, hendaklah terlebih dahulu berkontak dengan Tuhan. Karena hasil atau tidaknya usaha ini bergantung kepada pertolongan Tuhan juga.

Mengagungkan dan membesarkan Tuhan adalah puncak dari kejayaan hidup. Kita tidak berarti apa-apa dan ‘alam sekelilingpun tidak ada artinya apa-apa, dan semuanya kecil belaka. Yang Besar dan Yang Agung hanya Tuhan; “Allāhu Akbar!

Sebelum melangkah lebih jauh, inilah yang terlebih dahulu wajib dijadikan pangkalan atau landasan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *